Generation Cleansing

2163

Oleh: Yuswohady 

Beberapa waktu lalu (27/9) saya diminta membahas buku Milenial Nusantara (Gramedia Pustaka Utama, 2017) karya teman lama saya Hasanuddin Ali di Wisma Kementerian Pemuda dan Olahraga. Diskusi tersebut membahas tema yang lagi hot yaitu perilaku dan budaya kerja generasi muda milenial.

Dalam diskusi tersebut terungkap bahwa Generasi Milenial dan Neo-Milenial (Generation-Z) memiliki pola pikir dan perilaku yang sama sekali berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, yaitu Generasi-X dan Baby Boomers. Dengan adanya perkembangan teknologi digital yang begitu cepat mengikuti deret ukur, terdapat “keterputusan” antara generasi ini dengan generasi-generasi sebelumnya. Saya menyebutnya: “generation cut-off”.

Generation Cleansing

“Pembersihan”
Di penghujung diskusi ada seorang pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang mengajukan pertanyaan yang sekaligus mengekspresikan kegundahannya selama ini: “Pak Yuswo, kami yang tua-tua ini tak bisa mengikuti pola pikir dan kecepatan gerak anak-anak muda milenial, sementara kementerian ini harus menyusun kebijakan dan program-program untuk mereka. Apa saran Bapak?” Begitu kira-kira pertanyaan si pejabat.

Saran saya barangkali mengejutkan si pejabat karena sangat menohok dan “tak kenal sopan-santun” karena membahayakan kedudukan yang bersangkutan.

Begini jawaban saya: “ Solusi cepatnya adalah, berhentikan seluruh unsur pimpinan dan pejabat dari Generasi X dan Baby Boomers, lalu ganti mereka semua dengan anak-anak muda dari generasi milenial.” Tentu saja saran saya itu tak bakal diindahkan oleh si pejabat atau Pak Menteri Pemuda dan Olahraga.

Baca juga  Hidup untuk Makan, Atau Makan untuk Hidup?

Tapi saya tak main-main dengan jawaban tersebut. Sesungguhnya, itulah challenge terbesar yang dihadapi oleh organisasi baik korporasi maupun pemerintahan di seluruh dunia saat ini ketika mereka harus berhadapan dengan perubahan ekstrim yang kita kenal luas sebagai: disrupsi digital.

Kenapa banyak korporasi besar (inkumben) tidak memiliki kelincahan (agility) yang cukup sehingga “mati kutu” menghadapi start-up (Go-Jek, Traveloka, Kitabisa.com) yang dirintis dan dijalankan oleh anak-anak muda milenial? Kenapa para pemain besar ber-mindset lama tersebut “gagal paham” menghadapi goncangan disrupsi digital?

Jawabannya saya simpel, karena sebagian besar posisi-posisi kunci (CEO, direktur, kadiv, GM) di perusahaan-perusahaan tersebut masih dipegang oleh orang-orang dari Generasi X, bahkan Baby Boomers. Disrupsi digital adalah “mainan”-nya Generasi Milenial/Neo-Milenial, sehingga tak heran jika orang-orang dari Generasi X dan Baby Boomers “ora nyandak pikirane” dalam memahami fenomena disrupsi digital.

Karena itu solusi cespleng-nya adalah “membersihkan” anggota manajemen dari Generasi-X dan Baby Boomers karena kini mereka menjadi “liability” bagi organisasi karena mindset mereka yang sudah tak relevan lagi dengan lingkungan bisnis baru yang disruptif. Don’t underestimate mindset! Budaya perusahaan berpangkal dari mindset. Strategi bermula dari mindset. Eksekusi dan aksi berawal dari mindset. Mindset lama itulah picu dari kehancuran organisasi yang mereka pimpin.

Baca juga  Sang Hakim dan Bangkai Anjing

Saya menyebutnya “generation cleansing”. Idenya dari peristiwa yang terjadi di Rohingya. Kalau di sana kita mengenal istilah “ethnic cleansing” yaitu pembersihan etnik muslim Rohingya; maka saya juga punya istilah “generation cleansing” yaitu pembersihan anggota manajemen perusahaan/pemerintahan yang berasal dari Generasi-X dan Baby Boomers.

Masalah Orang… Bukan Model Bisnis
Pertanyaannya, kenapa harus melakukan langkah ekstrim “membilas” anggota manajemen dari Generasi X dan Baby Boomers dan menggantikannya dengan Generasi Milenial/Neo-Milenial?

Banyak analisis mengatakan bahwa perusahaan inkumben tak mampu survive menghadapi disrupsi digital karena mereka tak mampu secara cepat menghasilkan model bisnis yang bisa mendisrupsi pasar dan industri. Namun, kalau kita telusur lebih jauh, siapa yang menciptakan model bisnis disruptif dan mampu mengeksekusinya secara cepat? Jawabnya adalah: orang. Atau dalam konteks organisasi, para pemimpin (leader) di seluruh level organisasi.

Jadi masalah disrupsi digital adalah masalah orang, bukan sebatas masalah model bisnis!

Masalahnya adalah, karena perusahaan inkumben (yang lahir dan berjaya di era Generasi-X dan Baby Boomers) tak cukup memiliki para leaders yang lincah (agile) mencipta dan mengeksekusi sebuah model bisnis disruptif.

Survei terbaru McKinsey Global Institute yang terbit bulan ini (“How to Create Agile Organization”, McKinsey Quarterly, Oct. 2017) menyimpulkan, sebuah organisasi tak mampu survive di tengah disrupsi digital karena mereka tak memiliki cara kerja karyawan yang lincah: “…companies have not yet fully implemented agile ways of working, either company-wide or in the performance units where they work.”

Baca juga  Jangan Ragukan Potensi Dalam Diri Kita

Berbicara mengenai “agile ways of working” maka kita bicara pola pikir (mindset), nilai-nilai (values), dan perilaku (behavior). Itu tak lain adalah budaya kerja (corporate culture).

Nah, celakanya budaya kerja itu tidak bisa diubah dalam semalam. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengubah dan membentuknya.

Seperti saya bilang di depan, disrupsi digital adalah domainnya Generasi Milenial/Neo-Milenial. By-default budaya kerja Generasi Milenial/Neo-Milenial adalah budaya kerja yang “fit” dengan lingkungan bisnis yang disruptif.

Lalu bagaimana dengan generasi sebelumnya yaitu Generasi-X apalagi Baby Boomers? *By-default budaya kerja mereka adalah budaya kerja lama yang tidak fit lagi dengan lingkungan bisnis disruptif.* Kalau tidak fit, lalu apa yang harus dilakukan? Ya, mau nggak mau mengubah dan membentuknya agar menjadi fit.

Tapi celakanya, seperti saya bilang di depan, membentuk budaya tidak bisa semalam, butuh waktu bertahun-tahun. Ketika organisasi sedang sibuk mengubah dan membentuk budaya kerja para leaders dan karyawannya, disrupsi digital yang bergerak secara eksponensial sudah keburu meluluh-lantakkan organisasi mereka.

Itu sebabnya saya berargumantasi, cara tercepat dan teraman untuk lolos dari disrupsi adalah dengan melakukan “generation cleansing”. Sakit memang.

Comments

comments