Oleh: Arie Poernama
Saya punya seorang sahabat, namanya Jumadi Sanubari Ahmad. Berkawan sejak kuliah bersama di kampus IPB.
Dari sejak masuk kampus, ternyata kami teman satu asrama. Saat itu ia sudah sangat dikenal luas, karena mungkin sejak awal sudah jadi ‘maskot’ di asrama kami. Masih terngiang saat namanya jadi Yel yel asrama waktu itu. Riuh dan seru banget!
Say Juu.. Say Maa.. Say Dii..
Say Jumadi..
Jumadi !
Saat di kampus ia bergelut di DKM Al-Hurriyyah, aktif di kegiatan sosial, kewirausahaan dan pembinaan anak-anak. Pribadinya santun, soleh dan sederhana. Kalau mampir di masjid kampus ini, ataupun sedang mengunjungi marboth, seringkali pasti ketemu.
Bertemu teman-teman yang sholeh-sholeh saat itu, sungguh bahagia sekali.. Bercengkerama di pelataran masjid, sambil minum es cincau, ah segarnya.. Apalagi kalau bertemu.. Endah 🙂
Selain aktif di kegiatan kampus, waktu itu juga mulai marak jejaring online, mulai dari MIRC, YM, Friendster, sampai Multiply. Nah, Saya masih ingat Jumadi punya blog Multiply dengan nickname jsattaubah.
Blognya banyak tulisan-tulisan ringan yang enak dibaca. Tak ada kata atau istilah yang berat untuk dipahami. Cukup menceritakan apa yang ia alami, sesederhana itu ia merangkai kata.
Dan yang membuat saya takjub, hingga saya menuliskannya di sini, adalah sampai hari ini ia masih tetap menjadi pribadi yang sederhana, bahkan bagi sebagian orang mungkin terlalu sederhana.
Kami punya grup WhatsApp, namanya Brotherhood’39. Di grup itu ia selalu berbagi kabar dan aktivitas.
Yang membuat saya terharu adalah.. sampai sekarang ia masih konsisten, masih istiqomah, membina anak-anak muda di Cisauk. Dengan nama komunitas Pemuda Masjid Cisauk, ia selalu aktif posting kegiatan, sesederhana apapun kegiatannya.
Terkadang ada sesuatu yang kecil namun mengganjal di hati saya, yakni paradoks, ketika di grup WhatsApp itu membahas hal yang serius, semua orang bicara konsep, dengan wawasan yang global, bahkan argumen yang sangat tinggi, namun seorang Jumadi tetap bersahaja, mempersembahkan kerja-kerja kecil nan sederhana, yang terkadang membuat saya tak sengaja menitikkan air mata.
Dulu waktu masih kuliah, pernah ada seorang motivator yang berkisah tentang tiga pemuda yang membangun piramida. Ketiga pemuda itu ditanya, “Apa yang sedang engkau lakukan?”
Pemuda pertama menjawab, “Saya sedang mengangkat batu”
Pemuda kedua menjawab, “Saya sedang membangun piramida”
Pemuda ketiga menjawab, “Saya sedang membangun peradaban”
Saya, yang kala itu begitu haus akan motivasi dan inspirasi, sangat takjub dengan jawaban pemuda ketiga, “membangun peradaban”.
Namun kini, saya kembali berpikir, bahwa kerja-kerja membangun peradaban itu adalah kerja-kerja yang sulit, bahkan melampaui usia yang dimiliki. Bahkan realitanya, bahwa kerja-kerja kecil itulah yang sesungguhnya memupuk dan secara nyata membangun peradaban.
Sampai akhirnya pada kisah pemuda tadi, saya lebih memilih karakter pada pemuda pertama, yang hanya menjawab “mengangkat batu”. Ia mungkin lugas dan tak berpikir sevisioner pemuda ketiga, namun ia mencukupkan dirinya dengan mengatakan berbuat yang kecil, karena ia mungkin menjaga pandangannya dari utopia yang berlebihan. Sesederhana itu.
Karena kerja-kerja membangun peradaban tak cukup dengan sekadar retorika, tak harus berpredikat orang penting apalagi besar, mungkin bermula dari anak-anak yang terbina, yang kelak mungkin akan menjadi pemimpin yang sejahterakan rakyatnya.
Ah, sahabatku, Jumadi. Seandainya saya menyadarinya lebih awal.
Mari memulai dari yang kecil, nan sederhana.