Ketika kehadiran Musa A.S. baru berupa ramalan dukun, Fir’aun yang keji memberi perintah agar membunuh bayi laki-laki Bani Israil yang lahir di tahun tersebut.
Logikanya, harusnya yang disalahkan adalah penguasa penjahat kemanusiaan itu, bukannya Nabi Musa A.S.
Begitu pula ketika Musa A.S. diutus untuk mengajak Fir’aun beriman dan membebaskan Bani Israil dari penjajahan, raja Mesir kala itu pun kembali bertitah agar anak-anak orang yang beriman dibunuh.
“Maka ketika dia (Musa) datang kepada mereka membawa kebenaran dari Kami mereka berkata, “Bunuhlah anak-anak laki-laki dari orang-orang yang beriman bersama dia dan biarkan hidup perempuan-perempuan mereka.” Namun tipu daya orang-rang kafir itu sia-sia belaka.” (QS Al Ghafir: 25)
Ibnu Katsir berkata tentang ayat tersebut: “Ini merupakan perintah Fir’aun yang kedua yang menginstruksikan untuk membunuh anak-anak lelaki kaum Bani Israil. Perintah yang pertama bertujuan untuk pencegahan agar Musa tidak dilahirkan, atau untuk menghina kaum Bani Israil dan memperkecil bilangan mereka, atau karena kedua tujuan tersebut. Adapun perintah yang kedua karena alasan yang lain, juga untuk menghinakan bangsa Bani Israil agar mereka merasa sial dengan keberadaan Musa.”
Maka yang harusnya disalahkan adalah para penjahat kemanusiaan, bukan Nabi Musanya.
Atau ada yang ingin berkomentar bahwa seharusnya Musa A.S tidak muncul menghadap Fir’aun demi mencegah terbunuhnya orang beriman, karena nyawa seorang mukmin di sisi Allah SWT itu lebih berharga daripada Ka’bah?
Pada pembantaian Karawang-Bekasi, adakah yang menyalahkan pejuang kemerdekaan? Kala itu Belanda membabi buta membunuh penduduk sipil Rawagede dan sekitarnya karena berulang kali diserang pasukan Siliwangi.
Adakah yang berkomentar bahwa harusnya pejuang tidak perlu menyerang patroli dan pos-pos Belanda karena menyebabkan si kompeni marah dan mencelakai orang tak bersalah, dan nyawa seorang mukmin lebih berharga dari Ka’bah?
Kejadian serupa terjadi di banyak tempat di Tanah Air. Karena memang negara kita pernah terjajah. Namun – hamdalah – tak pernah terdengar komentar bodoh yang malah menyalahkan para pejuang kemerdekaan karena aksi mereka mengundang risiko musuh bertindak di luar batas.
Dan itu pula yang ditampakkan oleh warga yang kini diserbu negara apartheid. Mereka menunjukkan bagaimana caranya beriman daripada sekelompok orang yang “demen” pengajian di negeri ini.
Penduduk di sana mampu mengucap hamdalah ketika rumahnya hancur. Mereka tampakkan tawakkal dan kesabaran. Sementara sebagian orang yang berkoar soal tauhid di negeri ini malah mengeluarkan komentar yang jauh dari cermin keimanan.
Karena mereka menyalahkan pejuang, alih-alih kekejaman yang terus terjadi dengan atau tanpa perlawanan.
Mereka mewakili perilaku kaum munafik di jaman Rasulullah yang ketika aksi jihad menyebabkan mereka mengalami kerugian, mereka pun menyalahkan mujahidin.
“Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah,” dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, “Ini dari engkau (Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)?”” (QS An Nisa: 78)
Atau para pengecut dari kalangan Bani Israil yang merasa sial karena kehadiran Musa A.S.
“Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab, Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi-(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (Al-A’raf: 129)
Kalau mereka punya logika dan hati, tentu yang disalahkan adalah penjajahan, bukan perlawanan.