Militansi dan Cinta Mati Anak Abah

Oleh: Rafif Amir. 

Harus diakui, militansi anak-anak abah luar biasa. Tak kenal lelah, mereka “mendukung” PKS untuk mengusung Anies berlaga di Jakarta.

Sebut saja salah satunya, Sherly Annavita. Pesohor yang memiliki 2 juta follower ini memenuhi feed IG-nya dengan seruan kembali pada Anies. Ia mengajak pendukung Anies dan pendukung PKS untuk bersatu mendorong PKS kembali pada Anies. Seolah-olah PKS yang telah meninggalkan Anies sendirian.

Untuk menguatkan seruannya, Sherly membangun narasi-narasi yang memojokkan PKS. Mulai isu tawaran menteri, melanggengkan politik dinasti, hingga secara tersirat seolah menyebut PKS gak tahu balas budi atas suara yang dihasilkan dari efek ekor jas Anies.

Sherly memaparkan data pertumbuhan suara PKS di Jakarta pasca mengusung Anies. Seolah ia ingin mengatakan bahwa Anies telah membesarkan PKS. Sherly melakukan penafian besar-besaran terhadap kerja-kerja kader dan mesin politik PKS. Hanya ada faktor tunggal: Anies effect. Itu yang ingin dikatakan Sherly.

Baca juga  Tabayyun Ustadz Zaitun Rasmin atas Langkah Politik PKS

Ia menyebut bahwa semua narasi yang ia bangun adalah karena kecintaannya pada Anies dan PKS. Ia mungkin jujur, tapi ia lupa bahwa politik bukan seperti kisah cinta dalam drakor. Politik adalah seni meraih kekuasaan. Kekuasaan adalah cara menghasilkan sebesar-besarnya kemaslahatan bagi rakyat. Politik bukan tentang kita harus bersama siapa, tapi tentang bagaimana kita berkuasa. Kekuasaan yang memberikan rasa keadilan bagi semua.

Jadi persoalannya, bukan cinta mati pada figur. Seolah hanya Anies yang bisa menjadi pemimpin yang baik. Lainnya tidak.

Saya salut, anak-anak abah–seperti halnya Sherly–rata-rata memiliki idealisme luar biasa, cerdas, dan komitmen yang tinggi dalam mencintai negeri ini. Tapi saran saya, pahami politik lebih dalam lagi.

Tahun 1947-1948, Masyumi pernah masuk dalam koalisi yang dipimpin Amir Syarifuddin. Kita tahu bahwa Amir adalah gembong komunis, yang kemudian menjadi otak dari Madiun Affair 1948.

Baca juga  Demonstrasi, Sebuah Gerakan yang Lahir dari Rahim Demokrasi

Masyumi adalah pendukung utama Kabinet Amir II, meski pada akhirnya menarik dukungan karena menolak Perjanjian Renville.

Memahami peta politik dan strategi politik tidak bisa hanya mengandalkan perasaan dan figuritas personal. Anak-anak abah harus belajar menyelam lebih dalam, mencoba memahami apa yang terjadi, dan segala dinamika yang berkembang sangat cepat. Kecintaan pada negeri ini harus lebih dominan dan mengalahkan kultus individu, pada siapapun.

Dalam kasus Sherly, pemujaan berlebihan pada personal Anies Baswedan telah membuatnya tidak fair dalam menilai. Ia terus menyeret PKS pada Anies, sementara ia membiarkan Anies terlihat “mengemis” pada PDIP. Mengapa ia tidak mengerahkan segala daya upaya agar Anies jangan sampai dipermainkan oleh partai yang berseberangan dengan idealismenya? Atau justru ia mungkin memuji diam-diam jika ternyata benar PDIP memberikan karpet merah pada Anies. Ia lupa, bahwa PDIP yang telah memproduksi rezim yang ia kritik saat ini, dan ada kemungkinan akan memproduksinya kembali.

Baca juga  Anies atau PKS Simbol Perlawanan ?

Mungkin Sherly akan berkilah, bahwa itu karena cintanya pada PKS.

Bukan! Cinta dimulai dari mengenal, lalu memahami. Sherly gagal dalam dua hal ini. Ia gagal dalam memahami konsistensi PKS berjuang lebih dari 20 tahun dengan sistemnya yang kuat, dengan programnya yang merakyat, dengan pondasi syuro-nya yang kokoh.

Sherly gagal memahami mana yang tsawabit dan mutaghayyirat dalam politik. Perubahan-perubahan strategi ia anggap sebagai penyelewengan terhadap nilai-nilai kebenaran. Sebab nilai-nilai kebenaran itu telah ia lekatkan seutuhnya hanya pada pribadi Anies Baswedan. The one and only.

Sidoarjo, 27 Agustus 2024
Penulis buku “Masyumi, PKI, dan Politik Zaman Revolusi”

Comments

comments