Oleh: Mutaqin.
Meninggalkan peristiwa 1998 silam yang menandai era baru Indonesia menuju sebuah masa pembaharuan yang disebut reformasi dengan jatuhnya sebuah rezim yang sekian puluh tahun memaksa banyak suara yang brusaha muncul kepermukaan, kini ruang dan media untuk menyampaikan suara bagi masyarakat telah terbuka lebar, sehingga tak heran jika kemudian banyak bermunculan aksi unjuk rasa bak jamur di musim hujan, bahkan sesaat setelah Gus Dur menjadi orang nomor satu negeri ini sebagai Presiden ke 4. Pada awal era Presiden KH. Abdurahman Wahid aksi demonstrasi selalu ada setiap harinya, entah menuntut perbaikan ekomomi maupun tuntutan-tuntutan yang lain.
Meski masih tertatih-tatih dalam pelaksanaannya dan masih banyak dijumpai berbagai aspek yang tidak bersesuaian dengan prinsip demokrasi, sebagai negera yang bercorak demokrasi sudah menjadi hal yang sangat lumrah dijumpai pemandangan berupa fenomena aksi unjuk rasa atau demonstrasi di seluruh wilayah Indonesia.
Karena bagaimana pun keterkaitan demokrasi dan demonstrasi tak ubahnya masing-masing sisi pada sebuah koin yang saling terkait dan identik, lebih jauh lagi dapat pula dianalogikan jika keduanya adalah wadah dan isi, di mana demokrasi adalah wadah yang dapat menampung demonstrasi sebagai isinya. Demonstrasi sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang, adalah satu satu dari dua cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah atau badan negara.
Demokrasi sebagai sebuah sistem yang dianggap ideal bukan hanya di negeri-negeri barat melainkan juga di negeri belahan timur tidak terkecuali Indonesia,di mana salah satu aspek dianggap penting adalah kebebasan untuk bersuara yang dijamin dalam negeri yang memegang prinsip kedaulatan di tangan rakyat ini. Kebebasan bersuara yang diberikan negara untuk setiap rakyatnya adalah bagian dari manifestasi kedaulatan di tangan rakyat.
Sehingga budaya untuk berfikir kritis seharusnya tumbuh subur di tengah-tengah masyarakatnya, akan tetapi hal penting yang perlu diperhatikan juga, jangan sampai ruang besar yang diberikan untuk menyuarakan aspirasi melarutkan para pelakunya ke dalam euporia.
Tentu masih segar dalam ingatan, bagaimana reformasi negeri ini sebagai sebuah gerakan untuk menyelamatkan Indonesia dari kebobrokan dinyalakan dengan jalan demonstrasi yang dilakukan khususunya oleh kalangan mahasiswa secara masif. Pembebasan negeri yang sekian lama terbelenggu dalam suatu era kelam yang disebut orde baru pada tahun 1998 silam menjadi bukti jika aksi demonstrasi masih memiliki peran dalam menentukan arah suatu bangsa, dan keberadaannya menunjukan bahwa demokrasi masih menjadi denyut nadi berbangsa dan bernegara kita.
Sejak Indonesia lahir sebagai negera berdaulat, catatan sejarah telah merekam sederetan aksi massa atau demo yang kemudian dikenal sebagai salah satu aksi demonstrasi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini, di antaranya, aksi massa Tritura atau tiga tuntutan rakyat yang terjadi pada masa Presiden Soekarno tahun 1966, kemudian ada aksi massa yang dikenal sebagai peristiwa Malari yang terjadi pada 1974, dan yang tentu saja peristiwa reformasi 1998 menjadi yang palin fenomenal dan monumental dalam sejarah.
Kemudian masalah muncul ketika diakui dewasa ini aksi demonstrasi lebih sering muncul dengan wajahnya yang terkesan bar-bar dan penuh aksi anarkis. Sejak awal, sistem demokrasi mengakomodasi kebebasan berpendapat untuk kepentingan bersama, baik itu suara yang berasal dari individu maupun kelompok, baik secara langsung maupun tidak langsung misalnya dalam bentuk aksi massa. Kesan dealism yang muncul kepermukaan terkait aksi massa yang banyak terjadi disebabkan tidak diterapkannya etika dalam pelaksanaannya, sehingga tindakan anarkis seperti aksi lempar batu dan bakar ban kerap terjadi hanya karena merasa tuntutannya tidak didengarkan oleh pihak terkait.
Belum lagi sekarang jamak terjadi sebuah aksi demonstrasi settingan, yang digerakan untuk kepentingan kelompok tertentu seolah aksi massa tersebut merupakan suara-suara rakyat.
Demonstrasi sebagai salah satu jalan untuk menyampaikan aspirasi yang berkaitan dengan kebijakan deali yang dilanggengkan di bawah sistem yang disebut demokrasi, pada giliran selanjutnya telah menyimpang dari sebagaimana mestinya ketika terdapat pihak-pihak tertentu yang memanipulasi aksi massa dengan imbalan pundi-pundi rupiah bagi mereka yang ikut serta dalam demonstrasi tersebut, dan ini telah menjadi semacam bisnis dengan keuntungan yang menggiurkan dengan mekanisme yang sistematis dan terkoordinir.
Miris memang, melihat kenyataan jika mereka mempermainkan dan menghina salah satu jalan untuk menunjukan wajah berdemokrasi kita dengan menggerakan massa dengan skema drama.
Dan fakta yang lebih menyayat hati, para pemuda yang diwakili oleh kelompok mahasiswa yang menjadi motor penggerak dalam aksi untuk menghidupkan kobaran semangat reformasi dalam peristiwa 1998 yang penuh tragedy tersebut dengan aksi demonstrasi secara besar-besaran yang pada akhirnya melengserkan Suharto setelah berkuasa selama 32 tahun.
kini banyak dari mereka yang hanya dijadikan bidak catur dari para pemegang kepentingan yang digerakan dengan imbalan materi sehingga tidak heran jika muncul skeptisme dari masyarakat luas jika aksi massa yang mereka lakukan tidak lagi murni untuk kepentingan rakyat. Ini adalah fakta yang jamak ditemui di lapangan, apalagi jika kita kaitkan dengan hawa politik yang semakin memanas menuju puncak musim politik di pilpres dan pemilu serentak 2019 mendatang.
Semakin banyak mahasiswa yang meninggalkan dealism-nya maka seiring itu pula akan banyak bermunculan aksi demonstrasi settingan yang di baliknya tersembunyi kepentingan politik kelompok tertentu. Namun terlepas dari kenyataan ini, demonstrasi tetaplah sebuah media yang keberadaan dan pelaksanaannya dijamin dalam sistem demokrasi yang justru menguatkan sistem demokrasi itu sendiri.
Membenci aksi demonstrasi karena tindakan anarkisme yang brutal dan tindakan tidak arif lain di dalamnya adalah sebuah keharusan, namun membenci aksi massa atau demonstrasi sebagai media dalam menyalurkan aspirasi yang dibenarkan oleh Undang-Undang bukanlah tindakan yang bijak, karena itu sama saja membenci bagaiaman cara hidup berbangsa dan bernegara negeri Indonesia yang bercorak demokrasi.
Selain itu, sebagai motor penggerak bangsa dan yang akan meneruskan cita-cita luhur di dalamnya. Mahasiswa dalam peranannya untuk masyarakat luas tidak melulu harus dengan jalan mengkritik melalui aksi demonstrasi yang ditujukan terhadap pemerintah, meskipun jalan tersebut dibenarkan dalam konstitusi akan tetapi tentu masih ada banyak hal positif yang dapat dilakukan untuk masyarakat.
Misalnya dengan mengadakan kegiatan bakti sosial yang konsen pada masalah pendidikan dengan merangkul anak-anak jalanan yang tentu saja banyak dari mereka yang belum tersentuh oleh pendidikan, dan masih banyak lagi kegiatan positif lainnya yang lebih bermanfaat bagi orang banyak. Jangan hanya menjadikan demonstrasi sebagai jalan untuk mengaktualisasikan kemahasiswa-annya, berorasi di jalan-jalan seolah menjadi penyambung lidah masyarakat yang sedang tertindas dan membutuhkan pertolongan, sebagai seorang mahasiswa apa hanya itu yang dapat dilakukan untuk lingkungan dan masyarakat. Di sini dibutuhan kesadaran bahwa peran mahasiswa jelas lebih besar daripada sekedar mengkritik tanpa diikuti oleh aksi nyata.