“Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati”, inilah yel-yel yang diteriakkan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pada tahun 1948.
Sejak 18 September 1948, Muso memproklamirkan Negara Soviet Indonesia di Madiun. Otomatis, Magetan, Ponorogo dan Pacitan menjadi sasaran berikutnya. Kyai di Pondok Takeran Magetan sudah dihabisi oleh PKI. Sekitar 168 orang tewas dikubur hidup-hidup. Kemudian PKI geser ke Ponorogo, dengan sasaran Pondok Modern Darussalam Gontor.
KH. Imam Zarkasyi (Pak Zar) dan KH Ahmad Sahal (Pak Sahal) dibantu kakak tertua beliau berdua, KH Rahmat Soekarto (yang saat itu menjabat sebagai Lurah desa Gontor), pun berembug bagaimana menyelamatkan para santri dan Pondok.
“Wis Pak Sahal, penjenengan ae sing budhal ngungsi karo santri. PKI kuwi sing dingerteni Kyai Gontor yo panjengan. Aku tak jogo Pondok wae, ora-ora lek dkenali PKI aku iki.” (Sudah Pak Sahal, Anda saja yang berangkat mengungsi dengan para santri. Yang diketahui Kyai Gontor itu ya Anda. Biar saya yang menjaga Pesantren, tidak akan dikenali saya ini), kata Pak Zar.
Pak Sahal pun menjawab: “Ora, dudu aku sing kudu ngungsi. Tapi kowe Zar, kowe isih enom, ilmumu luwih akeh, bakale pondok iki mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladenani PKI kuwi. Ayo Zar, njajal awak mendahno lek mati“.
(Tidak, bukan saya yang harus mengungsi, tapi kamu Zar. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak, pesantren ini lebih membutuhkan kamu daripada saya. Saya sudah tua, biar saya hadapi PKI-PKI itu. Ayo Zar, mencoba badan, walau sampai mati)
Akhirnya diputuskanlah bahwa beliau berdua pergi mengungsi dengan para santri. Penjagaan pesantren di berikan kepada KH Rahmat Soekarto. Berangkatlah rombongan Pondok Gontor kearah timur menuju Gua Kusumo, saat ini dikenal dengan Gua Sahal di Trenggalek. Mereka menempuh jalur utara melewati Gunung Bayangkaki. Pak Sahal pun berujar, “Labuh bondo, labuh bahu, labuh pikir, lek perlu sak nyawane pisan” (Korban harta, korban tenaga, korban pikiran, jika perlu nyawa sekalian akan aku berikan).
Sehari setelah santri-santri mengungsi, akhirnya para PKI betul-betul datang. Mereka langsung bertindak ganas dengan menggeledah seluruh pondok Gontor.
Tepat pukul 15.00 WIB, PKI mulai menyerang pondok. Senjata ditembakkan. Mereka sengaja memancing dan menunggu reaksi orang-orang di dalam pondok. Setelah tak ada reaksi, mereka berkesimpulan bahwa pondok Gontor sudah dijadikan markas tentara.
Pukul 17.00 WIB, mereka akhirnya menyerbu ke dalam pondok dari arah timur, kemudian disusul rombongan dari arah utara. Tak lama kemudian datang lagi rombongan penyerang dari arah barat. Jumlah waktu itu ditaksir sekitar 400 orang.
Dengan mengendarai kuda, pimpinan tentara PKI berhenti di depan rumah pendopo lurah KH. Rahmat Soekarto. Mengetahui kedatangan tamu, Lurah Rahmat menyambut tamunya dengan ramah, serta menanyakan maksud dan tujuan mereka.
Tanpa turun dari kuda, pimpinan PKI ini langsung mencecar Lurah Rahmat. Kemudian mereka meninggalkan rumah lurah Rahmat, nekat masuk tempat tinggal santri, lalu berteriak-teriak mencari kyai Gontor. “Endi kyai-né, endi kyai-né? Kon ngadepi PKI kéné …” (Mana Kyainya, mana kyainya? Suruh menghadapi PKI sini…)
Karena tak ada sahutan, mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari gedèg (bambu) dirusak. Buku-buku santri dibakar habis. Peci, baju-baju santri yang tidak terbawa, mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku. Termasuk beberapa kitab suci Al-Qur’an mereka injak dan bakar.
Akhirnya, PKI pun kembali ke rumah Lurah Rahmat, lalu berusaha masuk ke rumah untuk membunuh KH. Rahmat Soekarto. Mereka sambil teriak, “Endi lurahé? Gelem mèlu PKI po ra? Lèk ra gelem, dibelèh sisan néng kéné…!” (Mana lurahnya? Mau ikut PKI apa tidak? Kalau tidak mau masuk anggota PKI, kita sembelih sekalian di sini).
Namun, tak berapa lama sebelum mereka bisa masuk kerumah Lurah Rahmat datanglah Laskar Hizbullah dan Pasukan Siliwangi. Pasukan itu dipimpin KH. Yusuf Hasyim (putra bungsu KH. Hasyim Asy’ari). Pasukan PKI itu akhirnya lari tunggang langgang karena serbuan itu membiarkan Pondok Modern Darussalam Gontor dalam keadaan porak poranda.
Semoga sejarah ini menjadi pengingat dan pelajaran berharga untuk perjuangan mempertahankan Islam, Pesantren, Bangsa dan Negara.
Ditulis oleh:
Ahmad Ghozali Fadli,
Pelayan Pesantren Alam Bumi Al-Qur’an, Wonosalam, Jombang,
Wasekjen Forum Muballigh Alumni (FMA) Gontor.