Oleh: Tere Liye.
Kebencian sebesar apa yang bisa membuat kita membunuh orang lain, lantas dilemparkan ke dalam sumur? Dan kebencian sebesar apa lagi yang membuat seorang kakak kandung membiarkan adiknya dibunuh, dilemparkan ke dalam sumur tua?
Ini adalah kisah seorang Jenderal bernama S. Parman, dan seorang petinggi Politbiro CC PKI bernama Sakirman. Kalian boleh jadi tidak tahu, dua orang ini bersaudara kandung. Yeah, mereka bersaudara, tapi berbeda pemahaman dalam banyak hal.
Siswondo Parman (S. Parman) lahir 4 Agustus 1918, jauh sebelum Indonesia merdeka. Dia anak pintar, masuklah ke sekolah kedokteran Belanda, jika nasib menentukan lain, dia akan jadi dokter yang hebat. Tapi Jepang datang ke Indonesia, mengambil-alih kekuasaan Belanda, keadaan kacau balau, S Parman banting setir akhirnya bekerja untuk polisi militer Kempeitai Jepang. Tidak lama bekerja, dia ditangkap serdadu Jepang karena diragukan kesetiaannya. Tapi S Parman cerdas, dia dibebaskan, dan justeru dikirim belajar intelijen oleh Jepang.
Setelah kemerdekaan, S Parman bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), karirnya moncer, prestasinya banyak, termasuk yang perlu dicatat, dia pernah menggagalkan rencana pembunuhan yang hendak dilakukan kelompok Raymond Westerling, APRA-Angkatan Perang Ratu Adil. Tahun 1951, S Parman dikirim ke Amerika, sekolah di sana. Juga pernah dikirim ke London, sebagai atase militer Indonesia. S Parman adalah tentara yang brilian dalam urusan intelijen, posisi terakhirnya sebelum meninggal adalah soal intelijen.
Sekarang kita bahas kakaknya. Siapa itu Sakirman? Wah, juga tidak kalah menterengnya, lahir tahun 1911, terpisah 7 tahun dengan adiknya, Sakirman adalah jenius dalam keluarga, dia lulusan “Technische Hooge School” (THS), sekarang ITB. Insinyur Sakirman, adalah elit Politbiro CC PKI. Sejak sebelum masa kemerdekaan, Sakirman terlibat dalam banyak peristiwa penting, meski sipil, seorang insinyur, dia pernah menyandang pangkat Let Kol dalam pemerintahan awal-awal kemerdekaan.
Tapi berpuluh tahun kemudian, dua bersaudara ini ternyata berbeda jalan. Sangat berbeda.
S Parman, yang jelas terlatih dalam bidang intelijen, tahun 1960-an, habis-habisan menolak ide pembentukan kekuatan kelima. Dia tidak mau jutaan rakyat, petani dan buruh tiba-tiba diberikan senjata. Menurut S Parman, itu sungguh strategi licik yang amat membahayakan. Ada udang dibalik batu. Itu rakyat yang mana? Sekali jutaan rakyat itu membawa senjata, crazy sekali, Indonesia bisa menjadi lautan perang saudara, darah tumpah di mana-mana. Tidak akan ada yang bisa mengontrol mereka.
Kakaknya, Sakirman, justeru punya pendapat berbeda. Sebagai elit Politbiro CC PKI, dia habis-habisan menggelontorkan ide tersebut agar direstui penguasa. Elit PKI tahu persis, hanya TNI yang masih menjadi penghadang ide besar mereka mengambil-alih kekuasaan, maka apapun harus dilakukan untuk menyingkirkan TNI, termasuk fitnah keji sekalipun, seolah-olah TNI-lah yang hendak mengkudeta pemerintah. Pancasila tidak relevan lagi, itu bisa diganti dengan paham lain.
S Parman dan Sakirman menjadi seteru politik yang nyata. Dua kakak-adik itu menjadi musuh. Satu TNI, satu PKI.
Hari itu, entah kebencian sebesar apa yang membuat seorang kakak kandung tega melihat adiknya masuk dalam daftar Jenderal yang diculik. Hari itu, Jenderal S Parman dibawa hidup-hidup ke sebuah sumur tua, di sana dia ditembak tanpa ampun, kemudian dilemparkan masuk ke dalam sumur dingin itu. Jasadnya yang sudah menyedihkan, ditemukan beberapa hari kemudian. Sungguh, kebencian sebesar apa yang bisa membuat kita memutus tali persaudaraan?
Apakah sama dengan 39 tahun lalu, ketika lebih dari 1,2 juta rakyat negeri seberang, Kamboja juga tewas oleh kekejaman pasukan Khmer Merah. Kelompok KOMUNIS, yang berusaha mengangkangi seluruh negeri, mengambil kekuasaan dari pemerintah di bulan April 1975. Sebagian dari rakyat Kamboja mati karena kelaparan, menderita sakit dalam kecamuk perang yang disebabkan pasukan Khmer Merah, dan tidak sedikit yang tewas karena disiksa, ditembak mati, terserah apa maunya si komunis.
Kenanglah peristiwa ini. Kisah S Parman dan Sakirman, dua saudara kandung, yang berbeda pemahaman, dengan ending menyesakkan. Hari ini, S. Parman menjadi nama banyak jalan besar di negeri ini. Kita boleh jadi lupa sejarahnya, tapi ijinkan saya mengingatkan kalian, agar kita lebih seimbang dalam mengenang sesuatu….
Tere Liye.