Oleh: Zico Alviandri.
Semarak kemenangan Taliban di Afganistan dijadikan ajang fear mongering dengan narasi radikalisme di tanah air. Yang paling diangkat adalah soal pengekangan wanita untuk mendapat akses pendidikan. Padahal kaum Islamis di Indonesia tidak pernah punya masalah dengan kebebasan kaum hawa. Pada tahun 1923, Rahmah El Yunusiah telah mendirikan sekolah muslimah pertama di Indonesia. Yang pernah bermasalah adalah patriarki dan oligarki adat Jawa hingga muncul Kartini dengan ide-ide perlawanannya.
Media-media barat menggambarkan betapa sengsaranya wanita yang hidup di rezim Taliban. Dilarang bersekolah, lapangan kerja dibatasi, pakaian diatur, segala gerak-gerik diawasi oleh polisi keagamaan. Dan berbagai deskripsi yang menggambarkan keterkekangan. Berkaca dari pemerintahan Taliban dari tahun 1996 sampai 2001.
Meski pada jumpa pers terakhir pada hari Selasa (17 Agustus 2021), juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid berjanji bahwa mereka akan menghormati hak-hak perempuan. Kelompok tersebut sebelumnya juga mengumumkan ke seluruh Afghanistan dan mendesak perempuan untuk bergabung dengan pemerintahnya.
Nah, kebijakan Taliban terhadap perempuan itu dijadikan senjata bagi kalangan liberalis dalam negeri untuk menakut-nakuti masyarakat terhadap kalangan islamis dengan narasi radikal. Dengan halus mereka menggeneralisasi sikap Taliban sebagai sikap seluruh orang yang mengedepankan nilai agama dalam ruang publik, terutama kelompok politik Islam karena kelompok ini yang bertarung dalam perebutan kekuasaan secara legal.
Bagi sebagian pihak, fear mongering ini adalah kesempatan untuk menutup-nutupi keluhan terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. Seperti peristiwa penghapusan mural belakangan. Terlalu jauh melihat ke negeri yang berjarak 6.171 KM dari negara kita. Pengekangan dalam bentuk lain sedang dirasakan oleh masyarakat.
Sejak merdeka, muslim di Indonesia tidak pernah mengekang wanita untuk mendapat hak pendidikan atau pun bekerja. Bahkan di Aceh yang menerapkan syariah Islam pun tidak ada pembatasan itu. Ketika partai-partai Islam memenangkan pilkada, tidak pernah ada terbersit keinginan untuk mengurung perempuan di dalam rumah. Malah, mereka memperjuangkan sekolah gratis yang bisa dinikmati berbagai kalangan.
Apalagi bila dirujuk ke sejarah. Masyumi pernah punya kader bernama Rahmah El Yunusiah yang mendirikan sekolah Diniyah Putri. Pada tahun 1955 ia terpilih menjadi anggota DPR mewakili Masyumi.
Pendidikan untuk wanita juga digagas oleh Nyai Ahmad Dahlan, istri pendiri Muhammadiyah, dengan pendirian perkumpulan Sopo Tresno pada 1914, yang kemudian pada tahun 1917 berubah nama menjadi Aisyiah. Melalui organisasi itu beliau mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama dan berkhutbah menentang kawin paksa.
Jaman sekarang, partai-partai Islam punya wakil perempuan di parlemen. Membuktikan kalangan Islamis di dalam negeri tak pernah punya niat membatasi peran wanita di ruang publik.
Justru, kadang untuk membenturkan dengan ajaran Islam, ada yang mengangkat wacana “budaya asli” Indonesia. Misal kebaya dan kemben untuk diklaim budaya asli sementara jilbab disebut budaya pendatang. Kalau isu sentralnya adalah soal kebebasan wanita, maka Islamis di tanah air telah membuktikan tak pernah melakukan pengekangan. Berbeda dengan budaya Jawa yang pernah dikeluhkan oleh Kartini dalam korespondensinya kepada para noni bule.
Kalau mau adil, budaya asli Indonesia tentu mencakup pula selain Jawa. Misal, Minangkabau yang di situ banyak lahir patriot wanita seperti pendiri Diniyah Putri yang sudah disebut tadi, HR Rasuna Said, Roehanna Koeddoes, dll. Dan slogan adat di tanah yang terkenal dengan kulinernya itu adalah: Adat bersandikan syariat, syariat bersendikan kitabullah. Nah, justru dari budaya yang menerapkan syariatlah banyak pejuang wanita yang terdidik hadir.
Narasi taliban ini sudah begitu liar dipergunakan membabi buta. Bahkan untuk mengacak-acak institusi pemberantasan korupsi yang selama ini dipercaya masyarakat. Sehingga tidak murni lagi sebagai warning untuk sikap yang anti moderasi.
Padahal kelompok yang pernah bertemu dengan pimpinan NU pada akhir Juli 2019 sudah berjanji akan bersikap moderat. Berjanji akan mengubah perlakuan terhadap wanita. Tentu mereka banyak belajar. Membuka interaksi dan dialog dengan banyak pihak, salah satunya dengan organisasi massa Islam terbesar di Indonesia.
Namun pelaku fear mongering tidak merasa perlu untuk bersikap adil dan paham sejarah. Tak peduli argumen mereka rapuh. Semata karena benci dengan kesalehan yang tampak di muka umum. Maka, mari kita lawan seruan mereka!