Oleh: Ari Tri Wahyuni.
Sebuah tanggung jawab berawal dari keikhlasan. Dia tidak memandang siapa, bagaimana, mengapa ataupun dimana. Karena keikhlasan tak mengenal kosa kata itu. Ia bekerja mengikuti nurani yang dijaga kebersihannya oleh Sang Pencipta.
Bencana banjir bandang yang melanda Kecamatan Sembalun (Kecamatan di kaki Gunung Rinjani) beberapa bulan lalu menyisakan cerita tersendiri bagi kelompok ternak dampingan Dompet Dhuafa*. Mereka (peternak anggota kelompok) tak ada bedanya dengan warga Sembalun pada umumnya. Kehilangan kesempatan memanen ladang mereka. Ladang tomat berubah menjadi ladang kerikil. Ladang sayur berubah menjadi ladang pasir. Tak satupun tersisa untuk sekedar membuat bibir para petani itu tersenyum. “Ini ujian dari Allah untuk Kami. Mengingatkan para petani yang sering lupa mengeluarkan kewajibannya ketika panen tiba”, ucap mereka untuk membesarkan hati. Setidaknya ada hikmah yang bisa mereka ambil.
Para peternak punya cerita sendiri dengan ternak mereka. Kisah mereka dimulai sebelum banjir bandang datang menghantam. Sudah sembilan hari sembilan malam Sembalun gelap. Hujan angin yang datang membuat listrik mati total. Cuaca dingin dan angin kencang membuat mereka berfikir untuk keluar rumah, mencari tempat yang lebih aman. Namun ternyata keengganan itu hilang tatkala mereka ingat sapi-sapi mereka di kandang bersama. Kalau dibiarkan bisa mati kelaparan dan kedinginan sapi-sapi itu. Padahal baru saja mereka meregup kegembiraan bersama lahirnya anak sapi yang menjadi hak mereka. Langsung saja mereka keluar rumah, berbasah-basahan menahan dingin menerjang angin, mencari rumput. Setelah cukup memperoleh rumput mereka masih harus mengantarkannya ke kandang bersama. Bukan hanya sapi tanggung jawabnya yang diberi makan, semua sapi milik rekan sekelompoknya juga mendapatkan jatah yang rata. Mereka dan ternak mereka harus sama-sama kenyang, begitu prinsip yang dipegang. Ketua kelompok bahkan menyempatkan diri untuk menyalakan api unggun agar ternak mereka tidak kedinginan. Sikap yang tak mungkin muncul tanpa ada rasa tanggung jawab.
Sampai akhirnya datanglah banjir bandang. Dengan sigap mereka menyelamatkan ternaknya dari kandang bersama yang rusak dilalap banjir. Sapi-sapi itu dibawa ke rumah masing-masing. Beberapa bahkan menempatkan sapi-sapi mereka di dapur rumah. Ketua kelompok ‘Majapahit’ bertutur tentang perjuangannya menyelamatkan sapi mereka (bukan hanya sapinya) dari kandang. Dia lari melawan air bah yang deras menuju kandang. Dalam kondisi basah kuyub dia tarik tali pengikat sapi betinanya. Dia berfikir anak sapinya pasti mengikuti induknya di belakang. Ternyata sampai di rumah tidak ia dapati anak sapi itu. Kembali dia keluar rumah mencari anak sapi yang hilang itu. Bahkan sampai satu kilo jauhnya ia mencari. Sampai akhirnya seseorang mengatakan telah melihat anak sapi hanyut terbawa arus deras sungai. Meski sirna harapannya akan menemukan anak sapi itu dalam kondisi hidup, ia coba menyisir anak sungai. Memastikan anak sapi itu memang hilang atau bahkan sudah mati. Dua kilo sudah ia berjalan, akhirnya ia temukan anak sapi itu dalam kondisi menggigil kedinginan. Segera dibawanya pulang, ia beri makan dan didekatkan pada api. “Dia tidak mau makan, tapi langsung tertidur pulas”, katanya. Sesaat setelah mendengar beliau bertutur, kami berfikir itu anak sapinya, ternyata itu anak sapi anggota kelompok yang lain. Sebuah perjuangan yang lahir dari rasa tanggung jawab.
Lain lagi cerita Ketua Kelompok ‘Loang Londe’. Setelah datang banjir bandang datang, seekor sapi betina di kelompoknya kejang karena kedinginan. Dari rupanya sapi itu terlihat sudah sekarat. Di waktu yang sama pemilik sapi sedang berada di ladang. Sudah dua hari dua malam ia terjebak di ladang tidak bisa pulang karena arus sungai yang deras. Kedinginan, ditambah lagi kelaparan. Akhirnya kelompok berembug dan memutuskan untuk menyembelih sapi itu meskipun sang pemilik tidak tahu.
Selesai disembelih, mereka keliling menjual dagingnya. Tapi dalam kondisi pasca bencana semua lapar, namun tak ada uang yang bisa mereka pakai untuk membeli daging. Tak jarang mereka ditolak. Tapi mereka tetap keliling menawarkan daging sapi itu. Lelah mereka rasakan, belum lagi rasa lapar mulai datang. Bisa saja sebenarnya mereka bagi-bagi daging itu. Namun mengingat amanah yang harus dipertangungjawabkan dan si pemilik sapi yang juga sedang bertahan hidup di ladang, muncul lagi semangat mereka. Akhirnya mereka obral daging itu asalkan mendapat uang. Bahkan dihutangkan. Setelah dua hari baru habis daging yang mereka jual. Sebuah tanggung jawab yang tak mungkin muncul tanpa keikhlasan.
Malam itu, ketika kami tim DASI/DD datang untuk monev akhir program, kami disuguhi cerita-cerita perjuangan mereka. Agak lain rasanya suasana pertemuan malam itu. Bahkan Ketua Kelompok ‘Loang Londe’ bertutur sambil menitikkan air mata. Hening malam menambah kesyahduan acara malam itu. Diam-diam kami berdoa, semoga semangat perjuangan ini membawa keberkahan bagi para pemilik niatan baik. Amin.
(*) Dompet Dhuafa menginisiasi program pemberdayaan masyarakat di Desa Sembalun, Lombok Timur. Dibentuk beberapa kelompok dari masyarakat dhuafa. Satu kelompok beranggotakan 5 orang peternak yang masing-masing diamanahkan 1 ekor sapi betina, dan tambahan 1 ekor sapi jantan tiap kelompok. Sapi-sapi tersebut dipelihara di kandang bersama milik kelompok. Mereka berhak atas anak sapi yang lahir pertama dan kedua, sedangkan kelahiran ketiga menjadi milik program untuk digulirkan ke kelompok baru, begitu seterusnya.
Image Courtesy: AFP