Oleh: Wendi Zarman
Mengapa kita beragama? Mungkin tidak banyak orang yang secara serius memikirkan pertanyaan ini. Di Indonesia, sebagian besar orang telah memeluk agama sejak kecil. Karena itu, memeluk agama seringkali menjadi suatu hal yang taken for granted, suatu hal yang diterima begitu saja tanpa perlu bertanya alasannya. Keadaan ini menyebabkan banyak orang mengamalkan agama sekedarnya saja dan kurang meresapi maknanya secara mendalam.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu diperjelas dulu apa yang dimaksud dengan agama itu.
Di dunia Barat, mendefinisikan agama telah menjadi persoalan yang sulit dipecahkan. Mereka kesulitan mencari definisi yang dapat mewadahi pemahaman mereka terhadap agama. Hal itu dikarenakan oleh pandangan mereka yang terlalu anthroposentris. Agama hanya dipandang sebagai produk kebudayaan manusia. Sebagai produk budaya, realitas agama tentu saja sangat beragam, sehingga amat sulit untuk mengambil kesimpulan umum mengenai hakikatnya. Karena itu, religion can not be defined. Begitu akhir kesimpulan mereka.
Namun, seorang Muslim yang mengenal baik agamanya tidak akan kesulitan mendefinisikan apa itu agama. Tentunya definisi ini berdasarkan cara pandang Islam dan dengan merujuk Islam itu sendiri sebagai agama. Agama yang sejati (Ad-Diin) menurut Islam adalah ajaran dari Tuhan Yang Haq, Allah SWT, yang wajib diamalkan oleh manusia demi semata-mata mengabdi kepada-Nya. Dengan pengertian ini, secara ontologis hakikat agama adalah ilmu atau pengetahuan yang diamalkan, sedangkan secara epistemologis agama bersumber dari Allah, bukan pemikiran manusia yang berkembang dalam sejarah. Adapun dari sisi aksiologis, tujuan mengamalkan agama adalah untuk mengabdi kepada Allah semata.
Di balik definisi di atas terselip sebuah pertanyaan: mengapa manusia mesti mengabdi kepada Tuhan dengan mengamalkan ajaran agama-Nya? Sebagian ada yang mengatakan bahwa pengabdian itu bertujuan agar manusia memperoleh ketentraman atau kemudahan dalam hidup. Selain itu, dengan mengamalkan agama diharapkan di akhirat kelak manusia memperoleh surga dan terhindar dari azab neraka.
Akan tetapi, dengan pemahaman demikian, muncul kesan bahwa tujuan beragama bukanlah untuk mengabdi kepada Tuhan, melainkan demi kemaslahatan diri manusia sendiri. Sementara Tuhan hanyalah ‘alat’ untuk merealisasikan kepentingan manusia. Artinya, ungkapan ‘demi semata-mata mengabdi kepada-Nya’ tak lebih dari retorika belaka.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir besar Islam abad ke-21, menjelaskan persoalan yang cukup jarang diulas oleh ulama masa kini tersebut. Dalam “Islam: Faham Agama dan Akhlak”, salah satu essay dari karyanya Islam dan Sekularisme, Prof. al-Attas menjelaskan bahwa agama, yang disebut diin dalam Bahasa Arab, muncul dari keberhutangan manusia kepada Allah. Keberhutangan itulah yang menyebabkan manusia tidak dapat lari dari pengabdian kepada-Nya. Hal itu diisyaratkan oleh kata diin itu sendiri yang salah satu artinya adalah keadaan berhutang.
Bagaimana agama dapat dijelaskan dalam perspektif keberhutangan?
Sebagaimana dipahami, seluruh manusia itu pada mulanya tidak ada, kemudian menjadi ada. Adanya manusia bukan karena terjadi dengan sendirinya; bukan juga karena dia menciptakan dirinya sendiri. Seorang manusia ada bukan pula karena kedua orangtuanya, karena meskipun secara lahiriah keduanya terlihat memiliki peran, tapi peran itu hakikatnya bukan di bawah kendali keduanya. Mereka berdua hanyalah objek dari kekuasaan yang lebih besar, dengan kata lain keberadaan keduanya hanyalah sebagai perantara. Satu-satunya Dzat yang menyebabkan manusia ada adalah Tuhan Yang Maha Pencipta. Tuhan itu memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan Allah.
Peranan Allah dalam kemaujudan manusia di muka bumi tidak berhenti pada penciptaan saja, tetapi juga pemeliharaan eksistensinya. Sejatinya manusia itu amatlah lemah, bahkan di saat dia telah dewasa dan memiliki kesehatan yang prima. Tidak sedetik pun dia dapat menopang keberlangsungan hidupnya dengan kekuatannya sendiri. Semua itu semata-mata berkat pertolongan Tuhannya Yang Maha Kuasa.
Ambillah sebuah contoh kecil. Secara biologis, seseorang masih bernyawa selama darahnya masih mengalir ke seluruh badannya. Darah ini mengalir berkat adanya jantung yang aktif memompanya ke seluruh tubuh. Kenyataannya, jantung ini sama sekali di luar kuasa manusia untuk menggerakkannya, apalagi mengatur ritme detaknya. Allahlah yang telah memastikan jantungnya tetap berdegup dan mengalirkan darah ke seluruh penjuru tubuhnya.
Itu baru detak jantung, belum lagi kebutuhan-kebutuhan lain yang amat banyak. Satu urusan ini saja terkendala, hidup manusia seketika berada dalam bahaya.
Manusia yang mau bertafakur akan menyadari bahwa seluruh kehidupan yang ia jalani, bukanlah kehidupan yang diatur atau dikendalikannya, tapi semua itu semata-mata pemeliharaan dari Allah SWT. Keadaan ini berlangsung terus menerus selama masa kemaujudan manusia tersebut. Dengan kata lain, manusia akan senantiasa dalam keadaan berhutang kepada Tuhannya. Dalam bahasa tasawuf manusia digelari al-faqiir, karena selalu bergantung dan berharap belas kasih Tuhannya.
Keberhutangan di sini tidak semestinya dipahami dalam pengertian pinjam meminjam uang, harta, peralatan, dan sejenisnya. Maksud keberhutangan di sini lebih luas dari itu. Keberhutangan dalam hal ini adalah suatu keadaan yang timbul setiap kali seseorang menerima kebaikan dari pihak lain. Dalam bahasa kita, hal itu sering disebut hutang budi.
Sekarang, andaikan ada seseorang yang memberi Anda makanan, dan Anda menerima pemberian itu. Maka, pemberian itu menimbulkan keadaan keberhutangan Anda kepada orang itu. Secara naluriah, keberhutangan ini mendorong Anda untuk membalas kebaikan itu. Sekurang-kurangnya balasan itu Anda nyatakan dengan mengucapkan terima kasih. Dari sini dapat dipahami bahwa kecenderungan membalas kebaikan pihak lain merupakan fitrah manusia.
Bayangkan bila seseorang berhutang budi yang sangat besar, bahkan hutangnya itu meliputi keselamatan dan kesejahteraan hidupnya. Dalam keadaan ini, orang tersebut bersedia mengabdikan dirinya kepada pemberi hutang. Fitrah sang penerima hutang akan mendorongnya dengan sukarela mengikuti perintah dan kemauan pemberi hutang. Hal ini dilakukannya sebagai balasan atas kebaikan sang pemberi hutang.
Sebagai contoh, misalkan ada seorang anak yatim yang miskin dan terlantar yang diangkat anak oleh seorang raja yang kaya dan perkasa. Si yatim merasakan betapa kehidupannya beralih dari sengsara menjadi sejahtera. Si yatim menyadari bahwa kesejahteraan itu tidak akan diperolehnya sekiranya sang raja tidak mengadopsinya. Dengan kata lain, si yatim merasakan dirinya berhutang kebaikan yang sangat banyak kepada sang raja. Kesadaran ini akan menumbuhkan dalam diri sang yatim untuk mengabdi kepada raja. Hal itu akan dilakukannya dengan segenap jiwa, bukan karena terpaksa atau diancam oleh sang raja.
Demikian pula halnya keberhutangan manusia kepada Allah. Seluruh hidup manusia, termasuk dirinya, adalah keberhutangan itu sendiri. Sedemikian banyaknya keberhutangan (nikmat) itu, sehingga tidak mungkin dia dapat menghitungnya. Allah berfirman dalam al-Qur’an,
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Artinya: “Jika kau hendak menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup mengiranya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dhalim lagi ingkar.” (QS. Ibrahim [14]: 34).
Bila manusia benar-benar menyadari bahwa seluruh hidupnya bergantung kepada belas kasih Tuhannya, tentunya ia tidak akan durhaka kepada-Nya. Insan tersebut akan dengan tulus dan ikhlas mengabdikan hidupnya dengan cara menunaikan seluruh perintah dan aturan Sang Pencipta dan Pemeliharanya. Sebab, itu sudah merupakan fitrahnya, suatu sifat yang menyatu dengan eksistensinya.
Karena itu, jika ada orang yang kufur atau ingkar kepada Tuhan, maka jelaslah penyebabnya adalah karena ketidaktahuannya terhadap keadaan dirinya yang sangat lemah dan ketidakkenalannya kepada Tuhan yang telah menciptakan dan memeliharanya. Dari perspektif inilah kita dapat memahami sabda Nabi saw. berikut:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Yang berarti: “Barang siapa yang telah mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”