Oleh: Nafi’ah al-Ma’rab
Di laman blog Madgalena.co, dalam artikel berjudul ’37 and Feminist: Here’s Why I don’t Want Kids yang ditulis oleh Mirisa Hasfaria dan diunggah pada November 2020, sebuah catatan penting tentang Child Free bisa kita pelajari.
Kisah yang ditulis penulis di atas menyebutkan awal bagaimana latar belakang si penulis akhirnya memutuskan menjadi seorang aktivis feminis. Diceritakan keluarganya dalam kondisi ekonomi yang sulit. Ayah dan ibunya memiliki banyak anak, sedangkan ayahnya tidak memiliki banyak uang untuk membiayainya.
Di satu sisi, sang ibu pun tidak memiliki pekerjaan untuk membantu keuangan keluarga. Si penulis mengaku telah berusia lebih dari 37 tahun. Hal itu ia sebutkan di laman Facebooknya, saat teman-teman mengungkapkan ucapan selamat. Si penulis mengaku tenang, tanpa beban di usia 37 tahun tidak menikah.
Ia telah aktif mengampanyekan feminisme sejak usianya 14 tahun. Rasa stress menyaksikan kondisi keluarganya menyebabkan ia pada akhirnya bersetuju dengan konsep pemikiran feminisme yang selama ini ia pelajari.
Tidak apa-apa untuk tidak menginginkan anak. Tidak apa-apa untuk tidak menyukai anak-anak. Sangat mungkin untuk menjalani kehidupan yang bahagia tanpa memiliki anak. Memiliki anak adalah pilihan hidup bukan “langkah berikutnya yang diberikan” atau “perkembangan alami kehidupan.” Memilih child free adalah pilihan yang benar-benar tepat.
Sampai di sini kita paham landasan apa yang membuat keputusan si aktivis tadi semakin meyakini sebuah teori child free yang dialaminya. Sebuah kesimpulan pada satu kasus dalam konteks yang disempitkan makna dan penyebabnya, dan selanjutnya menjadi sebuah generalisasi pada kasus-kasus yang lain.
Apa itu Child Free?
Baiklah, kita kembali ke definisi child free. Situs Wikipedia mendefinisikan istilah child free sebagai keputusan ataupun pilihan hidup seseorang untuk tidak memiliki anak dalam kehidupannya. Baik itu anak kandung, anak angkat, maupun anak tiri. Hidup bebas tanpa adanya seorang anak yang menjadi bagian kehidupannya.
Istilah ini sendiri mulai populer pada akhir Abad ke-20. Sementara itu St. Augustine berpaham Maniisme yang juga seorang teolog Kristen berpendapat bahwa keputusan untuk membuat anak merupakan tindakan tak bermoral yang dapat menjebak jiwa-jiwa di dalam tubuh yang kekal.
Oleh karena itulah keputusan untuk memperoleh anak harus dicegah dengan menggunakan alat kontrasepsi.
Dikutip dari laman theguardian.com, dalam sebuah artikel berjudul The choice to be child-free is admirable, not selfish yang ditulis oleh Jill Filivopic menyebutkan, child free sebenarnya hanyalah alasan orang untuk menghindar dari menjadi orang tua. Sebuah pilihan egois yang menunjukkan sikap anti agama, anti keluarga, dan kontra dengan nilai-nilai budaya kemanusiaan.
Fakta Statistik Child Free
Sebuah penelitian oleh David Foot di University of Toronto menyebutkan, semakin tinggi tingkat pendidikan seorang perempuan, maka semakin sedikit keinginan untuk melahirkan anak.
Dilakukan penelitian terhadap wanita berusia 35 hingga 44 tahun. Sebanyak 82,5% memilih child free dengan tidak menikah, sedangkan sebanyak 12,9% nya memilih tidak memiliki anak dalam status menikah.
Mereka yang lulus SMA memilih child free sebanyak 14,3%, pendidikan tinggi tanpa gelar 24,7%, pendidikan S1 sebanyak 18,2% dan jenjang S2/S3 berada di peringkat terbanyak yakni 27,6%.
Para peneliti menyimpulkan alasan mengapa mereka yang berpendidikan tinggi cenderung memilih child free karena kecenderungan keinginan untuk dipekerjakan dalam bidang professional dan manajemen.
Mereka yang memilih tanpa ini juga terlihat cenderung kurang religius dan tidak mengikuti aturan gender konvensional.
Dampak Buruk Child Free dalam Perspektif Agama
Indonesia dengan nilai-nilai Pancasila yang terimplementasi dalam kehidupan bernegara menjadikan asas dasar agama dan ketuhanan sebagai landasan yang utama.
Nilai agama menentang sikap child free yang kontra dengan fitrah manusia itu sendiri. Sebagai contoh pernikahan dalam Islam adalah upaya untuk melanjutkan keturunan, terciptanya kebahagiaan hidup manusia dengan lahirnya keturunan sholeh/sholehah. Namun, dengan adanya child free tersebut menyebabkan tujuan pernikahan tersebut menjadi tidak tercapai.
Sebenarnya bukan hanya Islam yang menentang pemikiran child free tersebut. Alkitab dalam Kristen juga menganjurkan penganutnya untuk memiliki keturunan. Anak-anak adalah karunia yang indah dari Allah (Mzm. 127:3). Pernikahan merupakan sarana untuk menghasilkan keturunan-keturunan ilahi (Mal. 2:15). Bisa memiliki keturunan merupakan salah satu berkat TUHAN (Kej. 1:28).
Child Free Sebagai Budaya Asing
Sebagai perempuan Indonesia kita tumbuh dan dibesarkan dengan nilai agama, budaya, dan adat istiadat Timur yang memuliakan kaum wanita.
Sedangkan child free adalah pemikiran asing yang secara terang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan perempuan Indonesia. Memaksakan untuk melakukannya bukanlah solusi kebahagiaan hidup. Jika hal itu menjadi pilihan, maka benturan nilai akan terjadi. Bukan menjadi solusi kebahagiaan bagi seseorang, tetapi justru muncul masalah baru.
Sebagai wanita mungkin kita akan merasa bahagia tidak memiliki tanggungjawab mengurus anak, tetapi di mata masyarakat kita adalah sosok yang melanggar norma budaya, perempuan kurang baik dan hidup dengan budaya Barat. Belum lagi jika disandingkan dengan nilai agama baik Islam maupun yang lain. Masa tua pun akan sunyi tanpa seseorang yang bisa mewarisi sifat dan kehidupan kita sebagai orang tua.
Bisa jadi hidup kita memang ada masalah, tetapi mengadopsi pemikiran asing yang bertentangan dengan nilai budaya dan agama justru akan memperparah kondisi hidup. Menemukan solusi terbaik kehidupan dari nilai agama dan tradisi sendiri adalah hal yang lebih solutif.