7 Mitos dalam Berinovasi

Oleh: Puwoudiutomo

“Innovation distinguishes between a leader and a follower” (Steve Jobs)

Dalam KBBI, inovasi didefinisikan sebagai pembaharuan, atau penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode, atau alat). Inovasi berbeda dengan penemuan (invention/ discovery) yang hanya menghasilkan pengetahuan (knowledge) baru. Inovasi merupakan sebuah proses transformasi yang memberikan nilai tambah sehingga menghasilkan produk baru, baik berupa barang, jasa, sistem, dan sebagainya.

Inovasi bukan sekedar membedakan antara pemimpin dengan pengikut sebagaimana penuturan Steve Jobs, namun inovasi akan sangat menentukan jatuh bangun bahkan hidup matinya sebuah organisasi atau perusahaan. Daur hidup produk (product life cycle) mulai dari development, introduction, growth, mature, hingga decline juga dirasakan dalam lingkup organisasi atau perusahaan. Tidak sedikit organisasi dan perusahaan yang berhasil tumbuh lalu kemudian mati karena gagal berinovasi. Terlena dengan zona nyaman, sekadar mengerjakan hal yang itu-itu saja, dan lalai dalam berinovasi sehingga tertinggal. Perusahaan game Atari mungkin salah satu contohnya, sempat menguasai pasar namun pada akhirnya tersisihkan dengan berbagi produk inovasi dari kompetitornya seperti Nintendo, Sega dan PlayStation. Hal serupa juga dialami Nokia dan BlackBerry dalam bisnis gadget dan telekomunikasi, tergerus oleh iOS dan Android. Atari dan Nokia perlahan memang mencoba bangkit namun era keemasan sudah berlalu.

Arti pentingnya inovasi untuk tetap survive di organisasi ataupun perusahaan seringkali sudah dipahami. Namun dalam implementasinya, ada berbagai mitos ataupun jebakan yang menghambat sebuah inovasi. Padahal urgensi inovasi bukan hanya menyoal baik tidaknya sebuah produk inovasi, tetapi juga cepat lambatnya inovasi dilakukan. Di tengah dunia yang semakin bergerak cepat, sedikit terlambat saja bisa jadi akan tertinggal. Berikut beberapa mitos yang kerap menjadi jebakan dalam berinovasi.

Inovasi membutuhkan kreativitas tinggi
Tidak sedikit mereka yang urung berinovasi berdalih bahwa mereka kurang kreatif dalam menelurkan sebuah karya inovatif. Apakah inovasi membutuhkan kreativitas? Bisa jadi. Namun kreativitas bukan syarat pokok. Ada tiga komponen penting inovasi: ide, implementasi, dan dampak. Ide tidak harus bersumber dari kreativitas, bahkan idealnya sumber ide inovatif adalah untuk menjawab kebutuhan atau mengatasi masalah yang dihadapi. Kondisi mendesak juga bisa memunculkan produk inovasi, misalnya uang kertas dan makanan kaleng yang merupakan produk inovasi di masa perang. Bahkan produk inovasi bisa lahir dari ketidaksengajaan, misalnya penisilin dan resep Cocacola. Jadi, kreativitas memang penting untuk melahirkan inovasi, namun ketiadaannya tidak dapat menjadi alasan untuk tidak berinovasi.

Inovasi butuh landasan riset yang rumit
Dalam organisasi konvensional, inovasi biasanya diampu oleh tim penelitian dan pengembangan, karenanya inovasi tidak terlepas dari riset dan kajian mendalam. Produk hasil inovasi dapat dipastikan mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun organisasi modern memandang inovasi lebih sederhana dan fleksibel, sehingga dapat dilakukan oleh seluruh anggota organisasi tanpa kecuali. Riset dan pengembangan tentu tetap dibutuhkan, tetapi untuk menguatkan produk inovasi, bukan membuatnya. Alhasil, semakin banyak produk inovasi yang bersumber dari ideyang sederhana, dibuat secara sederhana oleh orang-orang yang tidak harus memahami dunia penelitian dan pengembangan.

Inovasi tidak jauh dari produk teknologi
Terminologi inovasi saat ini identik dengan pembaharuan teknologi, misalnya telepon genggam, kendaraan bermotor, ataupun peralatan elektronik. Padahal inovasi banyak jenisnya, tidak hanya berupa barang hasil pembaharuan teknologi, tetapi bisa juga berupa inovasi sistem, jaringan, bisnis, hingga inovasi pendidikan, sosial ataupun budaya. Inovasi kurikulum pendidikan tentu tidak melulu bicara tentang alih teknologi, demikian pula dengan inovasi sistem lembaga keuangan syariah, misalnya. Banyak produk inovasi yang nyata bermanfaat bagi masyarakat namun tidak dihasilkan oleh para ilmuwan, insinyur, ataupun teknolog. Dimana masih ada gap atau masalah, disitulah terbuka peluang untuk melakukan inovasi.

Inovasi butuh biaya mahal
Di beberapa negara maju, ada bagian jalan yang dipasangi sel surya sebagai sumber energi alternatif. Memasang solar cell di sepanjang jalan tentu butuh biaya besar, dan memang tidak sedikit produk inovasi yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, misalnya kereta api cepat ataupun mobil listrik. Biaya yang dianggap wajar untuk sebuah pembaharuan, tetapi apakah inovasi harus berbiaya mahal? Tentu tidak. Grameen Bank sebagai sebuah contoh inovasi sosial yang saat ini asetnya sudah mencapai miliaran dolar ternyata dimulai hanya dengan modal 20 sen. Wikipedia yang jauh mengalahkan Microsoft Encarta bahkan Encyclopedia Britannica dari segi jumlah kontributor dan banyaknya pengetahuan yang tersimpan di dalamnya, ternyata biaya pembuatan dan perawatannya jauh lebih murah dibandingkan ensiklopedia besar lain yang sudah lebih dulu eksis. Inovasi tidak harus berbiaya mahal, dan inovasi berbiaya mahal belum tentu juga lebih baik dari inovasi rendah biaya.

Semakin banyak produk inovatif yang ditawarkan berarti semakin baik
Perusahaan-perusahaan besar memiliki perhatian yang sangat besar terhadap produk inovasi, ketatnya kompetisi membuat mereka terus berinovasi. Hanya saja tidak jarang inovasi yang dilakukan justru kontraproduktif dengan keberhasilan yang mereka harapkan. Terus berinovasi memang penting namun tidak semua produk inovasi akan cocok di pasaran. Coca Cola dan Pepsi pernah mengalaminya ketika membuat varian rasa baru. Alih-alih menarik konsumen, inovasi produk tersebut justru berakhir pada kegagalan. Bahkan perusahaan sekelas Microsoft dan Google pun pernah mengeluarkan produk inovasi yang justru mendatangkan kerugian yang tidak sedikit. Inovasi tidak seharusnya sekadar menawarkan hal yang baru namun tidak sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan pasar. Perhatian terhadap kekhasan dan keunggulan produk juga perlu menjadi perhatian. Memperbanyak varian produk –seinovatif apapun—belum tentu berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh.

Inovasi yang berhasil adalah inovasi yang berbeda, besar, dan berkualitas
Era industri yang telah berlalu, digantikan dengan era informasi dan pengetahuan ternyata turut memberi dampak pada paradigma inovasi. Di masa lalu, semakin baru dan canggih sebuah produk inovasi, maka semakin hebat. Saat ini, ukuran kualitas sebuah inovasi justru lebih banyak dilihat kesesuaian dengan kebutuhan dan permintaan pasar, serta dampak dan kebermanfaatannya. Jika dahulu karya inovasi yang unggul adalah yang unik dan sulit ditiru, di era pengetahuan justru kemudahan sebuah produk inovasi untuk bisa digunakan oleh semua orang menjadi nilai keunggulan. Tidak perlu benar-benar berbeda dan rumit, karya inovasi yang sederhana namun dapat dimanfaatkan secara luas akan lebih dianggap berkualitas.

Inovator adalah sosok luar biasa dan berbakat
Apakah inovasi merupakan bakat atau dapat dibentuk? Setiap manusia sejatinya dikaruniai kemampuan berpikir dan mengeluarkan ide, tetapi berapa banyak di antara mereka yang mengimplementasikan ide tersebut dalam sebuah karya inovatif. Sebesar apapun bakat kreativitas seseorang, jika tidak disertai dengan aksi nyata, tentu takkan berbuah inovasi. Aksi seadanya ternyata tidak cukup, belajar dari para inovator hebat seperti Thomas Alfa Edison ataupun Steve Jobs, inovasi harus disertai dengan konsistensi dan persistensi. Kesungguhan dalam menghasilkan sebuah karya inovasi lebih menentukan dibandingkan sekadar bakat. Dan ternyata hampir semua karya inovatif adalah hasil kolaborasi bukan karya seorang individu, pun mungkin sosok yang muncul dikenal public hanya seorang. Ya, selain imajinasi, transformasi, aksi dan konsistensi, inovasi juga butuh kolaborasi. Sehingga tidak ada seseorang yang paling layak menjadi seorang innovator, sebab setiap diri kita punya bakat untuk menjadi seorang inovator.

Comments

comments