Solusi Untuk Pendidikan Indonesia (Bagian 1)

1384

Belakangan ini hangat diperbincangkan dalam dunia pendidikan Indonesia terkait konsep Full Day School (FDS). Wacana ini ramai dibicarakan ketika Mendikbud baru, Pak Muhadjir Effendy, mencetuskan ide sekolah sepanjang hari untuk tingkat SD dan SMP, baik negeri maupun swasta. Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja. Demikian kata Mendikbud di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). (www.tribunnews.com, 10/8/2016).

Wacana ini pun sontak mendapatkan tanggapan beragam dari publik. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Meskipun akhirnya mendikbud merevisi dengan menyatakan bahwa bukan belajar seharian, namun penambahan jam kegiatan ekstrakulikuler usai jam pelajaran pokok di sekolah.

Sebenarnya konsep Full Day School (FDS) bukanlah ide baru. Konsep ini sudah lama diterapkan oleh sekolah-sekolah swasta di Indonesia. Lebih jauh lagi, kalau kita membaca sejarah, pesantren adalah konsep pendidikan full day, bahkan long life education, yang telah lama diterapkan di negeri zamrud khatulistiwa ini. Lalu bagaimana sebenarnya solusi yang tepat untuk memperbaiki karakter anak bangsa? Untuk menemukan solusinya, maka kita harus memahami dulu fakta berkaitan dengan kerusakan generasi muda Indonesia saat ini.

Sudah menjadi hal yang kita sadari bersama, bahwa kondisi pelajar dan generasi muda Indonesia kian hari kian mengkhawatirkan. Bagaimana tidak. Moral dan karakter remaja saat ini kian hari kian merosot, tawuran pelajar, pesta seks pelajar, arisan seks pelajar, pesta narkoba dan miras, nonton bareng film porno di kalangan pelajar, hamil di luar nikah, aborsi yang dilakukan pelajar, dan seabrek permasalahan remaja lainnya yang mewarnai negeri ini.

Kenakalan remaja itu bukan hanya terjadi di luar sekolah, tapi juga terjadi di lingkungan sekolah, bahkan di dalam kelas. Misalnya, kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh beberapa siswa terhadap siswa lainnya terjadi di ruangan kelas, aksi nonton bareng video porno di kelas, perbuatan mesum yang dilakukan antar siswa di lingkungan sekolah, bahkan ada yang dilkaukan di kantin sekolah dan sampai ditonton oleh teman-temannya serta direkam menggunakan handphone. Dan tentu kita juga masih ingat, kelakuan siswa yang mengeroyok gurunya hingga babak belur yang terjadi di sekolah, bahkan di dalam kelas dan di depan para siswa. Itu hanya beberapa contoh saja, tentu kalau dibeberkan akan banyak. Perbuatan-perbuatan negatif itu sudah merebak di mana-mana, dan  itu terjadi di kota-kota besar hingga pelosok desa.

Jika melihat fakta budaya negatif yang terjadi di lingkungan sekolah tersebut, maka layakkah jika sekolah saat ini menjadi tempat untuk mendidik karakter mereka? Jawabannya tentu tidak layak. Itu baru dilihat dari aspek budaya di lingkungan sekolah, kalau kita melihat dari segi sarana prasarana, banyak sekolah yang tidak layak menjadi tempat belajar karena kondisi fisik gedung yang memprihatinkan. Belum lagi diperparah dengan permasalahan kompetensi guru, ketersediaan guru di setiap sekolah dan juga problem kesejahteraannya.

Problematika yang melanda negeri hijau royo-royo ini tentu bukan hanya terkait dengan karakter generasi mudanya saja, namun juga segala umur. Bahkan, secara lebih luas lagi, permasalahan di negeri ini tidak terbatas pada karakter dan pendidikan saja, namun juga perekonomian, hukum, politik, keamanan, sosial, budaya dan lain-lain. Semuanya itu satu sama lain saling berkaitan dan terhubung. Problematika tersebut merupakan kerusakan yang harus dibenahi.

Dalam kitab Shafwatut Tafasir, Muhammad Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa kerusakan itu terjadi karena kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia. Hal ini beliau terangkan saat menjelaskan QS. Ar-Rum ayat 41: “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia…..”. Dalam Islam, maksiat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap syariat Allah, yakni melakukan yang dilarang oleh Allah dan meninggalkan perkara-perkara yang diwajibkan oleh Allah. Kemaksiatan ini menimbulkan dosa dan kerusakan di muka bumi. Dalam bidang pendidikan, kemaksiatan itu terlihat dari penerapan sistem pendidikan (termasuk kurikulum) yang tidak diatur berdasarkan aturan Islam.

Melihat kompleksnya masalah yang melanda negeri ini dan sebarannya yang luas dan terjadi dimana-mana, tentu solusi yang diambil sebagai langkah perbaikan negeri tidak cukup hanya dengan solusi tambal-sulam. Termasuk dalam hal pendidikan, solusinya jelas tidak bisa diselesaikan hanya dengan menerapkan konsep full day school. Alih-alih memperbaiki karakter, full day school yang diterapkan dalam sistem pendidikan sekuler dengan kurikulumnya yang juga sekuler, hanya akan memperparah karakter siswa secara sistemik. Maka dari itu, solusinya harus bersifat fundamental, yaitu dengan mengganti sistemnya. Mengganti sistem pendidikan sekuler dengan sistem pendidikan berdasarkan Islam. Mengganti sistem buatan manusia yang penuh dengan cacat dengan sistem yang berasal dari Allah Dzat yang Maha Sempurna.

(bersambung)

Zayd Sayfullah

Comments

comments