Oleh: Harry Santosa
Sekolah yang kita kenal adalah sekolah dalam makna sistem persekolahan modern yang kita alami dan sudah berlangsung sejak revolusi industri 200 tahun yang lalu.
Ada jokes, andai ada guru abad ke 18, bisa menumpang pesawat mesin waktu, melintasi abad 19, 20 dan tiba di abad 21 maka ia akan kaget melihat canggihnya bangunan dan teknologi, namun ia akan biasa saja ketika masuk ke ruangan sekolah, karena sama dengan 200 tahun yang lalu.
Begitulah, sistem persekolahan modern pertama kali dirancang di awal revolusi industri oleh pemerintah Amerika Serikat, dengan tujuan pengendalian negara atas kelulusan yang siap mengisi pabrik dan perkebunan.
Maka sistem ini memang disiapkan sebagai rantai suplai pabrik dan dunia kerja dan masih berjalan sampai sekarang, ditiru oleh negara negara penjajah dan ditularkan ke negara negara jajahan.
Persekolahan Modern inilah yang dianut Indonesia sejak merdeka, warisan pemerintah kolonial Belanda saat melancarkan kebijakan politik etis untuk “menyekolahkan” kaum priyayi yang disiapkan mengisi posisi administrateur dan enjineeur di perusahaan dan perkebunan kolonial.
Maka bisa dipahami bahwa sistem ini hanya memberhalakan akademis dan ujian, karena itulah ukuran kesuksesan, mata uang paling berharga untuk masuk dunia industri pabrik dan perkebunan. Akhlak atau Adab, Bakat apalagi Kodrat (Fitrah) secara keseluruhan bukanlah hal yang penting dan utama.
Founding Fathers dan Ulama Menolak
Jelas para founding fathers dan banyak ulama menentang sistem persekolahan kolonial yang memberhalakan akademis ini.
Sejak RA Kartini, yang menolak sistem ini karena menggerus fitrah keibuan, kemudian KH Ahmad Dahlan karena menggerus adab, Ki Hajar Dewantoro (KHD) karena menggerus kodrat dan budaya dstnya.
Pemerintah Kolonial Belanda, bahkan malah mengeluarkan peraturan untuk memberangus semua model pendidikan berbasis komunitas, seperti pesantren, dayah, meunasah dll dengan sebutan “sekolah liar”,
Para Ulama dan pendiri bangsa ini habis habisan menolak, namun anehnya sistem persekolahan ini terus dilanjutkan. KHD sebagai Menteri Pendidikan pertama, tidak punya cukup kesempatan dan waktu untuk memperbaiki, maka kemudian seolah sistem persekolahan kolonial inilah yang terbaik.
Menteri pendidikan berikutnya tidak pernah mengkaji dan melakukan perubahan yang mengakar dan mendalam, hanya otak atik kurikulum dan buku. Mereka sama sekali tidak berusaha mengembalikan kesejatian pendidikan sebagaimana yang diamanahi oleh KHD, KH Ahmad Dahlan dlsbnya.
Zaman Transisi
Sempat ada harapan besar ketika sekolah sekolah formal Islam mulai bertumbuhan sejak era Hamka, dengan alAzharnya, kemudian gerakan dakwah tahun 80an dengan Sekolah Islam Terpadunya.
Sebagai terobosan sangat bagus, namun sayangnya kelemahan Ummat Islam adalah pada Riset mendalam, hanya sibuk dengan semangat dan metode modern.
Jadi lagi lagi mirip dengan bidang lainnya, untuk bidang pendidikan, umumnya hanya menjadikan Islam sebagai penambahan konten kurikulum dan bungkus (casing) plus jargon jargon Islami, namun jika dilihat mendalam mereka hanya mengekor platform sistem persekolahan sekuler atau modern.
Islamization Knowldege yang diimpikan tak pernah terjadi, upaya memadukan Imtaq dan Iptek, kemudian hanya berujung kepada akumulasi kurikulum akademis agama dan kurikulum akademis umum yang malah membebani anak anak kita, namun gagal melahirkan Insan Kamil, manusia Robbani yang berorientasi langit, manusia yang fitrahnya tumbuh paripurna sehingga menjadi Misi Peradaban untuk menegakkan peradaban sebagai tugas langitnya.
Zaman Millennial
Sistem Persekolahan Modern, kini di banyak negara banyak dikoreksi dengan istilah reformasi pendidikan, karena dianggap sudah tidak relevan dengan zaman.
Di era Posmo di Barat, orientasi akademis bergeser kepada orientasi personalisasi, dalam hal ini otak (brain based) dan bakat (strength based).
Maka kini banyak sekolah modern sudah menerapkan strength based education, yaitu sekolah yang lebih fokus pada personalisasi keunikan siswa.
Walau pada awalnya di dunia pendidikan barat, lahir konsep Multiple Intelligence/MI (kecerdasan ganda) dan character building.
Namun, mindset akademis susah dilepaskan. Maka MI lebih banyak dijadikan alat memanipulasi gaya belajar untuk tetap menjejalkan akademis. Sementara pendidikan karakter hanya dijadikan pelengkap dan lagi lagi ditempelkan ke akademis, maka lahirlah “matematika berkarakter, fisika berkarakter…”
Belakangan banyak orang baik dalam ranah pendidikan rumah maupun dunia usaha, menyadari pentingnya potensi keunikan manusia (bakat) yang ukurannya lebih komprehensif, bukan hanya gaya belajar ala Multiple Intelligence (MI).
Di era posmo, pendekatan MI sudah lewat, berlanjut ke era Strength based Education (otak atik bakat) dan Brain based Education (otak atik otak). Kemudian muncul tools pemetaan bakat yang lebih komprehensif, bukan sekedar gaya belajar.
Bakat dalam perspektif strength dikaitkan dengan personality atau sifat unik manusia, yang kemudian berkembang menjadi aktifitas yang relevan dengan sifat unik manusia yang disebut dengan Potensi kekuatan (strength). Kemudian potensi kekuatan inilah yang kelak menentukan peran dalam bisnis maupun profesi.
Penelusuan Bakat sebagai Pengganti UN?
Lalu bagaimana dengan nasib Sistem Persekolahan Modern? Jika ingin kompatibel dengan zaman millennial dan masa depan maka harus kembali ke personalisasi.
Konsekuensinya adalah merubah kurikulum persekolahan menjadi kurikulum pendidikan yang fokus pada potensi keunikan anak (bakat), menghentikan penyeragaman, dan menghapus Ujian Nasional (UN).
Pendikan berbasis Kodrat, sebenarnya sejalan dengan amanah UU Sisdiknas 2001 sesuai pemikiran KHD. Sayangnya mindset “schooling” susah diubah.
UN sesungguhnya sudah diputuskan oleh PN Jakpus untuk dihapus pada 2007. Lalu pemerintah mengajukan kasasi ke MA tahun 2008, dan MA memutuskan menolak kasasi pemerintah pada tahun 2009. Maka seharusnya UN dihapus, namun sampai sekarang, tahun 2019, sepuluh tahun kemudian, masih ada.
Di era pak Anies Baswedan jadi Mendikbudnas (2014 – 2016), juga gagal menghapus UN. Jangankan berniat menghapus UN,!!! Kemdikbudnas sampai hari ini tidak memiliki blueprint atau cetakbiru dan roadmap pendidikan nasional yang dirancang dan ditetapkan serius.
Penyeragaman, Kurikulum Akademis, UN adalah pilar pilar sistem persekolahan modern, maka jika ingin menghapus UN dan berfokus pada bakat maka kurikulum juga harus diubah total termasuk nomenklatur, definisi dlsbnya.
Jika tidak, maka penelusuran bakat hanya alat untuk memilih jurusan di perguruan tinggi. Padahal jurusan yang ada adalah jurusan akademis, belum tentu sesuai dan memenuhi kebutuhan bakat siswa.
Pendidikan Masa Depan
Menghapus UN dan merubah kurikulum adalah satu paket, itu keharusan untuk bisa fokus pada pendidikan berbasis bakat dan minat. Ini baru satu langkah saja.
Namun Bakat hanya satu aspek dalam fitrah (kodrat) manusia, ada fitrah lainnya yang tak kalah pentingnya, yaitu fitrah keimanan, fitrah seksualitas, fitrah estetika dstnya.
Jadi buat apa berbakat hebat kalau tak tangguh karena tak tumbuh gairah fitrah keimanan dan juga terpapar LGBT karena fitrah seksualitas tak tumbuh.
So, perjalanan masih panjang jika menunggu pemerintah. Tetap istiqomah berjuang kembali kepada fitrah manusia secara komprehensif tak perlu menunggu pemerintah apalagi ganti rejim.
Bayangkan andai 1000 rumah dan 1000 sekolah kembali kepada pendidikan berbasis fitrah maka selesailah krisis pendidikan, krisis agama, krisis kepemimpinan, krisis alam dan kemanusiaan di Indonesia.
Salam Pendidikan Peradaban