Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, (Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan)
“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Rasanya kita masih ingat dan paham dengan peribahasa di atas. Peribahasa tersebut sejatinya sindiran yang sangat keras bagi guru-guru yang tidak layak menjadi guru. Kita tidak memungkiri, jika kita mau jujur, berapa banyak guru yang mestinya diberhentikan menjadi guru. Karena, mereka tidak memiliki kompetensi sebagai guru. Kompetensi utama guru itu dua, yaitu pertama, dia diteladani murid-muridnya karena kemuliaan akhlak dan keistiqamahan ibadahnya; kedua, dia dikagumi murid-muridnya karena keluasan ilmunya.
Mari kita bahas satu persatu. Jika guru tidak mampu mendidik dan mengajar dirinya menjadi manusia baik, maka bagaimana bisa dia mendidik dan mengajari murid-muridnya? Guru haruslah selesai dengan dirinya dalam segi akhlak dan ibadahnya. Hal ini bukan berarti guru dituntut menjadi manusia sempurna dalam aspek akhlak dan ibadah. Tentu saja proses menjadi manusia baik (baca: bertakwa) adalah proses tiada henti. Namun, setidaknya seorang guru haruslah terlihat kemuliaan akhlaknya dan keistiqamahan ibadahnya.
Contoh sederhana, seorang guru yang mengajarkan kepada murid-muridnya agar shalat fardhu berjama’ah ke masjid. Namun, sang guru sendiri di lingkungan masyarakatnya jarang shalat fardhu ke masjid, bagaimana bisa proses pendidikan ini akan berhasil? Seorang guru yang mengajarkan kejujuran kepada murid-muridnya, tetapi dia sendiri berlaku tidak jujur dalam proses administrasi keguruan demi mengejar tunjangan profesi, bagaimana bisa internalisasi kejujuran itu akan berhasil?
Dalam hal ini, kritik saya terhadap kampus-kampus keguruan adalah kampus terlalu sibuk menyiapkan tenaga guru dari aspek skill, tetapi mengabaikan aspek akhlak dan integritas. Tidak ada intervensi program pembinaan mahasiswa keguruan pada aspek ini. Akibatnya, kampus keguruan hanya menghasilkan tenaga guru yang mungkin kompeten keilmuannya, namun miskin akhlak dan integritasnya.
Kedua, aspek keilmuan. Mari kita telisik secara jujur. Apakah guru-guru kita memiliki kompetensi keilmuan memadai? Hasil penilaian Kemendikbud menyatakan, 77.85% guru SD tidak layak menjadi guru (KOMPAS, 29/10/2009). Tak perlu rumit-rumit menilai guru dari aspek ini. Tanya saja kepada guru berapa buku yang dibacanya dalam sebulan? Jika guru jarang membaca, tidak meng-upgrade pengetahuan dan wawasannya, apa yang akan diajarkan kepada murid-muridnya? Hanya itu-itu saja tiap tahunnya. Mengajar sudah 10 atau 20 tahun, tapi ilmu yang disampaikan tidak bertambah.
Oleh karena itu, perlu ada reorientasi dalam mengkader guru-guru. Karena, guru adalah garda terdepan dalam proses pendidikan dan pengajaran. Baik atau buruknya seorang murid tergantung gurunya. Seorang guru hebat akan melahirkan murid lebih hebat lagi. Namun, seorang guru yang rusak, bisa melahirkan murid yang lebih rusak.
Kerja Peradaban
Kita mesti menginsyafi bahwa mendidik dan mengajar adalah kerja peradaban. Pekerjaan besar menyiapkan generasi yang siap menjadi pewaris peradaban. Mewarnai zaman dengan rupa-rupa dan lika-liku prestasi dan karya. Maka, perlu guru-guru hebat dengan kompetensi akhlak dan keilmuannya.
Dalam perspektif pendidikan Islam, guru memiliki posisi dan peran yang sangat strategis. Islam memandang aktifitas mendidik dan mengajar adalah aktifitas mulia. Maka, orang-orang yang mendidik dan mengajar haruslah orang yang mulia kualitas dirinya. Jika mengkaji Al-Qur’an, kita akan menemukan bahwa aktifitas mendidik (mengajar) bahkan dinisbatkan kepada Allah dan rasul-Nya.
Kita simak surat Ar-Rahman ayat 1 dan 2, “(Allah) Maha Pengasih. Yang telah mengajarkan Al-Qur’an.”
Lalu, saksamailah surat Al-Jumu’ah ayat 2, “Dialah yang mengutus seorang rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (sunnah) meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Bayangkan, aktifitas mendidik dan mengajar dinisbatkan langsung kepada Allah dan rasul-Nya. Setiap apapun yang dinisbatkan kepada Allah, maka aktifitas itu adalah mulia. Dengan demikian, mendidik dan mengajar adalah aktifitas mulia. Maka, orang-orang yang melakukannya haruslah menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Lebih dari itu seorang guru yang menjaga kualitas diri dan kemuliaan akhlaknya, maka kata-katanya akan powerful dan mampu menembus hati murid-muridnya. Nasihatnya mampu mencairkan hati muridnya yang beku.
Dalam konteks inilah kita memahami nasihat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Hanya suara hati yang mampu menembus hati.”
Nasihat Imam Syafi’i rahimahullah kepada gurunya, putra-putra Khalifah Harun Al-Rasyid, Imam Abu Abdisshamad, sangat patut kita resapi.
Mari kita perhatikan kalimat Imam Syafi’i. Kalimat beliau menjadi jawaban mengapa kualitas generasi kita saat ini biasa-biasa saja, tidak istimewa. Ternyata salah satu kuncinya ada pada guru.
“Hendaklah upayamu untuk mendidik anak-anak Amirul Mukminin adalah dengan memperbaiki dirimu sendiri. Karena, pandangan mereka (paradigma dan sikap hidup) terikat pada pandanganmu. Apa-apa yang baik menurut mereka adalah apa-apa yang kau anggap baik. Dan, apa-apa yang dipandang buruk oleh mereka adalah apa-apa yang kau tinggalkan (tidak lakukan).”
Dengan demikian, upaya pertama memperbaiki kualitas pendidikan adalah dengan memperbaiki kualitas gurunya. Tidak boleh lagi ada penerimaan guru asal-asalan. Mal praktik dalam kedokteran saja bisa berakibat fatal bagi nyawa seseorang, terlebih lagi mal praktik dalam pendidikan bisa menghancurkan masa depan anak didik, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Maka, wahai para guru, jadilah pendidik sejati.