Oleh : Ronaldo SM Sihombing
Covid-19 telah mengubah arah perekonomian secara nasional maupun global. VIX (index kecemasan investor) berada pada posisi tertinggi sejak krisis 2008. Ketidakpastian ini mengakibatkan perekenomian tidak stabil.
Investor cenderung menunggu momen yang tepat dalam berinvestasi, serta lebih memilih mengalihkan investasinya terhadap sektor safe-heaven. Hal ini dikarenakan return (laba) atas sektor perbankan dinilai tidak sebanding dengan tingkat risiko yang dihadapi saat ini, sehingga capital-flow perbankan cenderung keluar .
Merespon keadaan ini, BI memotong suku bunga ke angka 4,5% sepanjang diberlakukan-nya PSBB, kebijakan ini dianggap sebagai bentuk stimulus yang diberikan bagi pelaku ekonomi.
BI berdasarkan keputusan Rapat Dewan Gubernur pada 17-18 Juni 2020, memutuskan untuk memangkas kembali suku bunga acuan menjadi 4,25%. Keputusan ini dinilai sebagai langkah yang tepat untuk menginjeksi kembali gairah perekonomian, dan menjadi angin segar tersendiri bagi pelaku ekonomi dalam menyongsong Kebijakan New Normal.
Kebijakan ini diprediksi dapat menginjeksi kembali kemampuan pasar yang lesu, memenuhi kebutuhan likuiditas yang tinggi pasca PSBB, dan dapat mengakselerasi kembali kemampuan pasar dalam memangkas selisih pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi negatif sepanjang diterapkan-nya PSBB dalam kurun beberapa bulan terakhir.
Sayangnya, kebijakan ini dinilai tidak efektif. Sepanjang PSBB suku bunga BI diturunkan sebesar 25 bps, dengan bunga deposit facility sebesar 3,75% dan lending facility 5,25%. Pasalnaya, bunga perbankan atas kredit sepanjang PSBB, hanya turun sebesar 9 bps perbulan Mei, dengan rata-rata bertengger diangka 10% -11%.
Bunga Kredit BCA tercatat yang paling rendah dengan 9%-10%. Angka bunga kredit ini dinilai tidak sebanding dengan penurunan nilai acuan, serta nilai bunga kredit yang masih bertengger di angka 2 digit dinilai tergolong mahal, jika dibandingkan dengan angka kredit di beberapa negara asia yang hanya berada dikisaran 7%-8%, bahkan di Malaysia bunga kredit menyentuh angka 4%-5%.
Mengapa perbankan cenderung tidak merespon penurunan suku bunga ini ?
Rendahnya pertumbuhan kredit diawal tahun 2020, diturunkannya Giro Wajib Minimum (GMW), serta diturunkan-nya Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan di angka 80%, menandakan bahwa tingkat likuiditas perbankan berada dalam performa terbaik.
Namun, mengapa perbankan cenderung tidak merespon adanya penurunan suku bunga acuan yang diterapkan BI?
Suku bunga perbankan sepanjang Mei sebenarnya tercatat turun sebesar 60bps, namun penurunan ini hanya terjadi pada tranksaksi overnight. Tranksaksi overnight adalah transaksi semalam. Transaksi ini adalah transaksi yang pada umumnya bernilai besar, dan dilaksanakan oleh kalangan yang memiliki modal yang besar, serta dalam tempo yang singkat/hitungan hari.
Hal ini mengisyaratkan bahwa adanya penurunan suku bunga acuan tidak tepat sasaran, dikarenakan penurunan suku bunga perbankan seolah-olah hanya menyasar pada golongan pelaku ekonomi yang memiliki modal besar.
Fenomena ini terjadi dikarenakan bank cenderung enggan meluncurkan produk kredit dengan bunga rendah kepada masyarakat kelas menengah ke bawah, dikarenakan sumber pendanaan bank pada umumnya berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yang perolehannya bersumber dari penghimpunan dana tabungan dari masyarakat.
Akhir-akhir ini sumber dana DPK cenderung menurun dikarenakan externalitas yang ditimbulkan Covid-19. Covid-19 berhasil mengubah perilaku komsumsi masyarakat.
Pada masa-masa pandemik Covid-19, masyarakat cenderung lebih memilih memegang uang cash lebih banyak daripada biasanya, terlebih lagi akhir-akhir ini masyarakat cenderung lebih intens menarik tabunganya.
Masyarakat cenderung menarik dana tabunganya dan memindahkannya ke Surat Berharga Negara (SBN). Masyarakat cenderung beralih ke SBN dikarenakan, bunga SBN dinilai lebih menarik daripada bunga tabungan, yang tercatat perbulan Mei bunga SBN terhitung diangka 7% – 8%, sedangkan bunga depsito bank hanya berada diangka 5%-6%.
Hal ini juga diperburuk dengan meningkatnya Non-Perorming Loan (NPL) dari sektor UMKM, dimana banyaknya sektor UMKM yang shutdown akibat dampak covid-19. Bank cenderung ragu dalam melepas kredit dengan bunga rendah.
Tidak adanya stimulus yang diberikan pemerintah kepada perbankan, serta kebijakan pemerintah yang cenderung tumpang tindih atas kebijakan relaksasi kredit menjadi dilema tersediri bagi perbankan.
Oleh karena itu saat ini perbankan membutuhkan suatu kepastian dari pemerintah dalam memberi stimulus. Perbankan juga menutut agar sekira-nya pemotongan suku bunga harus sepaket dengan kebijakan moneter dan fiskal, guna menghindari adanya regulasi yang tumpang tindih. (Penulis adalah Mahasiswa PKN STAN)