Oleh: Henri Shalahuddin, MA
Muhamad Syahrur, seorang pemikir kelahiran Damaskus 1938 ini dikenal melalui “teori batas”nya dalam masalah aurat, waris, dsb. Beberapa karyanya, seperti Al-Kitab wa al-Qur’an (1990), Al-Dawlah wa al-Mujtama’ (1994, 375 hal), Al-Islam wa al-Iman (1996, 400 hal), Nahwa Ushul Jadidah lil Fiqhil-Islami (2000, 400 hal), serta Tajfif Manabi’ al-Irhab (2008, 300 hal) sangat dikagumi kalangan liberal cabang Indonesia. Bahkan beberapa karyanya telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai rujukan utama agenda liberalisasi studi Islam di Indonesia.
Syahrur sebenarnya bukanlah seorang ulama maupun pakar di bidang ilmu tafsir, fiqih maupun linguistik. Latar belakang studi tokoh liberal Syiria ini adalah teknik sipil (handasah madaniyah) di Moskow (1964). Kemudian melanjutkan program master dan doktoralnya di bidang teknik pertanahan (handasah al-turbah) dan bangunan di Irlandia (www.shahrour.org). Meskipun begitu, Syahrur sering melibatkan dirinya dalam isu-isu liberalisasi syari’ah dan dekonstruksi tafsir. Beberapa hukum Islam dan kaedah ilmu tafsir pun dirombaknya dengan berbekal ilmu teknik dan mengandalkan asal-usul ‘muka’ Arabnya.
Batasan Aurat
Kata aurat pada QS. 24:31. “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…”, oleh Syahrur disimpulkan bahwa aurat di situ berarti: “apa yang membuat seseorang malu jika terlihat”. Dan aurat itu tidak ada kaitannya dengan halal-haram, baik dilihat dari dekat maupun dari jauh. Maka secara kebahasaan, aurat itu relatif. Kemudian Syahrur memberi contoh: “Apabila seorang yang botak (ashla’) tidak suka botaknya terlihat orang lain, dia akan memakai rambut palsu. Sebab dia menganggap bahwa botak di kepalanya adalah aurat”. Relatifnya makna aurat ini, dia kuatkan dengan mengutip Hadith Nabi: “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya”. Menurutnya, bahwa menutupi aurat mukmin dalam hadith itu, bukan berarti meletakkan baju hingga tidak kelihatan.
Maka Syahrur pun menegaskan bahwa: “Aurat itu datang dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang dalam menampakkan sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Dan rasa malu ini relatif, bisa berubah sesuai dengan adat istiadat. Maka dada (al-juyub) adalah permanen, sedangkan aurat berubah-ubah menurut zaman dan tempat”. (Nahwa Ushul Jadidah lil Fiqhil Islami, 2000: 370)
Di samping itu, QS. Al-Ahzab:59, Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu”, ditafsirkan Syahrur sebagai berikut: “Ayat ini didahului dengan lafadz ‘Hai Nabi’ (ya ayyuhan nabi), yang berarti bahwa di satu sisi, ayat ini adalah ayat pengajaran (ta’lim) dan bukan untuk pemberlakuan syariat (tasyri’). Di sisi lain, ayat yang turun di Madinah ini harus dipahami dengan pemahaman temporal (fahman marhaliyyan), karena terkait dengan tujuan keamanan dari gangguan orang-orang iseng, yakni ketika para wanita sedang keluar rumah. Namun alasan keamanan dari gangguan orang-orang iseng, sekarang ini sudah tidak ada lagi”. Karena ayat di atas adalah ayat pengajaran yang bersifat anjuran, maka menurut Syahrur, hendaknya bagi wanita mukminah, -dianjurkan bukan diwajibkan-, untuk menutup bagian-bagian tubuhnya yang bila terlihat menyebabkannya dapat gangguan. Dan gangguan itu ada dua jenis: gangguan alam dan gangguan sosial.
Gangguan alam terkait dengan cuaca seperti suhu panas dan dingin. Maka wanita mukminah hendaknya berpakaian menurut standar cuaca, sehingga ia terhindar dari gangguan alam. Sedangkan gangguan sosial terkait dengan adat istiadat suatu masyarakat. Maka pakaian mukminah untuk keluar rumah harus menyesuaikan kondisi lingkungan masyarakat, sehingga tidak mengundang cemoohan dan gangguan mereka. (hal. 372-373) Pada akhirnya Syahrur menyimpulkan bahwa batasan pakaian wanita dibagi dua: batasan maksimal (al-hadd al-a’la) yang ditetapkan Rasulullah yang meliputi seluruh anggota tubuh selain wajah dan dua telapak tangan. Batasan minimal (al-hadd al-adna) yaitu batasan yang ditetapkan oleh Allah s.w.t., yang hanya menutup juyub.
Menurut Syahrur, juyub tidak hanya dada saja, tapi meliputi belahan dada, bagian tubuh di bawah ketiak, kemaluan dan pantat. Sedangkan semua anggota tubuh selain juyub, boleh diperlihatkan sesuai dengan kultur masyarakat setempat, termasuk pusar (surrah). Penutup kepala untuk laki-laki dan perempuan hanyalah kultur, tidak ada hubungannya dengan iman dan Islam. (hal. 376-378). Sebagai kesimpulan idenya, Syahrur memandang adanya kesalahan fatal yang jamak terjadi di kalangan ulama Fiqih, karena mendudukkan Hadith Rasulullah s.a.w bahwa semua anggota tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, sebagai batasan aurat wanita.
Maka dengan menggunakan teori batas Syahrur, apa yang disebut aurat bagi wanita menjadi sangat fleksibel. Batasan minimal yang ditetapkan Syahrur, akan mendorong wanita muslimah berbondong-bondong terjun ke dunia hiburan yang permisif. Mereka pun tidak ragu lagi untuk berbikini di pantai-pantai maupun di pusat perbelanjaan. Sebab pakaian bikini bukan lagi hal yang terlarang dalam Islam, karena semuanya tergantung pada kondisi cuaca dan kesepakatan masyarakat setempat. Jika minoritas masyarakat ada yang mengusili wanita, maka negara bisa menugaskan polisi ‘aurat’ untuk memastikan bahwa kebebasan kaum wanita berekspresi di ruang publik terlindungi dengan baik.
Sayangnya, oleh banyak penggiat kesetaraan gender di tanah air, ide transnasional yang menyesatkan ini dijadikan justifikasi untuk mengkampanyekan slogan feminisme Barat bahwa organ tubuh perempuan adalah hak mutlak perempuan, ia tidak boleh dikuasai surat atau diatur oleh undang-undang, termasuk masalah aborsi. Demikianlah jika logika kemarahan menguasai paham radikalisasi pemikiran keagamaan. Meskipun sering disuarakan di forum-forum akademis, paham liberal radikal sejatinya bukanlah murni diskursus intelektual, tetapi sebuah gerakan politis, makar dan aksi teror terhadap paham keagamaan yang bersifat final dan universal. Wallahu muwaffaq ila aqwam al-thariq.