Oleh: Herman Anas*
Pada 3 Maret 1924, badan legislatif Turki mengangkat Mustafa Kamal sebagai presiden Turki dan membubarkan khilafah Islamiyah.
Mustafa Kemal Attaturk bertindak radikal guna menghancurkan perdaban Islam. Mustafa, sebagai Presiden Republik Turki yang sekuler, bertindak diktator dalam menjalankan pemerintahan. Ia menetapkan ideologi Negara menganut paham sekularisme. Atas dasar ideologi Negara ini, dia mengumumkan akan mengambil langkah-langkah kebijaksanaan untuk mencapai cita-citanya demi kepentingan Negara Turki Sekuler.
Di antaranya ia mengambil langkah; menghapus syariah Islam dan tidak ada lagi jabatan kekhalifahan, mengganti hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum Italia, Jerman, dan Swiss, menutup beberapa masjid dan madrasah, mengganti agama Negara dengan sekularisme, mengubah azan ke dalam bahasa Turki, melarang pendidikan agama di sekolah umum, melarang kerudung bagi kaum wanita dan pendidikan terpisah, mengganti naskah-naskah bahasa Arab dengan bahasa Roma, pengenalan pada kode hukum Barat, pakaian, kalender, serta Alfabet, mengganti seluruh huruf Arab dengan huruf Latin.
Akibat ulah Mustafa Kamal, pemaksaan ini akhirnya menjadikan Turki sebagai Republik Sekuler yang sangat anti terhadap dakwah Islam. Ciri Islam di Turki hampir-hampir hilang, sehingga kaum Muslimin kesulitan menemukan jejak peradaban Islam di tanah Turki.
Sesaat berkuasa, Kemal Attaturk pernah menggantung tiga puluh ulama. Ia mengatakan, “Ketahuilah, saya dapat membuat negara Turki menjadi negara demokrasi bila saya dapat hidup lima belas tahun lagi. Tetapi jika saya mati sekarang, itu akan memerlukan waktu tiga generasi,” begitulah Kamal Attaturk, selalu berlaku angkuh di atas tindakan kekejaman dan anti agama, seorang yang dikenal sebagai pencetus ‘sekulerisme Turki’ sekaligus penghancur kekhalifahan Turki dan agama Islam.
Sekiranya Kamal Attaturk ini lahir di zaman adanya Rasul pada saat ketika wahyu masih turun, bisa jadi namanya akan diabadikan seperti Fir’aun, Namrud dan Abu Lahab. Cara kematian yang Allah telah datangkan kepada mereka, orang-orang yang dzalim itu teramat tragis sekali. Kematian merekapun teramat unik.
Namrud, mati karena sakit kepala akibat dimasuki oleh seekor nyamuk melalui telinganya. Setiap kali ia menjerit, dokter pribadinya memerintahkan dipukul kepalanya untuk mengurangi kesakitannya.
Setelah lama bergelut dengan sakratul maut, akhirnya dia mati dalam keadaan tersiksa dan terhina. Begitu juga dengan Firaun yang mati lemas di dalam laut.
Nasib serupa dialami Mustafa Kamal Attaturk juga menerima pembalasan yang setimpal dari Allah. Menurut beberapa buku sejarah, kematian Kemal dikarenakan akibat over dosis minuman keras. Ditambah lagi dengan berbagai penyakit seperti penyakit kelamin, malaria , sakit ginjal dan lever. Dia meninggal dunia pada 10 November 1938, kulit di tubuh badannya rusak dengan cepat dan díganggu pula oleh penyakit gatal-gatal.
Dokter sudah memberi bermacam-macam salep untuk diusap pada kakinya yang sudah banyak luka-luka karena tergaruk oleh kukunya. Walaupun begitu dia masih sangat angkuh. Di akhir-akhir hayatnya yaitu ketika menderita sakratul maut. Anehnya dia takut sekali berada di istananya dan tubuhnya merasa panas maka ia ingin dibawa ke tengah laut dengan kapalnya. Bila penyakitnya bertambah, dia tidak dapat menahan diri daripadanya kecuali menjerit. Jeritan itu semakin kuat (hingga terdengar di sekeliling istana). Dia berteriak kesakitan dalam sakaratul mautnya dengan penuh siksa di tengah-tengah laut.
Dr. Abdullah ‘Azzam dalam buku ‘Al Manaratul Mafqudah’, menjelaskan detik-detik menjelang ajal sang hina Mustafa Kemal Attaturk. Menurutnya, sebuah cairan berkumpul di perutnya secara kronis. Ingatannya melemah, darah mulai mengalir dari hidungnya tanpa henti. Dia juga terserang penyakit kelamin (GO). Untuk mengeluarkan cairan yang berkumpul pada bagian dalam perutnya (ascites), dokter mencoblos perutnya dengan jarum. Perutnya membusung dan kedua kakinya bengkak. Mukanya mengecil. Darahnya berkurang sehingga Mustafa pucat seputih tulang.
Dalam Kitab ”Al-Jaza Min Jinsil Amal” Karangan Syeikh Dr. Sayyid Husien Al-Affani disebutkan, walaupun Attaturk dikelilingi para dokter, namun penyakit kangker hatinya baru di ketahui pada tahun 1938 padahal dia telah merasakan pedihnya penyakit tersebut sejak 1936.
Pada Kamis tanggal 10 oktober 1938, Kamal Attatruk terlempar ke ‘sampah sejarah’ setelah ia mengalami sakaratul maut sebulan lamanya yang tidak ada satupun dari pembantu dan para dokternya yang berani mendekati dia ketika itu.
Setelah 9 hari, barulah mayatnya disembahyangkan, itupun setelah didesak oleh seorang adik perempuannya. Saat mayatnya hendak ditanam, tanah tidak menerimanya (tak dapat dibayangkan bagaimana tanah tidak menerimanya).
Karena putus asa, mayatnya diawetkan dan dimasukkan ke dalam museum yang diberi nama EtnaGrafi selama 15 tahun sampai tahun 1953. Setelah 15 tahun mayatnya hendak ditanam kembali, tetapi bumi pun masih belum menerimanya. Habis ikhtiar, mayatnya dibawa pula ke satu bukit ditanam dalam satu bangunan marmer beratnya 44 ton, ditanam di celah-celah batu marmer.
Ulama-ulama saat itu mengatakan bahwa bukan hanya bumi Turki, seluruh bumi Allah ini tidak akan menerima Kamal Atatürk. Kemudian mayatnya dipindahkan ke Ankara dan dipertontonkan di hadapan Grand National Assembly Building. Pada 21 November, ia dipindahkan pula ke sebuah tempat sementara di Museum Etnografi di Ankara yang berdekatan gedung parlemen.
Lima belas tahun kemudian yaitu pada tahun 1953, barulah mayatnya diletakkan di sebuah bukit di Ankara.
(Herman Anas, penulis alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep – Madura)