Esensi Peringatan Kemerdekaan
Setiap tahun, kita memperingati “Hari merdeka nusa dan bangsa, Hari lahirnya Bangsa Indonesia”, pada tanggal 17 Agustus 2016. Sebagian kalangan benar – benar menghayati peringatan kemerdekaan, sebagian lain hanya menganggapnya sebagai seremoni, sebagian lainnya bahkan menjadikannya sebagai ajang hura – hura. Beda orang, beda pula cara mengekspresikan peringatan kemerdekaan. Apa sebenarnya esensi peringatan kemerdekaan bagi kita?
Pertama, Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan
Para pahlawan bangsa, baik yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal, memahami benar bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia bukan semata – mata karena perjuangan mereka. Segala cara telah mereka tempuh, baik diplomasi hingga mengangkat senjata. Semua pengorbanan telah mereka berikan, baik tenaga, darah dan air mata. Namun saat fajar kemenangan tiba, dengan tawadhu’ mereka mengakui bahwa kemerdekaan ini adalah karunia dan rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Sikap ini mengingatkan kita dengan sikap orang – orang besar dan beriman sebelum kita. Nabi Sulaiman, As tidak lantas sombong dan jumawa saat para punggawanya (baik dari bangsa jin maupun manusia) memiliki kemampuan – kemampuan yang hebat. Dia justru berkata dengan penuh kesadaran “Haadzaa min fadhli rabbii”. Hal yang sama diucapkan oleh Raja Dzulqarnain, yakbi setelah dia dan pasukannya bekerja keras membangun tembok besar dari besi dan tembaga setinggi gunung. Setelah melalui segala kepayahan dan kesulitan, dengan tawadhu’ dia berkata “Haadzaa rahmatun mir rabbii”.
Para pejuang bangsa kita sungguh orang shaleh. Mereka menisbatkan sebab kemenangannya kepada Allah, bukan kepada dirinya sendiri. Semestinya, kita sebagai generasi penerus bisa mengikuti jejak keteladanan mereka. Bahwa kemerdekaan ini adalah rahmat dari-Nya. Karena itu, peringatan kemerdekaan tidak selayaknya diisi dengan kegiatan dan aneka acara yang menunjukkan bahwa kita kufur nikmat. Karena Allah telah memberikan maklumat “Lain syakartum la-aziidannakum, walain kafartum inna ‘adzaabii lasyadiid”.
Kedua, Memuliakan Para Pejuang
Didalam islam, orang – orang besar yang sudah meninggal tidak dimuliakan dengan cara dibuatkan patung, gambar, monumen dan semacamnya. Tapi dengan cara didoakan, diceritakan kisah perjuangannya, disebarkan wasiat dan ucapan hikmahnya serta yang paling penting adalah diteruskan perjuangan dan cita – citanya. Dalam kadar tertentu, tidak mengapa kita membawa gambar para pejuang dalam karnaval, tapi yang paling penting adalah menceritakan siapa mereka serta menggali aspek keteladanan perjuangan mereka kepada generasi penerus.
Namanya juga manusia, mereka pasti tidak luput dari salah dan khilaf. Kita sering mendengar perbedaan pandangan, perbedaan cara perjuangan hingga konflik batin diantara para pejuang. Sebagian diantara pejuang bahkan benar – benar bermusuhan, saling fitnah yang berujung penjara meski diakhir hayatnya ada momen – keinsyafan yang mengharukan. Kita sebagai generasi penerus musti memandang mereka sebagai manusia biasa, bukan sebagai manusia setengah dewa. Ada salah, ada kekurangan itu wajar. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi derajad mereka sebagai pejuang dan pahlawan.
Tugas kita adalah memuliakan mereka, memohonkan ampunan atas kesalahannya, mendoakan tempat terbaik disisi-Nya, serta yang tidak kalah pentingnya adalah berharap agar generasi pejuang dan pahlawan bisa terus hidup (lagi) pada generasi penerus. Karena bangsa ini terus.menerus membutuhkan peran – peran kepahlawanan dan karakter pejuang, baik untuk merebut kemerdekaan, mempertahakan maupun mengisinya.
Ketiga, Menumbuhkan Jiwa Patriot
Mencintai negeri, tanah tumpah darah itu tidak salah. Karena memang “Disana tempat lahir beta. Dibuai dibesarkan bunda. Tempat berlindung dihari tua. Sampai akhir menutup mata”. Begitu cintanya seseorang pada kampung halaman sehingga meski dia merantau jauh keujung dunia, suatu saat akan kembali kenegerinya. Entah karena mau berlebaran atau bahkan karena ingin dikuburkan disisi ayah bundanya. Para pahlawan sangat mencintai negerinya, tidak ingin hidup terjajah diatas tanah kelahirannya, ingin merdeka menentukan nasib dan masa depannya. Semangat itu diwujudkan dengan kesediaan untuk berjuang dan berkorban.
Kita sadari, bahwa jiwa patriot semakin lama semakin pudar dari dada anak bangsa. Banyak diantara mereka yang lupa dengan kebesaran nenek moyangnya sehingga bersikap inferior dengan peradaban asing. Mereka lupa dengan cita – cita besar generasi pendahulunya sehingga lebih memilih jadi kacung asalkan rekeningnya diisi setiap bulan. Banyak pula yang menggadaikan kehormatannya, melacurkan kapasitas intelektualnya dan berpaling dari nurani kebangsaan demi sekotak nasi bungkus dan kehidupan yang nyaman. Kami bukan sedang mengusung semangat anti asing, sekedar menanyakan hilangnya semangat kemandirian pada diri sebagian generasi penerus bangsa.
Dalam ketidaktahuannya, nenek moyang kita berpesan “Lebih baik hujan batu dinegeri sendiri, Ketimbang hujan emas dinegeri orang”. Sederhananya, mari kita cintai negeri kita apapun kondisinya. Mari kita bangun dan makmurkan penduduknya, meski situasinya sangat sulit. Hm,.. Kita memang memiliki deretan gunung berapi yang memuntahkan batu, debu dan lahar sehingga bisa menyebabkan hujan batu dan hujan abu kepada penduduknya. Tapi jangan lupa, kita juga memiliki gunung tembaga dan gunung emas. Andai nenek moyang kita tahu, mungkin mereka akan berkata kepada anak cucunya “Gunung emasnya ada dinegeri kita, bukan dinegeri orang. Jaga dan pertahankan dengan darah dan jiwamu”.
Khatimah
Peringatan kemerdekaan adalah momentum untuk me-refresh semangat patriotisme dan nasionalisme. Hal ini semakin relevan dimasa kini, ditengah berbagai krisis yang tengah membelit ibu pertiwi. Ayo kita bangkitkan jiwa – jiwa merdeka pada generasi penerus, agar mereka kembali bejuang membawa kejayaan pada bangsa ini. Agar mereka kembali berdiri ditempat yang benar. “Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku”
Eko Jun