Meminta Maaf untuk Sepuluh Menit

Oleh: Kang Ewa.

Perjalanan selalu saja menitipkan pesan-pesan tersirat, untuk kita, untuk sesama, bahkan untuk dunia ini. Tak terkecuali perjalananku kali ini ketika hendak mencapai Lagoi.

Aku menginjakan kaki di Pelabuhan Sekupang, Batam, ketika hari beranjak sore. Setelah berada di Gate Pelabuhan, kutelepon seorang rekan yang sebelumnya telah berjanji untuk menungguku. Seorang pria keturunan Tionghoa, pemasok semen untuk Wilayah Jawa dan Nusa Tenggara, serta pemilik beberapa unit bisnis yang tergolong besar di negeri ini.

“Maaf, Pak. Saya membuat Bapak menunggu 10 menit,” demikian katanya setelah kami saling bertanya kabar.

Detail sekali, hanya sepuluh menit saja dia ingat!!

Mukanya sungguh menunjukan rasa penyesalan.

“Ah, tidak mengapa, Pak. Hanya sepuluh menit saja,” kataku berusaha mencairkan suasana.

“Saya tahu, sepuluh menit buat Bapak sangat berharga, karena buat saya juga demikian. Apalagi Bapak seorang Muslim, biasa berlatih untuk ibadah tepat waktu,”sambungnya.

Mendadak hatiku kecut. Serasa ada palu yang menggedor akal sehatku untuk menggali segala keteledoranku soal waktu. Aku malu. Sungguh!

“Terima kasih telah mengingatkan saya, Pak,”

Sejauh perjalanan, kami bertukar cerita tentang usaha masing-masing. Tentang rencana pengembangan, serta tentang kerja sama yang mungkin dilakukan pada satu usaha tertentu. Namun tetap saja pikiranku telah tercuri, untuk memikirkan ucapannya di awal pertemuan kami, yang tak lain soal; WAKTU!!

Aku harus mengakui, terlampau sering diri ini abai terhadap waktu. Datang rapat terlambat, datang ke pengajian terlambat, datang ke pekerjaan juga terlambat. Tapi adakah penyesalan dan permintaan maaf yang kusampaikan? Rasanya sesekali saja aku meminta maaf kepada orang-orang yang menungguku di tengah keterlambatan yang terus membudaya dalam diriku.

Sementara sebagai seorang Muslim, kesadaranku akan pentingnya tepat waktu mestinya bukan semata hanya ungkapan, namun sudah menjadi sebuah bagian dari kehidupan, karena Islam mengajarkan demikian.

Betapa malunya aku, rekanku yang keturunan Tionghoa dan beragama lain saja tahu bahwa Islam mengajarkan ketepatan waktu, bahkan ia melaksanakan dan mengambil manfaatnya. Serta merasa menyesal saat tidak bisa menepati sebuah janji. Sementara aku? Mestinya memang bisa lebih dari itu. Semoga….

Little Singapore, 22 Januari 2016

Comments

comments