Fikih Isti’dzan
@ Mabit Kroya Mengaji
Frase “meminta ijin” memiliki perspektif yang berbeda pada setiap orang, bergantung dari apa dan siapa kita. Sebagian pihak akan berasosiasi ijin tidak masuk sekolah, tidak masuk kerja atau masuk rumah. Sebagian yang lain segera terbayang ijin datang terlambat, tidak berangkat ngaji, tidak ikut rapat, atau tidak mukhoyyam. Sebagian yang lain sampai pada tataran ijin tidak ikut berjihad dll.
Disyariatkannya meminta ijin adalah untuk menjaga pandangan, sebagaimana sabda nabi “Innama ju’ilal isti’dzaan, min ajlil bashari”. Namun diluar itu, meminta ijin juga sebagai ukuran atas adab kesantunan dan kedisiplinan. Melihat dalil dan kasus yang ada, kita bisa menelaah beberapa arahan dalam hal meminta ijin, diantaranya :
Ijin Masuk Rumah
Dalilnya (QS 24 : 27 – 28). Jika mau masuk rumah, mesti meminta ijin dulu kepada shahibul bait, jangan lupa untuk ucapkan salam. Meminta ijin hukumnya wajib, mengucapkan salam hukumnya sunnah, menjawabnya hukumnya wajib. Bagi sebagian ulama, mengucapkan salam juga sebagai isyarat meminta ijin. Tiga kali salam tidak dijawab, maka kita harus meninggalkan rumah tersebut.
Jika shahibul bait kurang berkenan dengan kehadiran kita (karena satu dan lain sebab) sehingga menyuruh kita pulang, maka kita harus pulang. Mereka yang berprofesi sebagai debt collector musti paham dengan kaidah ini. He..9x.
Ijin Pembantu & Anak
Dalil (QS 24 : 58 – 59). Jangankan orang lain, bahkan anak dan pembantu yang tinggal serumah sekalipun harus minta ijin. Khususnya pada tiga waktu, yakni sebelum shalat fajar, siang hari selepas dhuhur dan sesudah shalat isya.
Ijin dalam Majelis
Dalil (QS 24 : 62). Para shahabat tidak akan pergi meninggalkan suatu urusan atau majelis, sebelum meminta ijin terlebih dahulu kepada rasulullah. Hak rasulullah untuk memberi ijin atau tidak mengabulkan, setelah menimbang keperluan atau udzur yang melandasinya. Bagi yang diberi ijin, rasulullah mendoakan ampunan bagi mereka. Karena pada hakekatnya, kebersamaan mereka dengan rasulullah lebih tinggi derajatnya ketimbang urusan lainnya.
Ijin Berperang
Dalil (QS 9 : 44 – 45). Orang beriman tidak akan meminta ijin untuk tidak berangkat berjihad, kecuali karena memiliki udzur seperti sakit, belum cukup umur, tidak memiliki bekal dll. Dalam beberapa kasus kita mengetahui bahwa Ali bin Abu Thalib memaksakan diri untuk berangkat meski sakit mata dan Abdullah bin Umi Maktum bersikeras ikut berjihad meski sudah renta dan buta.
Sedang kaum munafik, senang mencari – cari alasan untuk tidak berangkat berjihad. Rasululla menerima alasan lahir, sedang urusan batin diserahkan kepada Allah. Orang beriman yang tidak ikut berjihad akan berkata jujur, tidak membuat – buat alasan seperti kaum munafik. Contonya Ka’ab bin Malik cs.
Ijin Bermaksiat
Kisah tentang pemuda yang meminta ijin berbuat zina, padahal ayatnya “wala taqrabuz zina”. Dalam konteks fikih, kaidah yang digunakan dalam pelarangan zina tersebut dinamakan Saddu Dzara’i. Nah, rasulullah adalah tipe pendidik yang baik. Beliau menyadarkan dengan cara mengajak berfikir serta mendoakan pemuda bersangkutan. Jika terjadi pada diri kita, prioritaskan peran sebagai rahib kedua daripada rahib pertama, pada kasus taubatnya pembunuh 100 jiwa.
Ijin Beramal
Istri musti meminta ijin kepada suaminya sebelum beramal, khususnya beramal sunnah. Budak musti meminta ijin kepada tuannya sebelum beramal seperti mau berangkat jihad. Seorang prajurit musti meminta ijin kepada komandannya sebelum beramal, sebagaimana Umar meminta ijin terlebih dahulu kepada rasulullah saat mau berangkat umrah. Hikmahnya sangat banyak, diantaranya pengaturan SDM dalam jamaáh / organisasi, khususnya peran dan kiprah terhadap pos kosong yang ditinggalkannya.
Ijin Bermanuver
Tidak boleh ada manuver politik, operasi intelijen dan aksi individu yang lepas dari kontrol qiyadah. Semua harus dilaporkan dan sepengetahuan komandannya. Dilapangan, bisa jadi identitasnya tidak dibuka dan operasinya disangkal, baik didepan kawan apalagi dihadapan lawan. Hal ini untuk menjamin kerahasiaan. Contohnya kasus Nuaim bin Mas’ud pada peristiwa perang Khandak.
Jika kita memiliki ragam pemikiran dan tindakan kreatif, tidak boleh menjadi aksi individu. Harus dilaporkan kepada qiyadah. Jika disepakati, maka statusnya meningkat dari agenda pribadi menjadi agenda jama’ah. Contohnya kasus burung hud – hud.
Ijin Berpendapat
Tradisi bermusyawarah adalah tradisi khas bangsa arab yang dikukuhkan dengan wahyu al Qur’an, selain tradisi penghormatan atas bulan haram dll. kita bisa melacak peristiwa di Darun Nadwah dan di Saqifah untuk merujuk tradidi berpebapat dan bermusyawarah dikalangan bangsa arab. Jika pendapat disampaikan kepada rasul, para shahabat akan bertanya lebih dahulu “Apakah keputusan tadi adalah wahyu dari Allah atau berdasarkan pertimbangan pribadi”.
Jika pendapat tidak diambil oleh pemimpin, maka tidak boleh memaksakan diri, apalagi membuat gerakan makar. Misalnya, pendapatnya Umar kepada rasulullah pada kasus tawanan perang Badar dan pendapatnya Ibnu Abbas kepada khalifah Ali bin Abu Thalib tentang arah kebijakan kepemimpinannya.
Ijin Makam
Sebelum meninggal, Amirul Mukminin Umar bin Khathab berwasiat agar dimakamkan disamping makam Abu Bakar dan Umar. Dengan syarat, diijinkan oleh Aisyah ummul mukminin. Jika tidak diijinkan, maka dimakamkan di pekuburan Baqi saja, di Madinah. Umar mensyaratkan meminta ijin kepada Aisyah karena rasulullah dikuburkan dikamarnya Aisyah. Para nabi dimakamkan ditempat mereka meninggal.
Rasulullah adalah suaminya, sedang Abu bakar adalah ayahnya. Wajar jika Aisyah mengijinkan mereka dikuburkan disitu. Satu tempat tadinya diniatkan untuk dirinya sendiri. Namun karena hormatnya kepada Umar, akhirnya Aisyah mengijinkan Umar dikuburkan disitu.
Tak terasa, waktu 2 jam yang disediakan mengalir terlalu cepat sehingga tidak ada waktu yang tersedia untuk sesi tanya jawab. Jam 21.00 saat sesi dimulai, baru dihadiri 12 orang. Jam 23.00 saat sesi diakhiri, peserta sudah lebih dari 30 orang. Yah ndak apa – apa, namanya juga mabit dimalam minggu, gerimis lagi. He..9x.
Eko Jun