Oleh: Athifah.
Indonesia, nusantara yang kaya raya alamnya dengan beragam suku budaya. Negara yang memiliki 33 kepulauan, bahkan salah satu pulaunya lebih besar dari negara tetangganya [1]. Negara ini juga kaya akan penduduk dan budaya, tapi apakah Indonesia sudah mampu membuat rakyatnya mandiri dan bangga akan kemandiriannya? Melihat pada data Departemen Keuangan yang tercatat di website Badan Pusat Statistik, bahwa penerimaan negara Indonesia tahun 2014 adalah sebesar 1.662.509 miliar, tetapi realisasi pengeluaran pada tahun yang sama lebih besar yakni 1.816.735 miliar. Meskipun setiap tahunnya pasti mengalami jumlah pengeluaran yang lebih besar daripada penerimaan, rakyat Indonesia melalui dana bantuan sosial menerima lebih sedikit dari tahun sebelumnya. Pada 2013, dana bantuan sosial yang dikeluaran pemerintah sebesar 82.488 miliar dan pada 2014 menurun hingga pada angka 55.865 milar.[2]
Dana bantuan sosial ini adalah satu dari beberapa poin untuk melihat seberapa besar peran dan usaha pemerintah dalam menaikkan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Letak wilayah pulau-pulau di Indonesia yang terpisah-pisah menjadi tantangan tersendiri bagi negara ini untuk dapat mengoptimalkan setiap wilayahnya dengan baik. Maka, peran pemerintah pusat terwakilkan secara lebih khusus kepada pemerintah daerah dalam menangani permasalahan setiap petak tanahnya yang pastinya juga memiliki keragaman manfaat. Jumlah penduduk yang banyak, 237.641.326 jiwa[3] dan menjadi negara dengan jumlah Muslim terbanyak di dunia seharusnya dapat menjadi potensi luar biasa dalam rangka menaikkan perekonomian bangsa ini. Dan Islam sudah menerapkannya pada masa Nabi dan Rasul terdahulu. Dalam Islam penerimaan negara saat itu bersumber dari ghanimah, zakat, usyr, jizyah, kharaj, dan wakaf. Beberapa diantaranya sudah tidak dapat diberlakukan saat ini, karena hukum negara dan politik yang juga tidak dapat disamakan lagi.
Diantara sumber penerimaan tadi, Indonesia menggunakan pajak sebagai sumber penerimaan negaranya. Zakat dan wakaf adalah pendukung penerimaan tersebut dengan penyalurannya yang terpisah dari badan pemerintahan, biasanya dengan menunjuk lembaga zakat maupun wakaf yang resmi dipercaya pemerintah. Yang cukup menarik dari dua sumber ini adalah karakteristik objek penerimanya. Jika zakat sudah ada perintahnya dalam Al-Qur’an pada surat At-Taubah ayat 60 untuk 8 golongan asnaf, wakaf memiliki objek penerima yang lebih universal. Wakaf pada dasarnya adalah menyedekahkan harta seseorang dengan kepemilikan hartanya yang juga berpindah menjadi milik Allah atau hanya untuk kemaslahatan bersama. Sehingga kepemilikannya tidak diakui lagi menjadi harta sang pemberi. Seiring dengan perubahan kondisi, wakaf muncul dengan beberapa penyesuaian diantaranya menjadi wakaf tunai atau mewakafkan harta dalam jenis benda bergerak seperti uang. Wakaf dengan karakternya dalam menahan modal pokok atau aset wakaf, kemudian dapat dikelola dan hasilnya bisa digunakan untuk pelayanan masyarakat menjadi solusi yang baik jika direalisasikan secara optimal di Indonesia. Wakaf tunai ini juga dikenal dengan nama wakaf produktif.
“Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Istilah ini bisa kita sambungkan dengan mekanisme wakaf produktif. Melihat jumlah kelas masyarakat menengah yang mengalami kenaikan bisa tercerminkan dari jumlah pengguna motor, handphone, maupun pengeluaran harian dari 2 hingga 20 Dollar US yang terus meningkat pada saat ini. Ditambah jumlah umat Muslim Indonesia yang mengungguli negara lain, menurut Mustafa Edwin Nasution selaku pengurus Badan Wakaf Indonesia, potensi wakaf di Indonesia dengan jumlah umat Muslim dermawan diperkirakan sebesar 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan perbulan Rp 500.000 hingga Rp10.000.000, maka paling tidak akan terkumpul dana sekitar Rp. 3 Triliun/tahun dari dana wakaf. Dana ini kemudian bisa dikelola oleh nazhir (pengelola dana wakaf) untuk sektor riil, maupun investasi saham asalkan seperti karakter murninya, aset wakaf ini tetap dan tidak boleh lebih atau kurang. Hasil dari pengelolaan tadi bisa disalurkan untuk pembangunan infrastruktur negara, pembangunan layanan masyarakat, biaya program beasiswa pendidikan, dan banyak hal lainnya. Jika ingin melihat keberhasilan pengelolaan wakaf produktif maka kita dapat menengok Turki, Mesir, Arab Saudi, Bangladesh, dan banyak lainnya yang sudah lebih awal meyakini bahwa wakaf produktif sangat berpotensi dalam pembangunan perekonomian bangsanya. Lalu kapan bangsa Indonesia siap memulainya? Kapan bangsa Indonesia siap mandiri membangun ibu pertiwinya?
[1]luas negara Malaysia yang sebesar 329.750 km2adalah setengah dari luas Jakarta 664,01 km2(http://www.kemendagri.go.id/)
[2] http://www.bps.go.id/
[3] Sensus 2010 di bps.go.id