Oleh: Ary Satria.
Dalam beberapa dekade terakhir pemanasan global dan perubahan iklim merupakan salah satu isu lingkungan penting yang harus dihadapi dengan serius oleh negara-negara di dunia. Perubahan iklim dan kenaikan temperatur udara secara global akibat Gas Rumah Kaca (GRK) adalah sebuah fenomena yang secara luas dapat berpengaruh pada kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Pemanasan global merupakan fenomena yang tidak terelakkan lagi. Faktanya Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa kenaikan suhu bumi selama tahun 1990 – 2005 antara 0.13 – 0.15 derajat celcius. Apabila tidak ada upaya pencegahan, pada tahun 2050 – 2070 suhu Bumi akan naik sekitar 4,2 derajat Celcius (KPKC Roma, 2002 dalam Ginting, 2008). Pada kondisi normal, efek rumah kaca adalah baik karena dapat memberikan kehangatan dan kehidupan bagi Bumi dan seluruh makhluk hidup. Faktanya, jika tidak ada rumah kaca, bagian Bumi yang tidak terkena sinar Matahari akan menjadi sangat dingin dengan temperatur -18ºC (Purwito, 2008). Celakanya, dengan berbagai aktifitas manusia yang terkadang tidak memperhatikan aspek lingkungan, efek rumah kaca lebih banyak merugikan kehidupan karena didukung oleh banyaknya pencemaran dan tingginya emisi gas yang merusak lapisan ozon.
Dampak dari pemanasan global adalah meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan badai, angin topan, dan banjir, mencairnya es dan glasier di kutub, serta kenaikan permukaan laut hingga menyebabkan banjir yang luas. Pada tahun 2100 diperkirakan permukaan air laut naik hingga 15–95 cm. Iklim yang tidak menentu juga menjadi fenomena yang akan terjadi jika permasalahan ini tidak ditanggapi secara serius (Ginting, 2008). Namun, alih alih mengurangi dampak pemanasan global, Indonesia malah menjadi negara nomor tiga penyumbang emisi gas CO2 di dunia yang turut memberikan kontribusi pemanasan global. Kedudukan Indonesia naik dari peringkat 21 keperingkat 3 di bawah Amerika Serikat dan Cina (Purwito, 2008). Ditambah dengan angka penggunaan kendaraan bermotor Indonesia yang mencapai angka 94.373.324 (BPS, 2012), dan jumlah pabrik yang ada di Indonesia mencapai 23.257, dan 2545 di antaranya adalah pabrik tekstil yang berpotensi tinggi mencemari lingkungan (BPS, 2012).
Permasalahan lingkungan haruslah ditanggapi dengan penanganan serius. Salah satu solusi untuk menjawab tantangan tersebut adalah teknologi urban farming. Urban farming adalah gerakan kembali ke alam berupa kegiatan bertani di lingkungan perkotaan. Urban farming didefinisikan sebagai usaha tani, pengolahan, dan distribusi dari berbagai komoditas pangan termasuk sayuran dan peternakan di dalam atau di pinggilan wilayah kota (Athariyanto, 2010). Pada negara maju seperti Jepang, teknologi urban farming ini dengan serius diimplementasikan di kehidupan masyarakat. Hal ini ditandai dengan banyaknya hotel dan bangunan lain yang dibeberapa sisinya ditanami tanaman, mulai dari pangan hingga hortikultur.
Di Indonesia teknologi ini belum banyak dikembangkan, meskipun secara teoritis mudah diterapkan. Faktanya masih sedikit wilayah yang menerapkan teknologi ini. Surabaya merupakan salah satu kota yang mulai menerapkan teknologi ini, karena selain efektif menyelesaikan permasalahan lingkungan, urban farming memiliki fungsi ganda untuk meningkatkan sumber daya dibidang pertanian dan mengurangi kemiskinan di wilayah itu. Hal ini diterapkan oleh masyarakat Kelurahan Made di Surabaya yang menerapkan urbanfarming untuk mengatasi masalah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan di daerah tersebut.
Urban farming merupakan solusi alternatif bagi penyelesaian masalah lingkungan dan ekonomi, namun penerapannya belum dilakukan secara optimal di Indonesia, karena itu kita harus mempopulerkan kegiatan ini agar lebih mudah dikenal masyarakat, Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran berusaha mempromosikan urban farming ke berbagai elemen masyarakat di Jawa Barat, Bersama kami melakukan penyuluhan mengenai urban farming, salah satunya di Desa Pasigaran, Kabupaten Sumedang. Efeknya luar biasa, dengan optimalisasi lahan sempit pada pekaranag berupa teknologi hidrophonik, setidaknya warga desa dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri, meningkatkan pendapatan dan secara otomatis juga mendukung program ketahanan. BEM Fakultas Pertanian juga mengawal program Upsus Pajale dari pemerintah dengan mengajak warga Kota Bandung untuk mengoptimalkan lahan pekarangannya menjadi rumah pangan lestari, dan memberikan berbagai macam penjelasan mengenai urban farming, salah satunya mengenai hidrophonik sebagai media budidaya yang efektif dan efisien pada saat perayaan hari tani tanggal 24 september 2015 lalu di Dago. karena masalah lingkungan merupakan masalah kita bersama dan musuh kita bersama. Manfaat urban farming dapat mengurangi dampak pemanasan global dan menyelesaikan masalah ekonomi di Indonesia. Urban farming merupakan solusi yang terabaikan, namun dalam penerapannya teknologi ini harus mulai diterapkan demi keseimbangan lingkungan.