The Power of Diremehkan

Oleh: Purwa Udiutomo
General Manager Beastudi Indonesia

Ketika seseorang menghina kamu, itu adalah sebuah pujian bahwa selama ini mereka menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan kamu, bahkan ketika kamu tidak memikirkan mereka” (B.J. Habibie)

Rasanya tidak banyak yang tersisa dari gelaran Copa America Centenario dan Euro tahun 2016 ini. Gemanya kurang nyaring tertutup Ramadhan serta nyaris tidak ada pertandingan yang benar-benar merarik. Dan berbeda dengan Piala AFF dimana timnas Indonesia menjadi salah satu kontestannya, kepentingan Indonesia juga minim terhadap pesta sepakbola di benua Amerika dan Eropa. Kalaupun ada catatan tersisa, tampaknya tidak jauh dari bagaimana tim-tim unggulan seperti Brazil, Spanyol dan Inggris begitu cepat tersingkir. Juga bagaimana tim superior yang diunggulkan justru gagal menjadi juara setelah kalah di final.

Ya, Copa America Centenario 2016 menjadi panggung bagi Chili setelah mengalahkan Argentina melalui babak adu pinalti, mengulang kesuksesan serupa pada Copa America 2015. Padahal di pertandingan pertama babak penyisihan, Argentina sukses mengalahkan Chili 2-1 dan selanjutnya terus menang hingga final dengan selisih minimal 3 gol. Sementara itu, Piala Eropa 2016 menjadi panggung bagi Portugal yang memupus asa juara tuan rumah Perancis lewat 1 gol di babak perpanjangan waktu. Portugal yang sepanjang kompetisi hanya menang sekali di babak normal menaklukkan Perancis yang tidak pernah kalah sepanjang kompetisi. Portugal meraih gelar pertamanya melawan tim unggulan sebagaimana Chili juga meraihnya tahun lalu.

Bola itu bundar, kejadian tim ‘kuda hitam’ jadi juara bukan hal baru. Yunani pernah melakukannya di Euro 2004 dan Denmark melakukannya pada Piala Eropa 1992. Hal ini juga terjadi di liga lokal, misalnya VFL Wolfsburg yang menjadi juara Bundesliga Jerman 2008/ 2009, Montpellier yang jadi juara Ligue 1 Perancis 2011/ 2012 atau yang teranyar Leicester City yang jadi juara Liga Inggris 2015/ 2016. Mengalahkan tradisi juara tim-tim unggulan. Status sebagai tim yang tidak diunggulkan menjadi salah satu kunci sukses mereka. Bertanding tanpa beban, tanpa angan-angan yang terlampau tinggi. Lihat saja betapa frustasi dan tersiksanya Argentina dan Perancis ketika dalam waktu normal tak mampu mengalahkan lawan yang di atas kertas berada di bawah mereka. Tanpa beban, Chili dan Portugal justru memberikan tekanan psikologis yang besar kepada lawan, baik ketika bertahan ataupun menyerang.

Menjadi mereka yang diremehkan itu menyenangkan. Apalagi ketika tidak disangka justru mampu memberikan kejutan. Betapa banyak tokoh dan public figure yang pernah mengalami masa-masa diremehkan, dicemooh ataupun mengalami berbagai penolakan. Thomas Alfa Edison dan Albert Einstein semasa kecil kerap dicap bodoh. Walt Disney dipecat dari kantornya karena dianggap kurang kreatif. Michael Jordan dikeluarkan dari tim basket SMA-nya. Steve Jobs dan Kolonel Sanders diolok-olok idenya. Steven King dan J. K. Rowling berkali-kali ditolak tulisannya. Bahkan tidak sedikit di antara mereka pernah mengalami depresi berat karenanya, tetapi ada kekuatan pembuktian yang menyertai tiap cemoohan dan penolakan.

Menjadi mereka yang tidak diunggulkan kadang dilematis. Antara besar kepala dengan rendah diri. Jika terlalu ambisius bisa salah arah, bahkan menghalalkan segala cara. Ketika berhasil pun rentan masuk jebakan kesombongan. Belum siap mental menjadi pemenang. Alhasil mereka malah balik meremehkan dan mengolok-olok orang lain. Sebaliknya, jika terlalu diterima sebagai sebuah kenyataan dapat menghadirkan rasa minder yang melemahkan. Tidak ada motivasi karena tak berani bermimpi. Mundur teratur. Terminologi ‘tidak diunggulkan’ berubah menjadi ‘pecundang’.

Menjadi mereka yang dipandang sebelah mata boleh jadi menantang. Memotivasi untuk bisa lebih baik, mengerahkan segenap upaya terbaik dan terus melakukan perbaikan. Memberi bukti indah kesuksesan tanpa maksud membalas dendam. Mereka yang pernah merasakan diremehkan semestinya akan lebih mudah tetap berpijak ke bumi ketika sukses, dibandingkan mereka yang setiap saat dielu-elukan. Tidak takut menghadapi tantangan masa depan, namun tidak pula menganggapnya ringan. Karena sikap meremehkan pada hakikatnya adalah suatu bentuk keangkuhan. Dan kesombongan hanya akan menggiring pada kehancuran.

Lalu mengapa tim ‘kuda hitam’ cepat redup cahayanya? Pertama, karena mereka tidak lagi diremehkan sehingga kekuatan mereka berkurang. Kedua, karena mereka gagal lepas dari beban pemenang tidak lagi tenang dan menghanyutkan. Ketiga, karena mereka gagal merawat momentum keberhasilan, tergesa-gesa dan aji mumpung. Padahal mempertahankan kesuksesan tidak lebih mudah daripada merebutnya. Butuh kerja ekstra ketika kita sudah menjadi pihak yang diperhitungkan. Solusinya tentu bukan merekayasa agar kembali diremehkan, namun terus memberikan bukti bahwa untuk menghebat tidak perlu dengan meremehkan orang lain. Fokus memperbaiki diri dan menginspirasi orang lain. Tak lupa untuk bersyukur atas segala karunia yang telah dianugerahkan oleh Sang Pencipta.

I love when people underestimate me and then become pleasantly surprised.” (Kim Kardashian)

Comments

comments