Spiderman Pun Bisa Futur

651

Di antara artikel yang paling kami sukai dalam Serial Kepahlawanan karya HM Anis Matta adalah narasi bertajuk “Aib Kepahlawanan”. Sederhananya, karena satu dan lain hal, maka orang – orang yang semestinya bisa tampil menjadi pahlawan, akhirnya lebih memilih untuk menjadi manusia biasa. Film Spiderman 2 (rilis 2004, dibintangi Tobey Maguire) sedikit banyak bisa memberi kita gambaran tentang situasi tersebut. Mari kita lihat, faktor apa saja yang membuat seorang jagoan super sekalipun pada akhirnya bisa futur :

Pertama, Kehilangan Kekuatan
Beberapa kali, Spiderman secara tiba – tiba kehilangan kekuatannya pada saat beraksi. Bolak – balik dia jatuh dari ketinggian dengan kondisi patah tulang. Dia juga terpaksa harus naik lift dan menanggung malu kala bertemu dengan orang lain. Hingga pada akhirnya meragukan jatidirinya sendiri. Keputusan untuk menjadi manusia biasa diambil setelah dia berkonsultasi dengan dokter yang memeriksanya. “Mungkin aku memang bukan spiderman” gumannya.

Jika ada seseorang bisa berada dalam posisi top performance, pasti dia memiliki kekuatan rahasia. Hal ini tidak harus dimaknai secara negatif, misalnya jimat dll. Tapi bisa berupa ilmu dan keahlian, harta dan peralatan, adanya waktu luang dan fokus, dukungan kerabat dan rekan dll. Jika elemen – elemen vital yang menjadi rahasia kesuksesannya hilang, otomatis kinerjanya akan menurun. Dalam jangka panjang, dia pasti lebih memilih untuk menjadi manusia biasa.

Kedua, Didera Masalah
Jika Batman adalah seorang miliarder yang mapan, maka Spiderman adalah seorang jobseeker. Disatu sisi, dia harus memerankan sosok Spiderman yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Namun disisi lain, kehidupan pribadinya sangat memprihatinkan. Jadi tukang antar pizza, dipecat. Jadi tukang foto, kurang dihargai oleh bosnya. Meskipun tergolong pandai, namun kuliahnya akhirnya berantakan. Sampai akhirnya, kekasihnya memutuskan pindah ke lain hati. “Buat apa aku jadi Spiderman jika nasibku jadi seperti ini” gumannya.

Di tengah masyarakat kita, bisa jadi ada orang – orang yang memiliki kemampuan hebat dan kiprahnya sangat dibutuhkan oleh ummat dan masyarakat. Namun kehidupan pribadinya cukup memprihatinkan. Baik karena masalah keluarga, ekonomi, sosial dll. Bolak – balik minta tolong ke teman, rasanya juga agak malu. Cepat atau lambat, dia pasti akan mengevaluasi kiprah, aktvitas maupun pilihan hidupnya. Akhirnya dia memutuskan untuk menjadi orang biasa, sebagaimana orang lain.

Ketiga, Konflik Batin
Musuh – musuhnya kali ini adalah orang – orang dekatnya sendiri. Ada Dr Octopus yang merupakan sahabat dari profesornya dikampus. Dia pun kenal dekat, karena sering membaca jurnal ilmiahnya. Ada juga shahabatnya, Harry Osborne yang berniat membalas dendam akibat kematian ayahnya. Menghadapi musuh yang tidak kita kenal, suasananya cenderung tanpa beban dan bernuansa hitam putih. Namun konflik batin jelas akan mendera jika yang dihadapi adalah pihak yang akrab dan dekat dengan kita. Meski tak terucap, tapi Spiderman tentu bingung “Mengapa aku harus melawan teman sendiri”.

Saat beraktivitas di lapangan, singgungan dan konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Kita cenderung bisa bersikap tegas jika menghadapi pihak eksternal. Namun jika kita berurusan dengan teman, rekan dan kerabat, situasinya kadang menjadi rumit dan pelik. Jika beragam kepentingan sudah tidak bisa disinkronkan dan konsensus sulit untuk diraih, kadang – kadang orang – orang besar lebih memilih untuk mengalah, keluar gelanggang, turun panggung dan mencari alternatif lain dan jalan hidup yang berbeda.

Menjadi Superhero
Peter Parker memiliki kekuatan super, namun hal itu tak banyak membantunya untuk meraih kesuksesan sebagai manusia normal. Pekerjaannya, kuliahnya dan bahkan kehidupan cintanya morat – marit. Itu karena dia memegang teguh wasiat pamannya, yakni “Great power comes great responsibility”. Situasinya sama persis, disekitar kita boleh jadi ada banyak orang – orang hebat dengan kiprah dan kontribusi besar. Namun itu semua tidak banyak membantunya dalam kehidupan pribadinya. Itu semua karena mereka masih memegang teguh ajaran para nabi “Yaa qaumi, laa as-alukum ‘alaihi ajraa. In ajriya illaa ‘alalladzii fatharanii”.

Kita sering menceritakan sosok pahlawan maupun kisah – kisah kepahlawanan dengan bangga, penuh puja dan kekaguman. Namun kehidupan nyata dari seorang pahlawan, justru sangat rumit dan pelik. Inilah satu alasan mengapa banyak orang memuja pahlawan tapi tidak ada yang mau memerankan diri jadi pahlawan. Padahal dibagian akhir narasi serial kepahlawanan, Ust Anis Matta menekankan bahwa para pahlawan itu sudah ada, sehingga tidak perlu dicari dimana rimbanya atau ditunggu kapan datangnya. Pahlawan itu sudah hadir disini dan saat ini. Yakni, aku dan kau. Tinggal kita mau berkiprah apa tidak. Wallahu a’lam.

Eko Jun

Comments

comments