Oleh: Muhammad Zulfadli Tahir.
Sebelum saya duduk di sofa empuk bioskop XXI, untuk menonton pada Minggu siang, 6 Oktober 2019, film Joker, yang di Indonesia tayang perdana pada 3 Oktober 2019 di Amerika Serikat, pada 27 September 2019— telah menjadi perdebatan sengit. Tidak hanya di media sosial, media utama pun terbelah.
Jarang sekali ada perbedaan tajam sinopsis film antara Majalah Tempo (edisi 7-13 Oktober 2019) dan Koran Kompas pada Minggu, 6 Oktober 2019. Barangkali bergantung pada selera dan pendekatannya.
Leila S Chudori dari Tempo, tanpa basa-basi, memuji tinggi Joker sebagai film berkelas, paling relevan pada 2019. Sebaliknya Nawa Tunggal dan Sarie Febriane dari Kompas, berhati-hati, lebih konservatif, cenderung menggugat. Kompas mengutip Washington Post, bahwa Joker adalah film paling provokatif dan memecah belah.
Masyarakat Amerika Serikat masih dilanda trauma penayangan Joker akan membangkitkan memori beberapa penembakan massal sering terjadi di negeri Paman Sam satu dasawarsa terakhir.
Mereka menggugat karakter Joker diglorifikasi dan memberi inspirasi orang dengan tekanan mental melakukan teror di kehidupan nyata.
Buktinya cukup meyakinkan, pada 20 Juli 2012 silam, penembakan massal brutal terjadi saat film Batman, The Dark Knight Rises, di sebuah bioskop Colorado, menewaskan 12 orang tewas dan 70 terluka.
Pelakunya, James Holmes, disebut terinspirasi sosok Joker yang diperankan dengan pesona yang sangat kuat oleh mendiang Heath Ledger dalam The Dark Night (2008).
****
Akan lebih membantu apabila kita sudah menyaksikannya. Seperti yang sudah kita ketahui karakter Joker terbentuk dari nama besar Batman. Namun film yang disutradarai oleh Todd Phillips dan dibintangi Joaquin Phoenix, Joker berdiri sendiri. Nyaris tak ada adegan tanpa Arthur Fleck dalam durasi 162 menit.
Sebelum Joker menjadi Joker, ia adalah Arthur Fleck, seorang lelaki aneh dan kesepian yang tinggal di unit apartemen kumuh di kota Gotham bersama ibu (diperankan oleh Frances Conroy yang lemah) yang sangat dibencinya.
Ibunya menyapa Arthur dengan nama Happy. Satu-satunya hiburan Arthur adalah menonton talkshow yang dibawakan dengan menghibur, Murray Franklin (Robert De Niro). Arthur bermimpi menjadi komik stand-up dan bintang tamu di acara itu. Ia menyimpan buku catatan yang penuh lelucon.
‘Hanya aku yang merasa, atau dunia memang semakin tertekan?’ tanya Arthur pada Psikiater. Arthur memiliki gangguan jiwa yang membutuhkan mengonsumsi tujuh jenis obat agar perilakunya tidak semakin berbahaya. Dia kurus, gelisah, dan kadang-kadang mengejutkan.
Takdir membuat Arthur bekerja di tempat persewaan badut yang menyedihkan, dan tidak ada teman yang cocok untuknya di sana. Saat bekerja di adegan pembuka film, Arthur dipukuli oleh segerombolan bajingan jahat, dan kemudian hampir dipecat karena mereka mencuri dan menghancurkan papan iklan yang sedang ia peragakan kepada pelanggan.
Hari-hari ke depan semakin banyak hal buruk terjadi, dan Arthur semakin marah dan semakin terisolasi. Layanan sosial kota ditutup, dan ia tidak dapat lagi menerima konseling di sana dan mendapatkan obat-obatannya.
Arthur terus mencoba meredam perilakunya. Ia membawa kertas kecil yang dia pegang dengan sangat membantu setiap kali dia tertawa dengan tidak tepat, yang hampir selalu terjadi, untuk mendapat pemakluman. Bunyinya, ” Forgive my laughter, I have a brain injury “.
Tawa Arthur yang tak terkendali muncul dari kondisi medis yang mungkin merupakan akibat dari pelecehan masa kecil. Keterasingan dari ketimpangan sosial, kemunduran peradaban, korupsi politik, televisi, birokrasi pemerintah, dan banyak penyebab lainnya.
Dia juga mendidih terhadap Thomas Wayne, ayah dari anak lelaki kaya yang akan tumbuh menjadi Batman, Wayne mencalonkan diri sebagai walikota tetapi tampaknya tidak terlalu peduli pada orang miskin, seperti Arthur dan ibunya. Di sini, tentu saja, kita seharusnya bersimpati kepada Arthur. Ia marah pada dunia, karena alasan yang mudah dirasakan.
Dan pada akhinya ‘satu hari buruk’ yang menciptakan sosok kejam Arthur Fleck menjadi Joker, badut pembunuh sadis. Tindakan kriminal pertamanya membunuh tiga investor kacangan di Wall Street yang bengis saat mengendarai kereta bawah tanah. Peristiwa berdarah itu yang mengilhami massa untuk mengenakan topeng badut dan berbaris di sekitar kota, tanpa harapan.
***
Film ini terlihat penuh energi dan ‘menyenangkan’, sungguh kelam dengan cara yang menarik bagi orang yang salah paham. Joker adalah salah satu penjahat yang paling dicintai, mungkin oleh remaja murung — dan terkadang orang dewasa labil. Joker sebuah perwujudan dari anarki murni, dapat dimainkan ringan atau berat, menakutkan sekaligus menyenangkan.
Inilah dunia tempat kita hidup sekarang, tanpa sekat, makin rentan karena kebenaran dan kebohogan bercampur. Siapa pun bisa menjadi seperti Joker. Statistik-statistik medis telah mengungkap makin hari makin banyak orang orang terkena penyakit mental.
Mereka sangat rapuh, bersumbu pendek, dan mudah meledak. Ketika mereka tergores dan terluka sedikit saja, lapisan serigala dalam dirinya akan muncul dengan cepat.
Film ini juga tamparan telak bagi otoritas kota. Pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan dan berpihak pada kelompok-kelompok terpinggirkan yang miskin dan tanpa harapan.
Saya sepakat ulasan New York Times, bahwa sutradara Todd Phillips, mungkin mengajak kita berpikir, bahwa dia menawarkan satu film tentang kekosongan budaya kita.
Niat terpenting Phillips adalah membuka dialog tentang penyakit sosial kekerasan yang tidak hanya menimpa negara Amerika Serikat. Indonesia pun mengalaminya.
Salam sinema.