Dari jutaan kaum muslimin yang hadir pada Aksi Bela Islam jilid ketiga (aksi 212), apakah semuanya adalah golongan ahli ibadah? Sudah pasti, jawabannya bukan. Diantara mereka, banyak yang shalatnya menjadi jama’ah makmum masbuq di masjid. Jangan samakan dengan Said bin Musayyib, penghulunya generasi tabi’in. Di mana selama kurun waktu 40 tahun, beliau senantiasa hadir di shaf pertama dan tidak pernah ketinggalan takbiratul ihram.
Di antara mereka, banyak yang belum lancar baca qur’an. Masih terbata-bata, makhrajul hurufnya belum benar, tajwidnya masih banyak salah dan bisa jadi belum setiap hari bisa tadarus Al Qur’an. Jangan samakan dengan shahabat Abu Musa Al Asy’ari ra, yang bacaan Al Qur’annya sangat merdu, hingga rasulullah sekalipun sampai terkesima. “Sungguh, Abu Musa telah dikaruniai seruling Daud” puji nabi.
Di antara mereka, banyak yang masih lekat dengan kesenangan dunia. Sehari-hari lebih banyak berkutat di panggung hiburan ketimbang di majelis dzikir. Lebih sering berada di pasar, di kantor dan di jalanan ketimbang di masjid. Lebih sering mendengarkan musik ketimbang murratal Al Qur’an. Jangan samakan dengan sahabat Abu Darda ra atau Abu Dzar ra yang seolah sudah bercerai dengan kesenangan dan menyatakan talak tiga kepada dunia.
Daftarnya tentu akan semakin panjang dan semakin kontras kondisinya bila dibandingkan dengan generasi terbaik, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in maupun para ‘abid. Hanya saja, nurani yang jernih tidak akan bisa dibohongi. Mudah sekali untuk membedakan mana seruan yang benar dan mana seruan yang batil. Seruan yang benar tetap saja benar, meski distigmakan negatif seperti anti toleransi dan makar. Seruan batil tetap saja batil, meski dibungkus dengan kata-kata yang indah seperti toleransi dan kebhinekaan.
Mungkin hidup kita penuh dengan peluh dosa, tapi semangat untuk membela agama jangan sampai hilang. Mungkin hari-hari kita lebih akrab dengan baju hitam, tapi baju putih tetap dimiliki. Mungkin kita lebih sering dicekoki dengan framing berita dari penguasa dan media, tapi mari kita buka mata dan telinga lebar-lebar saat para ulama berbicara. Wahuduu ilath thayyibi minal qaul, wahuduu ilaa shiraathil hamiid.
Sekali lagi, kami terkenang dengan syair yang sangat tawadhu dari Imam Syafi’i. “Aku mencintai orang – orang shaleh, Meski aku bukan bagian dari mereka. Semoga dengannya, aku mendapatkan berkah. Aku benci orang – orang fasik. Meski kadang aku melakukan hal yang sama”. Hm,… Sebuah syair yang sangat pas untuk menggambarkan kondisi kami pada aksi 212 kemarin.
Eko Jun