Rasa bangga rakyat negeri ini akan produk atau hasil dalam negeri tampaknya masih kurang, khususnya untuk buah produk lokal.
Di pasaran, terutama di kota-kota besar, dengan mudah kita jumpai buah-buahan impor. Buah itu antara lain apel, jeruk, durian, pisang, bahkan pepaya pun berlabel impor, yaitu california papaya atau havana/hawaii papaya.
“Padahal, tak ada pepaya impor. Semua itu pepaya hasil pemuliaan yang dilakukan Pusat Kajian Tropika IPB,” kata Sriani.
Buah pepaya hasil produk dalam negeri diberi label atau nama daerah negara lain demi untuk mencari keuntungan finansial semata.
Hal itu terjadi pada pohon pepaya callina yang merupakan varitas temuan Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS dari Institut Pertanian Bogor (IPB) diubah namanya menjadi pepaya california agar laku terjual di supermarket.
Pepaya callina yang merupakan buah lokal asli Indonesia tersebut, kini banyak ditanam para petani di berbagai daerah karena berbagai keunggulannya dan tingginya permintaan pasar. Tingginya belum sampai satu meter dan usianya baru delapan bulan, tapi pohon pepaya callina sudah bisa menghasilkan puluhan buah lezat siap panen dan siap dipasarkan.
Pepaya berukuran kecil dengan bobot rata-rata 1,3 kg per buah ini banyak dijual di supermarket-supermarket besar, sebagian di antaranya dilabel dengan nama “pepaya california”.
“Yang menamakan itu pepaya california bukan kami, tapi pedagangnya. Padahal itu adalah pepaya callina hasil pemuliaan yang kami lakukan bertahun-tahun,” kata Dr Sriani, kepala Divisi Pemuliaan Tanaman, Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB.
“Menurut distributor dan pedagangnya, kalau tidak dilabeli pepaya impor, buah itu tak laku dijual. Saya tidak percaya. Kalau buah itu kualitasnya bagus, pasti banyak pembelinya. Pepaya hasil pemuliaan kami itu manis rasanya,” lanjutnya.
“Terus terang saya sedih dan sakit hati dengan pengubahan nama tersebut, tapi kami tidak mungkin mengajukan tuntutan hukum karena nama buah ini tidak dipatenkan,” katanya.
Varitas ini, tambahnya, adalah untuk publik domain, jadi petani pun dapat mengembangkannya sendiri.
“Namun secara etika, seharusnya pengusaha tidak mengganti nama buah tersebut meskipun alasannya agar menarik pembeli,” kata wanita kelahiran Ponorogo, Jatim, 28 Oktober 1955 itu.
Kalangan petani sendiri masih menyebutnya pepaya callina, tapi kemudian oleh pengusaha yang membeli diberi label sebagai pepaya california sehingga seolah-olah itu pepaya asli dari Amerika Serikat.
Demikian juga dengan pepaya carisya temuan Dr Sriani dkk di PKBT IPB, setelah di supermarket namanya berubah menjadi pepaya havana.
Namun terlepas dari soal nama tadi, ada hal yang membuat hati Sriani senang, karena itu menunjukkan bahwa hasil kerja keras dan penelitiannya telah berhasil memberi manfaat kepada para petani, dan membuktikan bahwa sebenarnya buah lokal tidak kalah dengan buah impor yang saat ini membanjiri pasar Indonesia.
“Lebih senang lagi jika mendengar laporan dari petani bahwa mereka berhasil mengembangkan pepaya callina ini di daerahnya, dan mendapat keuntungan yang lumayan,” katanya.
Pepaya callina adalah salah satu satu temuan Sriani yang berhasil dikembangkan petani dan diterima masyarakat. Varitas ini dapat beradaptasi dengan berbagai jenis tanah, termasuk di tanah berpasir di tepi pantai seperti yang dikembangkan di Jawa Timur.
Sriani menceritakan bahwa varitas callina ini awalnya dari pepaya yang ditemukan di kebun milik seorang warga Bogor bernama Pak Okim. Pemiliknya mengaku bahwa bibit pepaya itu berasal dari Amerika Serikat, meskipun belum ditelusuri kebenarannya.
Kemudian Sriani dan timnya melakukan breeding atau pemuliaan atas buah tersebut dan melakukan penelitian serta uji coba selama tujuh tahun sebelum akhirnya melahirkan varitas yang dinamakan callina atau california-Indonesia.
Atas ketekunannya dalam pemuliaan buah lokal itu, Sriani mendapat sejumlah penghargaan dari berbagai kalangan.
Di antaranya penghargaan Rektor IPB, penghargaan Riset Unggulan Strategi Nasional (Rusnas Award 2004) dari Kementerian Riset dan Teknologi, Satyalencana Karyasatya dari Presiden RI tahun 2006, Penghargaan Kepedulian dan Penegakan HaKI dari Presiden RI tahun 2007, Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa tahun 2009, dan tahun 2010 ia mendapat penghargaan dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Terkait profesinya sebagai dosen, Sriani juga pernah mendapat penghargaan sebagai Dosen Berprestasi IPB tahun 2006 dan juga Dosen Berprestasi Tingkat Nasional pada tahun yang sama.
Biasa di Kebun
Anak pertama dari tujuh bersaudara pasangan Soedjijo dan Sri Rumiati ini sejak masa kecilnya sudah tidak asing lagi dengan kebun buah-buahan. Kakeknya pernah jadi kepala desa di Ponorogo dan punya tanah cukup luas berisi aneka tanaman buah-buahan.
“Waktu kecil saya sering bermain di kebun buah, jadi saya sudah terbiasa bekerja di kebun,” kata Sriani yang saat ini juga banyak menghabiskan waktunya di kebun plasma nutfah PKBT IPB di Tajur, Bogor.
Selepas SMA di Ponorogo, Sriani melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta. Ia kemudian melanjutkan karirnya di IPB sebagai dosen dan menyelesaikan kuliah S2. Gelar doktor diraihnya di Universiti Putra Malaysia (UPM) tahun 1997 di bidang pemuliaan tanaman.
Sriani kini tetap dengan kesibukannya sebagai dosen di IPB dan juga sebagai peneliti. Tempat kerjanya pun berpindah-pindah. Selain di kantor PKBT IPB di kampus Baranangsiang, Bogor, ia juga terkadang harus ke kampus IPB Dramaga. Kemudian pada hari-hari tertentu gurubesar IPB itu juga ada di kebun plasma di Tajur, atau kebun-kebun mitra IPB lainnya.
Sriani sendiri masih punya keinginan agar buah lokal Indonesia bisa kembali merajai pasar di negeri sendiri, sehingga kesejahteraan para petani pun meningkat.
“Saya tidak akan berhenti di sini saja, banyak potensi-potensi buah lokal yang bisa dikembangkan. Kami di PKBT dituntut untuk bisa menyediakan varitas-varitas unggul lainnya,” kata ibu empat anak hasil pernikahannya dengan Dr Ir Enisar Sangun itu.
Apalagi dengan serbuan buah impor, Sriani khawatir buah lokal makin terpinggirkan. Misalnya saja buah jeruk yang saat ini banyak didatangkan dari China.
“Padahal kita punya jeruk medan, jeruk pontianak, jeruk so`e, atau juga jeruk pulung dari Jawa Timur, itu semua menurut saya lebih enak dan lebih segar dari pada jeruk impor,” katanya.
Menurut dia, perlu ada kebijakan politik dari Pemerintah untuk menahan serbuan buah impor ke Indonesia ini, agar petani buah Indonesia dapat kembali bergairah. Ia juga mendukung gerakan “Gemari Buah Lokal” yang dicanangkan para alumni IPB baru-baru ini.
“Mudah-mudahan makin tumbuh juga kecintaan masyarakat Indonesia terhadap buah lokal, sehingga mereka tetap memilih buah lokal meskipun harganya lebih mahal dari buah impor,” katanya.
“Kebergantungan pada produk impor diharapkan dapat dihilangkan, atau setidaknya dikurangi, sehingga ketahanan dan kedaulatan pangan kita dapat diwujudkan,” kata Sriani.