Pemimpin Gonta Ganti, Pengikut Bengong Bingung

Dunia politik memang asik nggak asik. Kadang asik kadang enggak, disitu yang asik (katanya). Seperti orang main catur, kalau nggak ngatur nggak asik. Pion bingung nggak bisa mundur, pion-pion nggak mungkin kabur. Menteri, luncur, kuda dan benteng, galaknya melebihi raja. Raja tenang gerak selangkah, sambil menyematkan hadiah…” (‘Asik Nggak Asik’, Iwan Fals)

Lantunan lagu dari Iwan Fals menemani perjalananku di Papua. Mengunjungi sebuah sekolah rujukan provinsi yang tampak tak terawat. Jika bukan karena unsur politis, rasanya tidak mungkin sekolah negeri yang dijuluki sekolah 89 karena siswa datang jam 8 dan pulang jam 9 ini bisa terpilih sebagai sekolah unggulan tingkat provinsi. Apalagi dalam 3 tahun terakhir, kepala sekolah berganti hingga 4 kali sesuai dengan kondisi politik sehingga praktis tidak ada keberlanjutan program di sekolah. Pergantian kepala dinas dan kepala sekolah karena unsur politis memang bukan hal baru dan banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, bukan hanya Papua. Pergantian yang sebenarnya mengganggu kesinambungan sistem pendidikan. Alih-alih melanjutkan perbaikan, pejabat terpilih akan lebih fokus mengamankan jabatan dan memanfaatkan kesempatan yang dimiliki.

Reshuffle kabinet berulang kali juga mencerminkan betapa mudahnya kepemimpinan berganti, bahkan untuk skala yang lebih besar. Padahal dalam setiap pergantian pemimpin biasanya ada ‘gerbong’ yang dibawanya. Efek domino pergantian pun terus bergulir ke level di bawahnya. Ada yang terpilih, ada yang tersingkir. Ada yang bersedih, ada yang nyengir. Kaderisasi adalah keniscayaan, pergiliran kepemimpinan pun bisa membawa segudang harapan. Hanya saja, dalih dan motif pergantian, serta ketercapaian tujuan bersama perlu diperhatikan. Betapa banyak pergantian jabatan yang hanya dilatari oleh pertimbangan like or dislike atau kedekatan dengan atasan. Betapa sering pertimbangan transaksional yang pragmatis lebih dikedepankan dalam pemilihan SDM dibandingkan faktor kinerja dan kompetensi.

Adalah wajar seorang pimpinan memilih orang-orang yang se-visi untuk menjadi timnya, namun tidak seharusnya abai terhadap kompetensinya. Apalagi jika akhirnya hanya memilih orang dekat yang nihil pengalaman dan kemampuan, sekadar menyingkirkan mereka yang kritis dan (dianggap) tidak bisa dikendalikan. Pimpinan pilih kasih hanya akan menyisakan dua tipe pengikut yang tak terorbitkan: pengikut yang cari aman, dan mereka yang bersiap melakukan perlawanan. Sementara yang terpilih mungkin akan kian loyal dan amankan kesempatan. Loyalitas pengikut memang penting dalam mencapai tujuan organisasi, namun loyalitas sebagai akibat kualitas pemimpin, bukan sebagai prasyarat pengikut. Loyalitas yang berkarakter bukan cuma ikut-ikutan.

Pergantian pemimpin bisa membawa angin segar perubahan, namun gonta-ganti pimpinan dapat membuat kegaduhan, kegalauan plus kebingungan. Potensi reorientasi dan readaptasi tentu mendatangkan harap-harap cemas. Belum lagi masa depan yang tidak jelas. Karenanya tidak sedikit yang memilih cari aman, istilah yang lebih halus dibandingkan cari muka ke atasan. Jika naturalnya organisasi akan melewati fase forming, storming, norming dan performing, kebiasaan bongkar pasang struktur dan SDM berpotensi membuat organisasi hanya berkutat di fase forming dan storming, tanpa pernah menemukan pola kerja yang tepat, apalagi menghasilkan performa terbaik.

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah gonta-ganti pimpinan karena buaian kepentingan semu yang dapat menyesatkan arah dan tujuan organisasi. Ketercapaian visi kian menjauh. Kepentingan semu ini kemudian membentuk sistem yang semu. Tujuan, strategi, hingga aksinya semu. Dan dilakukan oleh kerumunan orang yang fokus memperjuangkan kepentingan fananya. Aji mumpung, raup keuntungan dan cari selamat, selama mungkin. Organisasi akan kehilangan orientasi dan bertahan sebatas interval waktu kepentingan. Gagal lulus ujian perubahan dan pergantian kepemimpinan.

Memang perubahan struktur dan SDM dapat menyegarkan organisasi, membuatnya lebih lincah dan fleksibel menghadapi tantangan masa depan. Namun hati-hati dalam bagi-bagi kursi. Jika visi, karakter, kompetensi dan komposisi SDM diabaikan, organisasi bisa kehilangan jati diri bahkan kehilangan eksistensi. Perlu pertimbangan matang yang bervisi jangka panjang untuk mengawal pergiliran kepemimpinan. Jangan sampai pimpinannya malah bimbang, pengikutnya pun gamang. Pimpinannya bingung, pengikutnya pun bengong. Bagaimanapun, pergantian pemimpin adalah keniscayaan dalam kehidupan berorganisasi. Memilih pemimpin baru yang tepat merupakan investasi kebaikan jangka panjang. Membina SDM pejuang. Membangun organisasi pemenang.

Satu satu daun berguguran, jatuh ke bumi dimakan usia. Tak terdengar tangis tak terdengar tawa, redalah reda. Satu satu tunas muda bersemi, mengisi hidup gantikan yang tua. Tak terdengar tangis tak terdengar tawa, redalah reda. Waktu terus bergulir, semuanya mesti terjadi. Daun daun berguguran, tunas tunas muda bersemi. Satu satu daun jatuh ke bumi. Satu satu tunas muda bersemi. Tak guna menangis tak guna tertawa, redalah reda…” (‘Satu Satu’, Iwan Fals)

Comments

comments