Negeri Makmur di Ujung Kehancuran

Oleh: Bambang Sidik Priyatno.
Owner dan Trainer Sekolah Karakter Indonesia
Pendongeng

Sayyiduna Umar bin Khothhob r.a. berkata, “Sebuah Negri berada di Ujung tanduk, nyaris tenggelam dalam kehancuran padahal Negri itu makmur.”

Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana Negri tersebut akan hancur padahal ia makmur?”

Beliau menjawab, “Jika orang-orang bejat di negeri tersebut sudah unggul dari orang-orang yang baik, dan Jika sebuah kaum dipimpin oleh orang-orang munafiq.”

Memperbaiki negeri adalah memperbaiki masyarakat. Masyarakat dalam arti luas adalah rakyat sebuah bangsa, asal mereka adalah keluarga. Dengan deikian perbaiakab dimulainya dari individu yang berada dalam keluarga, tidak lain.

Jika kita memaparkan permasalahan-permasalahan keluarga yang ada saat ini bukan berarti hal ini dilakukan untuk menyudutkan satu keluarga, namun secara positif untuk mengembalikan sebuah masalah kepada rel sebenarnya yang harus dilalui, terkadang harua diperlakukan khusus, dikeluarkan dari mayoritas dan memang terlihat tidak lumrah. Bisa jadi begitu asing dan menyakitkan terpisah dari mayoritas.

Perhatikan Si A yang memiliki beberapa saudara dan hanya dia saja yang lemah semangat belajarnya, maka orangtua mengambil keputusan memasukkannya ke Pesantren meski si A tidak suka. Atau mendatangkan psikolog untuk mendongkrak motivasi belajarnya. Sudah benarkah lagkah yang dipilih orangtua, seperti banyak orangtua saat ini.

Maka kita lihat apa yang dilakukan orangtua kepada anaknya, apakah ia menyerahkan secara total kepada orang lain urusan pendidikannya? Seperti beralihnya hak asuh anak kepada pembantu dengan alasan mencari nafkah? Kemudian pindah kepada guru dengan perhatiaan saat antar jemput sekolah saja? Atau ibu yang berjibaku mendidik tanpa ayah terlibat? Dimana posisi kita dalam memulai perbaikan ini?

“Tidak akan menjadi baik generasi zaman akhir, kecuali dengan cara generasi terdahulu diperbaiki”. (Imam Malik r.a.).

Sebuah perintah umum yang mesti kita bongkar demi mendapatkan harta karun terbesar dari sebuah sejarah. Sejarah akan mengulangi dirinya sendiri. Sejarah memberikan konsep umum yang berlaku bagi generasi setelahnya dengan cara dikbangkan, bukan diganti.

Sudah jelas kurikulum pendidikan negeri ini adalah pesanan yang merusak kualitas generasi. Setiap pergantian menteri berganti pula kurikulumnya. Belum lagi tuntas kurikulum yabg sedang diterapkan, berganti sudah dengan yang baru. Para penaggung jawab pendidikan di negeri ini terlalu berani gonta ganti kurikulum. Pergantian yang dilakukan tanpa mendudukan orang-orang ahli, yang ada hanya arogansi dengan mengunggulkan diri sendiri.

Kurikulum pendidikan seharusnya tidak diganti kecuali dengan orang-orang yang telah melahirkan generasi terbaik melalui konsep-konsepnya. Walaupun orang-orang tersebut telah mati, pergantian kurikulum tidak akan dilakukan kecuali oleh keinginan merusak.

Seperti yang dikatakan imam malik di atas, generasi saat ini haruas diperbaiki dengan cara generasi terdahulu diperbaiki. Generasi yang lahir dari tangan Rasulullah Saw. adalah generasi terbaik. Generasi yang akan hadir kedepan adalah generasi sekualitas sahabat-sahabat Nabi Saw.

Bahwa kini tugas setiap keluarga untuk memahami sejarah dan mengulangi cerita suksesnya dalam kehidupan keluarga adalah benar. Dan bahwa perbaikan bangsa adalah akumulasi dari perbaikan yang mengkristal di tiap-tiap keluarga adalah benar. Maka, apa yang telah diterapkan oleh Rasullah Saw. kepada sahabat-sahabat dan keluarganya sabgat layak untuk dijiplak. Tugas jita hanya menjiplak, tak perlu membuat baru. Ambil, tiru dan modifikasi.

Dengan demikian hal pertama yang menjadi pokok kurikulum adalah iman. Keyakinan kepada rukun iman dan penerapannya sudah harus dimulai sejak dini. Dengan demikian saat iman telah mantap barulah masuk ke k mpelajari al-Quran, tahap ini harus menjadikan keimanan anak samakin mantap. Lalu langkah ketiga adalah keterampilan hidup (life skill). Pada jenjang ini anak telah kokoh imannya dan berpegang teguh pada, panduan (al-Quran) sehingga mampu menjalani hidup dengan keyakinan tinggi tanpa menyandarkan harapa kepada selain Allah.

Secara garis besar, generasi semacam ini yang akan membuang jauh kehancuran dan membawa kembali kemakmuran dalam sebuah negeri. Bukan generasi yang jiwa dan pikirannya penuh oleh perkara dunia, atau generasi dengan orientasi duniawi.

Maka pertanyaannya, kalau bukan anak-anak kita lalu siapa yang kelak berjuang menghapus keluh kesah dan rasa jengah kita (para orangtua) akan setumpuk masalah negeri ini? Mau dikemanakan Indonesia?

Comments

comments