Di sebuah mailing list (milis), saya menemukan diskusi tentang pengucapan selamat hari besar kepada orang yang berbeda agama. Dalam hal ini, ucapan itu diukur dari pandangan Islam.
Silang pendapat terjadi antara yang pro dan kontra pemberian selamat. Masing-masing saling melempar artikel dan tulisan panjang-panjang. Dalil demi dalil diurai. Tapi satu yang mengejutkan saya: saat ada yang menganggap pihak yang kontra memelihara kebencian.
Saya sama sekali tidak menemukan korelasi antara diam tak mengucapkan selamat dengan kebencian terhadap yang merayakan. Tapi saya bisa mengerti, dari mana akar pemikiran salah kaprah seperti itu.
Toleransi yang Disalah Artikan
Ada beberapa pihak yang mengejewantahkan toleransi dalam bentuk pengucapan selamat, bahkan berpartisipasi dalam perayaan. Gawatnya, apabila ada orang yang tak mau mengucapkan selamat, maka tudingan intoleran pun meluncur. Dan image intoleran ini otomatis tampil dalam bentuk wajah penuh amarah dan kebencian.
Hal ini bisa langgeng bila terjadi salah kaprah terhadap makna toleransi pada masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi adalah:
toleran a bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Kata kuncinya ada pada membiarkan. Itulah toleran. Lawannya, intoleran, adalah upaya menghalang-halangi. Maka apakah yang tidak mengucapkan selamat itu tidak membiarkan orang lain melakukan peribadatan?
Sudah jelas bahwa diam terhadap orang yang merayakan hari besarnya adalah sebuah toleransi, sebuah sikap menghargai. Tentunya sikap toleran itu tidak tercampur oleh benci dan amarah.
Jadi sangat salah apabila orang yang tidak mengucapkan selamat kepada umat lain yang merayakan hari besar agamanya itu disebut intoleran.
Partisipasi
Masih menurut KBBI, partisipasi artinya adalah berperan serta, atau keikutsertaan.
Apabila ada teman anda yang ulang tahun, kemudian anda mengucapkan selamat, sudah bisa dibilang anda berpartisipasi dalam memperingati ulang tahun teman anda. Walaupun teman anda tidak mengadakan pesta, tapi peringatan hari ulang tahunnya sudah cukup dengan ucapan selamat.
Islam menetapkan garis demarkasi yang tegas dalam masalah keagamaan. Persoalan dunia, tak masalah kita mengucapkan selamat kepada teman non muslim atas kelahiran anaknya, atau bahkan membantunya mengadakan pesta syukuran. Juga tak masalah untuk persoalan non agamawi lainnya. Tapi bila menyangkut agama, akhir ayat surat Al-Kafirun dengan tegas membatasi: untukmu agamu, dan untukku agamaku. Tidak boleh ada partisipasi!
Dengan begitu, sangat jelas bahwa pengucapan selamat untuk peringatan hari besar agama lain itu termasuk bentuk partisipasi yang dilarang oleh Islam. Bukan lagi sebuah toleransi, tapi sudah melewati makna toleransi itu sendiri. Toleransi hanya dibebankan kepada orang yang tidak berpartisipasi, yaitu dalam bentuk diam, membiarkan, dan menghargai.
Inilah salah kaprah yang terjadi di masyarakat. Salah kaprah ini dimanfaatkan betul oleh penganut paham pluralisme agama untuk melakukan strawman fallacy kepada pihak yang menolak pengucapan selamat.
Toleransi sesungguhnya adalah membiarkan mereka merayakan. Sedangkan mengucapkan selamat, sudah masuk sedikit dalam partisipasi. Begitulah salah satu pendapat di antara dua pendapat tentang pengucapan selamat natal. Pendapat lainnya, menolak anggapan bahwa sekedar mengucapkan selamat natal itu sudah berpartisipasi. Karena saat mengucapkan selamat, tidak ada persetujuan atas keyakinan orang yang diucapkan selamat. Bagaimana pun juga, walau mungkin anda lebih memilih pendapat yang lain – yang menyangkal adanya partisipasi dalam pengucapan selamat natal, tetap tidak bisa disebut intoleran bagi yang tidak mengucapkan selamat natal.
Allahu’alam bish-showab.
Zico Alviandri