Mohamad Natsir, Mosi Integral dan Nasionalisme

Oleh: Pepen Irpan

Jika mendengar atau membaca nama Natsir—lengkapnya Mohamad Natsir (1908-1993)—yang disandingkan dengan istilah Mosi Integral, apa yang terbayang di benak kita? Tentu saja segudang jasa yang telah ditorehkan ideolog Islam, ketua Partai Masyumi terkemuka, sekaligus tokoh Puritan PERSIS tersebut. Jasa bagi umat Islam? Tentu saja tidak hanya umat Islam, namun seluruh anak bangsa yang bernama Indonesia.

Ini jelas dijadikan dalil shahih bahwa, para tokoh Islam—yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Natsir—adalah kaum muslimin nasionalis sejati. Jangan pertentangankan Islam dengan nasionalisme, karena sejarah membuktikan bagaimana bangsa dan Negara ini begitu banyak berhutang budi terhadap jasa para tokoh Islam. Tanpa Islam, tidak terbayangkan akan ada Indonesia..!

Natsir sendiri pernah menulis di era Pra-Merdeka, bahwa tanpa Islam tidak mungkin tumbuh rasa-kebangsaan Indonesia. Pasacakemerdekaan, Natsir juga menegaskan, bahwa orang Islam dapat menjadi muslim yang taat di satu sisi dan di sisi lain bisa dengan lantang menyanyikan lagu Indonesia Raya (Lihat _Capita Selecta_ jilid I dan II). Secara akademis, Merle C. Ricklefs, sejarahwan kondang, menyebutnya dengan istilah proto-nasionalisme. Kedatangan Islam ke nusantara berdampak positif untuk membuka cakrawala pemikiran, sehingga menjadi jalan tumbuhnya masyarakat rasional-religius pra-modern (MC Ricklefs, _a History of Modern Indonesia_).

Howard M. Federspiel mengalihbahasakannya dengan jelas, bahwa “ _There was no Indonesian nationalism since Islam had first planted the seeds of Indonesian unity, removed the attitudes of isolation of various islands…and planted the seeds of brotherhood with [Muslims] outside Indonesia_” (Federspiel, _Islam and Ideology_). Untuk telaah kontemporer, silahkan bandingkan dengan tulisannya Graham Fuller, _a World Without Islam_ (2010).

Baca juga  Thomas Alfa Edison: Di Balik Penemu Besar ada Ibu yang Berjiwa Besar

Dalam konteks Mosi Integral Natsir, ini juga menjadi dalil shahih bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah jasa dan hadiah terbesar dari tokoh Islam tersebut. Ini adalah _common perspektif_—sebuah persepsi yang telah massif terpublikasikan. Semua orang (baca: para aktivis Islam pendukung Natsir) bicara dengan perspektif ini.

Tentu dengan ragam tulisan, pengulasan romantika cerita dan fakta sejarah dengan model narasi yang berbeda, namun isinya adalah itu-itu juga.

Bukan berarti saya tidak setuju. Bahkan sangat setuju. Saya hanya bosan dan “garing” dengan pendekatan ( _approachment_) yang masih itu-itu juga. Seolah-olah tidak ada perspektif lain. Jika begini, apa dampaknya? Yang terjadi adalah “romantika sejarah”. Jika begini terus, maka sejarah justru menjadi beban kita, hari ini dan hari esok. Elan-vital sejarah terkait kesinambungan dan perubahan ( _continuity and change_) justru tidak nampak. Karena kita—pendukung Natsir—seolah-olah ingin kembali ke “masa silam”. Benar bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa lampau. Tapi harus diingat, pembacaan kita terhadap masa lampau itu semestinya membuat kita visioner menatap masa depan.

Mari kita ilustrasikan supaya lebih jelas. Pengulangan cerita berfungsi untuk membentuk ingatan-kolektif. Supaya orang dan masyarakat tidak lupa, karena mempunyai memori yang sama. Jika ingatan-kolektif sudah terbentuk, maka pengulangan cerita hanya menjadi “dongeng pengantar tidur” saja. Seorang anak baru tertidur setelah ia mendengar dongeng terlebih dahulu. Dongeng yang sama yang ia dengar tiap malam. Ia menikmati dongeng itu, malah gelisah—tidak bisa tidur—jika tidak mendengar dongeng tersebut. Ketika kelak si anak sudah dewasa, ia tinggalkan dongeng itu. Kenapa? Ya, karena dongengnya hanya sekedar untuk pengantar tidur.

Baca juga  Ketika Seorang Menteri Tinggal di Rumah Kontrakan

Jadi, apa yang harus kita lakukan jika ingatan-kolektif sudah terbentuk? Bukan berarti “cerita lama” dinarasikan kembali dengan cara yang berbeda. Cerita lama harus dirajut dengan “cerita baru”. Cerita lama harus dianalisis dengan perspektif baru, sehingga kita bisa membangun “cerita baru”, sebuah cerita dengan lakon diri-kita sendiri pada waktu yang sama. Itulah “kesinambungan sejarah” cerita.

Atau, jika kita ingin radikal, cerita lama diubah dengan cerita yang benar-benar baru! Dan itu berarti “perubahan sejarah” cerita.

Saya sangat mengagumi Natsir. Namun demikian, sebagai pelanjut Natsir, dengan membawa semangat Natsir, hari ini _we should make our own history_. Dan biarlah hari esok yang menentukan, apakah ikhtiar kita ini layak ditulis dalam tinta emas sejarah—sebagaimana dulu pernah Natsir dapatkan—ataukah tidak. Mari kita berjudi dengan waktu: Apakah pilihan terbaik pada masa lampau akan juga menjadi pilihan terbaik pada hari ini? Ataukah justru sebaliknya?
Mari kita kembali pada cerita Mosi Integral Natsir. Saya mengajak, cukuplah kita “ulang-ulang” jasa Natsir terhadap umat dan bangsa ini secara proporsional. Kecuali ada fakta baru yang memang belum terungkap. Maka fakta-baru itulah yang kemudian diungkapkan, tanpa bumbu cerita lama yang telah diketahui banyak orang. Yang lebih penting, mari kita analisis apa yang Natsir lakukan itu dengan perspektif baru—yakni perspektif yang kita bangun sendiri, dengan melihat tantangan yang kita hadapi hari ini.

Baca juga  CEO BukaLapak Bongkar Rahasia Kesuksesannya

Dalam kaitan inilah, saya ingin mengelaborasi Mosi Integral Natsir melalui konteks historis _geopolitics_ pada waktu itu. Ini dimaksudkan untuk membuka cakrawala politik kita, melihat secara geografik yang disebut Indonesia ini luas dengan sekat kepulauan yang besar dan terutama kecil—yang sangat banyak.

Yang juga penting untuk dianalisis dari Mosi Integral ini, sebagai tindak-lanjut dari pemetaan _geopolitics_, adalah masalah budaya-politik. Teori _civil-politics_ sebagai antithesis dari budaya politik primordial ( _primordial sentiments_ ) penting diketengahkan. Ini untuk _awareness_ kita terkait heterogenitas masyarakat Indonesia, terutama dalam kaitan budaya politiknya. Dan tentu saja, sebagai konsekuensi dari _civil-politics_ adalah pendidikan kewargaan ( _civic-education_ ).

Belajar dari Mosi Integral Natsir, maka kita harus menularkan pengajaran yang sangat berharga ini sebagai bagian dari pendidikan kewargaan. _A good Muslim will be a good citizen_.

*) Anggota Dewan Tafkir PP Persis
_The Eagle Always Flies Alone_
Merdeka-Grt, 010419

Comments

comments