Menghentikan Kehadiran dan Peredaran Buku Bermasalah

Masyarakat Indonesia kembali digegerkan dengan buku bermasalah. Kali ini bermula dari potongan halaman sebuah buku cerita anak yang berjudul “Aku Berani Tidur Sendiri” di media sosial. Buku terbitan PT Tiga Serangkai tersebut mengandung konten pornografi mengenai masturbasi. Seperti kejadian-kejadian serupa sebelumnya, buku tersebut menuai kritik dari masyarakat, dan pihak yang menerbitkan buku tersebut pun segera melakukan klarifikasi dan meminta maaf serta menarik buku tersebut dari peredaran.

Penerbit Tiga Ananda, yang merupakan anak perusahaan Tiga Serangkai, yang menerbitkan buku berjudul ‘Aku Berani Tidur Sendiri’ itu pun meminta maaf kepada publik. (www.detik.com/ 21/2/2017)

Menanggapi hal itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, pihaknya tengah menyelidiki terkait penerbitan buku tersebut. “Sedang saya suruh tim Kemdikbud untuk menyelidiki motif pembuatan itu. Kalau itu memang pelanggaran yang disengaja, akan kita tindak,” kata Muhadjir di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (27/2/2017). (www.okezone.com/ 27/2/2017)

Kecolongan akan konten buku yang bermasalah tersebut sebenarnya bukan terjadi kali ini saja. Awal tahun 2017 ini pun publik dihebohkan dengan adanya gambar palu arit dalam buku Kisi-kisi Ujian Nasional (UN) Pelajaran Bahasa Inggris untuk SMA/MA. Pada tahun 2016 yang lalu konten buku-buku yang bermasalah juga ditemukan. Sebagai contoh ada buku pelajaran yang memuat kesalahan dalam urutan nabi, yakni Nabi Muhammad menjadi nabi urutan ke-13. Kemudian ditemukan juga buku pelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan untuk kelas V sekolah dasar (SD) yang mengandung konten dewasa di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Tidak kalah menghebohkan dengan itu, sebuah buku pelajaran PAI kelas 1 SD yang terjadi di Majalengka terdapat konten nama Nabi Zahra. Dan permasalahan konten buku-buku lainnya yang terjadi secara silih berganti dari waktu ke waktu.

Walaupun di negeri kita sudah ada peraturan berkaitan dengan buku, seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan, namun itu ternyata belum bisa mengatasi permasalahan perbukuan yang ada. Bahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Perbukuan yang saat ini sedang digodog oleh Komisi X DPR-RI pun nampaknya belum bisa menjadi solusi permasalahan perbukuan Indonesia yang kompleks.

Peraturan bahwa setiap bahan pelajaran itu harus melalui pemeriksaan dari Pusat Perbukuan, Badan Perlindungan dan Pengembangan Kemendikbud, tidak serta merta menjadikan buku-buku yang diterbitkan sesuai dengan harapan. Bahkan Buku Sekolah Elektronik Kurikulum 2013 milik Kemendikbud pun terdapat banyak kesalahan. Sebagai contoh, dalam buku pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan kelas XI, cetakan ke-1 tahun 2014, pada bab “Memahami Dampak Seks Bebas” ditemukan materi tentang “Gaya Pacaran Sehat” yang dilengkapi dengan tips dan panduan pacaran yang aman disertai ilustrasi sepasang remaja dengan atribut pakaian khas umat Islam.

Hal tersebut menandakan pemerintah tidak serius dalam menjaga akidah, pemikiran dan kepribadian rakyatnya. Bagaimana mungkin siswa menjadi pribadi yang berkarakter positif dan menguasai ilmu yang benar, apabila buku sebagai sumber belajar memiliki konten yang tidak sejalan dengan itu. Karena itu, sudah seharusnya negara membuat kebijakan yang menunjang terhadap tercapainya tujuan pendidikan dan melakukan pengawasan yang ketat terkait dengan peredaran buku di masyarakat.

Lalu bagaimana pengaturan dan pengawasan yang efektif berkaitan dengan penerbitan buku tersebut?

Sejatinya, negara harus menjadikan Islam sebagai pedoman dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam pengurusan sistem perbukuan, yaitu melakukan tugas dan fungsinya sebagai pengurus urusan rakyat dengan memonitor isi buku yang beredar di tengah-tengah masyarakat secara umum, dan di lembaga pendidikan secara khusus. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar isi buku tersebut sesuai dengan peraturan Islam dan agar tidak merusak pemikiran, perasaan, sistem dan interaksi di tengah-tengah masyarakat.

Dalam sejarah kejayaan Islam, negara membebaskan warganya untuk menerbitkan buku tanpa harus ada izin apapun. Meski demikian, jika ada diantara mereka yang menerbitkan atau mengedarkan buku yang dapat menghancurkan dasar negara, yaitu akidah dan pandangan hidup Islam, maka akan dijatuhi sanksi. Hal ini akan berpengaruh pada ketelitian dan kehati-hatian proses penulisan dan penerbitan buku yang dilakukan oleh penulis dan penerbit.

Setelah seorang penulis dipandang layak membuat sebuah karya berupa buku hasil pemikirannya, maka ia harus terlebih dahulu mempresentasikan isi bukunya tersebut kepada publik. Buku tersebut harus lolos uji kelayakan, baik dari segi konten dan orisinalitas.

Dari segi konten, buku tersebut tidak mengajarkan pemikiran yang bertentangan dengan Islam dan harus sesuai dengan segmentasi usia pembacanya. Dengan langkah ini, maka buku yang bertentangan dengan peraturan dan norma yang berlaku pasti akan tertolak (tidak diterbitkan). Kelayakan dari aspek konten ini juga mencakup bahasa dan kegrafikaan. Sedangkan dari segi orisinalitas, buku tersebut bukan jiplakan atas hasil karya orang lain. Dengan demikian, hasil karya yang dihasilkan betul-betul merupakan buah pemikiran penulisnya.

Setelah lolos dan dinilai layak, maka buku itu bisa diterbitkan dan diedarkan di tengah-tengah masyarakat. Bagi penulis buku, maka negara akan memberikan reward. Pada masa kekhilafahan Islam, negara memberikan penghargaan yang sangat besar bagi penulis buku berupa imbalan emas seberat buku yang telah dibuat.

Namun apabila konten buku tersebut bertentangan dengan Islam, atau ada unsur-unsur yang merusak akidah, menyerang Islam dan kaum muslimin atau kehormatan orang tertentu, maka negara melarang peredaran buku tersebut. Sedangkan orang yang menyatakan, menulis, menerbitkan dan mengedarkan buku yang seperti itu akan dikenai sanksi sesuai yang telah ditetapkan kadarnya oleh syariah. Adapun jenis sanksinya disesuaikan dengan kategori kesalahannya.

Misalnya, apabila isi buku tersebut berisi tuduhan terhadap orang atau pihak lain dan si penulis tidak mampu membuktikan tuduhannya, maka sanksinya adalah sama dengan hukuman melakukan tuduhan palsu. Contoh lainnya jika buku tersebut menyebarkan pornografi, maka penulisnya akan dikenakan sanksi ta’zir semisal penjara atau cambuk. Sanksi ini juga berlaku bagi penerbit atau pengedarnya.

Dengan ketentuan seperti ini, maka kehadiran dan peredaran buku-buku yang bermasalah akan dapat dihentikan, sehingga buku-buku pendidikan (dan tentunya buku-buku secara umum) yang dibaca oleh masyarakat akan aman, yang pada akhirnya pemikiran, akidah dan kepribadian rakyat akan terjaga dari kerusakan atau penyimpangan.

Zayd Sayfullah

Comments

comments