Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Dari pasangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah, ulama pembaru Islam di Minangkabau yang akrab dipanggil dengan sebutan Haji Rasul dan Siti Safiyah, berasal dari keturunan seniman di Minangkabau. Hamka sendiri anak pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan dari keluarga seorang ulama terkenal dan seorang pelapor gerakan pembaruan/modernis dalam gerakan islah (tajdid ) di Minangkabau.
Nama Hamka sendiri merupakan akronim dari namanya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, sedangkan sebutan Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau. Kata Buya sebenarnya berasal dari kita Abi atau Abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau orang yang dihormati.
Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang kokoh pada pendirian dari sang ayah yang dikenal sebagai ulama pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, serta salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan yang membawa reformasi Islam (kaum muda).
Jika para tokoh biasanya menimba ilmu di sekolah formal dengan bertahun-tahun, tidak demikian halnya dengan Hamka. Pendidikan formal yang ditempuhnya hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar Maninjau. Saat usianya menginjak 10 tahun, Hamka lebih memilih untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang panjang, sekolah Islam yang didirkan ayahnya.
Di sekolah itu, Hamka mulai serius memperlajari agama Islam serta bahasa Arab. Sejak kecil Hamka memang dikenal sebagai anak yang haus akan ilmu dan seorang anak otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.
Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Taynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soejopranoto, Haji Facrudin, , AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Padan tahun 1924, Hamka yang ketika itu masih remaja sempat berkunjung ke Pulau Jawa. Di sana ia banyak menimba ilmu pada pemimpin gerakan Islam Indonesia diantaranya Haji Omar Said Chokroaminoto, Haji Fakharudin, Hadi Kesumo bahkan pada Rashid Sultan Mansur yang merupakan saudara iparnya sendiri.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1958, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Pada tahun 1975- 1985 Hamka diamanahkan sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai ketua MUI. Beliau berusaha melaksanakan tugas berat ini dengan baik dan konsisten dalam membimbing dan menuntun umat Indonesia. Hamka menyadari bahwa dalam menyampaikan kebenaran akan menghadapi berbagai tantangan dan rintangan termasuk dari penguasa orde baru pada waktu. Fatwa MUI yang penting lahir pada masanya adalah Fatwa “Haram Natal Bersama” dalam menyelamatkan aqidah umat. Dengan adanya fatwa ini, penguasa tidak setuju dan merasa terganggu serta meminta fatwa ini dicabut lagi, namun Hamka tidak bergeming sekalipun mendapat ancaman dari penguasa. Akhirnya, beliau rela melepaskan jabatannya sebagai ketua MUI karena ketegasan dan ketegaran prinsip dirinya.
Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, dan editor. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah, dan Merantau ke Deli.
Setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua MUI, kesehatan Buya Hamka memburuk. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarganya, ia diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.
Buya Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pada usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir dihadiri Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan Hidup Emil Salim serta Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam salat jenazahnya. Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung dan disalatkan lagi, dan kemudian akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Sumber: dari berbagai sumber