Oleh: Syafei Al-Bantanie.
Bila kita menginginkan kemuliaan, maka harus berani menantang ketidaknyamanan. Lihatlah Musa ‘Alaihissalam. Demi kemuliaan di sisi Allah, Ia tinggalkan kenyamanan negeri Madyan. Melepaskan hidup tentram bersama mertua, Nabi Syuaib, yang sabar dan penyantun. Melupakan asyiknya menggembala dan berkebun.
Musa bawa serta istrinya pergi menuju Mesir menantang ketidaknyamanan. Temui Fir’aun dan mendakwahinya. Datang ke Mesir untuk selamatkan kaumnya. Risikonya tak tanggung-tanggung. Hingga Allah memutuskan untuk dirinya; syahid dalam dakwah atau memenangkan dakwah.
Demikianlah rekam jejak orang-orang yang memilih kemuliaan. Ada yang syahid dalam dakwah layaknya Nabi Zakaria dan Nabi Yahya. Ada pula yang dimenangkan oleh Allah layaknya Nabi Musa dan Nabi Daud. Pun dengan generasi jauh setelahnya. Sebut saja sebagai contoh Sayidina Umar bin Khathab, Umar bin Abdul Aziz, Thariq bin Ziyad, Muhammad Al-Fatih.
Nama mereka ditulis dalam sejarah dengan tinta emas bukan karena berleha-leha dan menikmati hidup untuk dirinya. Mereka adalah orang-orang yang mengambil tanggung jawab atas setiap masalah umat. Mereka marah saat yang lain memaklumi. Mereka sedih ketika yang lain tak ada rasa. Mereka lelah dengan kelelahan yang tak biasa. Mereka terus berkarya saat yang lain terlena. Tapi, di situlah letak kemuliaan mereka. Maka, pantas saja Allah sematkan amanah-amanah besar ke pundak mereka.
Lantas, bagaimana dengan kita? Masih memilih berleha-leha dan menikmati hidup untuk diri sendiri?