Ada banyak perbedaan karakter antara bom di Indonesia dengan bom di luar negeri. Diantaranya, bom di luar negeri dilakukan dengan bahan dan teknologi canggih (C4), sedangkan bom di Indonesia menggunakan teknologi sederhana (ransel, panci, dll). Jika hal ini benar, sedikit banyak bisa mengkonfirmasi mengapa pejuang Indonesia yang hanya berbekal bambu runcing mampu mengalahkan tentara Belanda yang bersenjatakan meriam. Selain berbagai kisah perjuangan yang berbau karomah dikalangan pesantren maupun berbau mistis di kalangan abangan.
Hal lain (yang ini agak serius), yakni masalah klaim dan tuntutan. Di luar negeri, pelaku teror biasanya akan memberikan statemen atas aksinya. Bisa protes, balas dendam maupun tuntutan tertentu. Mereka menampakkan diri secara nyata, meski gerakannya rahasia. Terkadang satu aksi teror sampai diklaim oleh beberapa pihak. Sedang di Indonesia tidak ada hal serupa. Ada bom atau teror, tapi tidak ada yang mengklaim, tentang apa tujuan, maksud dan motifnya. Gerakannya juga rahasia, tapi mereka menampakkan diri dengan meninggalkan berbagai jejak yang akurat dan valid, seperti kartu identitas hingga struk dan kuitansi. Kalah profesional dari maling kelas teri atau buzzer medsos.
Usai Pilkada Jakarta, ada pihak yang memaknainya sebagai kemenangan kelompok Islam yang radikal dan intoleran. Harus dipahami, bahwa ada pihak yang membagi umat Islam berdasarkan selera mereka sendiri, bukan berdasarkan fakta di lapangan, dalil agama maupun data valid. Kelompok Islam yang tidak mau mengikuti agenda mereka dicap radikal dan intoleran. Tak peduli sikapnya santun, taat beribadah dan banyak berkontribusi untuk membangun negeri. Kelompok yang sepaham dengan mereka akan dilabeli sebagai Islam damai dan toleran. Tak peduli bicaranya kasar dan keyakinannya bertentangan dengan Islam. Teror bom terbaru di Jakarta bisa kita gunakan untuk mengkonter isu tersebut.
Pertama, Dari Segi Pelaku
Siapa pelakunya serangan bom dan siapakah dalangnya? Anggaplah, mereka dari kelompok Islam sebagaimana tuduhan aparat intelijen, lalu dari kelompok Islam yang mana? Haqqul Yaqin, mereka jelas bukan dari kelompok Muhamadiyah, PKS, FPI, HTI, Persis, Masyumi dll. BNPT biasanya akan menjawabnya sebagai ulah jaringan ISIS, dr Azhari, Abu Bakar Ba’asyir, Santoso dll. Sekali lagi, katakanlah hal itu benar adanya, maka hal ini pun sudah cukup mematahkan argumentasi kelompok liberal, pluralis dan kelompok yang serupa dengannya. Yakni tentang kemenangan paslon nomor 3 sebagai perwujudan dari bangkitnya kelompok Islam radikal dan intoleran.
Kedua, Dari Segi Motif
Apa motif dibalik perilaku teror yang mereka lakukan? Sederhananya, teror bom biasanya dimaksudkan untuk menyebarkan aura ketakutan, ketidakpercayaan terhadap pemerintah maupun memicu reaksi berantai. Namun pasti ada tujuan lebih spesifik, seperti balas dendam, tebusan dana, konsesi politik maupun tuntutan khusus lainnya. Sangat jarang kita dapatkan teror bom hanya bermotif kesenangan semata sebagaimana yang dilakukan oleh Joker (dalam film The Dark Knight). Kita tidak mendapatkan rilis resmi yang jelas, valid dan terverifikasi tentang motif teror bom. Bandingkan dengan tuntutan dari GNPF MUI yang sangat jelas dan terang, yakni untuk memenjarakan penista agama.
Ketiga, Dari Segi Strategi
Aksi teror dan penggunaan kekerasan biasanya dilakukan oleh beberapa pihak, misalnya: orang yang berputus asa dan tidak memiliki saluran perjuangan yang formal, kelompok minoritas yang ingin menunjukkan eksistensi atau juga pihak yang kuat untuk menunjukkan dominasi dan supremasi. Mereka mengabaikan aturan, tidak percaya dengan kinerja institusi formal serta ingin memaksakan kehendak. Bandingkan dengan perjuangan dari GNPF MUI yang menggunakan logika-logika konstitusi dan sistem hukum positif yang dalam memperjuangkan aspirasinya. Unjuk rasa yang digelarnya pun cenderung damai dan simpatik. Karena itu, tuduhan sebagai kelompok radikal dan intoleran kepada mereka jelas salah alamat.
Khatimah
Tragedi bom dan serangan teror, bagaimanapun juga adalah tindakan yang tidak baik. Perbuatannya mesti dikutuk, motifnya perlu diinvestigasi, pahamnya mesti dikoreksi dan pelakunya perlu direhabilitasi. Namun ada hal yang lebih parah, yakni para penumpang gelap yang ingin menunggangi isu terorisme demi kepentingannya sendiri. Dari melempar fitnah tanpa dasar hingga mencari proyek untuk program deradikalisasi. Untuk mencari tersangka utama atau dalang, aparatur intelijen biasanya akan mencari bukti-bukti di lapangan, serta mencari “siapa pihak yang paling diuntungkan dari kejadian tersebut”. Mungkin, hal itu juga bisa dipakai untuk menangani kasus-kasus teror di Indonesia.
Eko Jun