Salah satu isu panas yang tengah hangat dimedsos adalah kabar seputar keinginan Bareskrim Polri yang akan mengusut penyumbang aksi 212. Spontan hal ini membuat publik bereaksi dan menjadi diskursus yang luas di medsos. Kami sendiri agak bingung dengan situasi ini, setidaknya karena beberapa sebab :
Pertama, status uang yang akan diperiksa. Biasanya, penyelenggara negara (BPK, KPK dll) hanya bisa masuk untuk mengaudit jika sumbernya berasal dari uang negara. Kalau sumbernya berasal dari pihak swasta, maka mereka tidak bisa masuk, karena tidak ada unsur kerugian negara di dalamnya. Terhadap tudingan seputar TPPU, ini juga agak absurd. Dengan cara apa dan bagaimana mereka mencuci uangnya dalam aksi 212? Apa return secara ekonomi yang bisa mereka dapatkan sebagaimana pola umum yang tersaji dalam TPPU? Karena aksi 212 senyatanya bukanlah proyek investasi ekonomi.
Kedua, sifat dan karakter uang. Sebenarnya, uang dan harta itu punya sifat-sifat tertentu. Jika pasal yang dikenakan seputar TPPU, maka bisa diasumsikan bahwa uang tersebut sebagai uang haram (hasil tindak pidana). Uang haram itu sifatnya panas dan cenderung menyeret pemiliknya untuk bermaksiat. Hampir mustahil ada orang korupsi, lalu hasilnya digunakan untuk urusan kebaikan (membangun masjid, membiayai perjuangan, menyumbang fakir miskin dll), meskipun hal itu bisa saja terjadi. Yang lumrah, seorang kriminal akan menghabiskan uang hasil kejahatannya ditempat-tempat maksiat dan untuk urusan yang penuh dosa. Karena uang dan harta memang memiliki tabiatnya sendiri-sendiri.
Ketiga, penggunaan uang. Terhadap tuduhan bahwa dana digunakan untuk mensupport kelompok-kelompok teroris dan ekstrimis, maka hal itu silahkan saja diusut lebih lanjut. Pakai kaidah follow the money saja. Namun agar tidak bias dan ambigu, perlu juga disepakati beragam definisinya di awal. Supaya timbangan dan alat ukurnya konsisten. Menyumbang daerah yang terkena bencana atau daerah yang mengalami krisis kemanusiaan, itu sudah jamak dilakukan, baik oleh negara maupun swasta. Indonesia banyak menyumbang, sebagaimana Indonesia juga banyak disumbang. Namun supaya lebih puas, boleh-boleh saja aliran dana yang dirasa “mencurigakan” untuk ditelusuri. Ndak apa-apa.
Keempat, potensi TPPU (jika benar ada) mungkin adalah program-program keummatan yang digagas oleh alumni 212. Misalnya pendirian koperasi 212, pengusaha 212 dan juga pertokoan 212. Artinya, dana yang ada memang digunakan untuk usaha yang produktif dan menghasilkan keuntungan. Logika sederhana TPPU adalah, ada dana haram lalu disamarkan (disumbangkan atau dititipkan) ke pihak lain, digunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sifatnya legal. Nantinya dia dapat keuntungan dari usaha yang legal itu. Jika benar pasal TPPU mau digunakan, pintu masuknya ya dari poin ini. Hanya saja, pertanyaan mendasar yang tetap harus dijawab oleh pihak berwenang adalah “Darimana mereka mengetahui bahwa dana sumbangan umat ini berasal dari tindak kejahatan?”.
Kelima, perlakuan yang adil. Jika terhadap dana yang seperti ini, pihak berwenang tetap bisa masuk, maka seyogyanya pihak berwenang juga seharusnya bisa masuk terhadap aliran dana “mencurigakan” yang ada dikelompok lain. Entah berasal dari uang negara, sumbangan pihak swasta atau bahkan support dari luar negeri. Jika hanya dana aksi 212 saja yang diurus, sudah pasti pihak berwenang akan mendapatkan stampel negatif dari masyarakat. Karena mereka merasa bahwa dana perjuangan itu memang berasal dari kantong umat alias sunduquna juyubuna. Berbuat adilah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Wallahu a’lam.
Eko Jun