Kebenaran itu bisa disampaikan dengan banyak cara. Dengan isyarat, pembuktian ilmiah, mau’izhah hasanah maupun debat. Al Qur’an menghadirkan beberapa kisah dramatis tentang bagaimana seni menyingkap kebenaran. Yakni dengan cara kolosal, di hadapan banyak orang. Pertaruhannya memang sangat besar, sehingga tidak semua orang mau melakukannya atau meladeninya. Diantaranya:
Pertama, Nabi Ibrahim
Beliau ingin membuktikan bahwa berhala yang disembah oleh kaumnya itu salah. Dia juga ingin membuktikan bahwa menyembah raja sebagai tuhan itu sesuatu yang salah. Berdebat dengan orang biasa tentu tidak banyak memberikan efek. Karena itu, beliau mengatur siasat jitu agar dirinya bisa berdebat secara terbuka dihadapan kaumnya, melawan orang yang berpengaruh. Dia membuat siasat yakni menghancurkan berhala, disisakan satu yang paling besar.
Cerita selanjutnya tentu kita paham. Raja Namrudz mati kutu berdebat dengan Nabi Ibrahim yang berilmu. Dari debat tentang ketuhanan dirinya maupun tentang penyembahan berhala. Dan hal itu terjadi di hadapan rakyatnya. Sayang, saat itu Nabi Ibrahim masih seorang diri. Belum menyiapkan kaum yang akan membelanya. Mukjizatpun datang diakhir, yakni saat Raja Namrudz memerintahkan untuk membakarnya demi menebus rasa malunya karna kalah debat di hadapan rakyatnya.
Kedua, Nabi Musa
Beliau ingin membebaskan kaumnya dari perbudakan serta menjelaskan siapa Dzat yang semestinya dijadikan Tuhan kepada Raja Fir’aun. Beliau datang tanpa siasat dan rencana sebagaimana Nabi Ibrahim. Tetapi beliau datang membawa teman (Nabi Harun) dan mukjizat yang nyata (dari tangan yang bersinar hingga tongkat yang berubah menjadi ular). Perdebatan terbuka disajikan dihadapan para pembesar dan pengikut Fir’aun, termasuk tukang sihirnya. Dan posisi Raja Fir’aun adalah sebagai shahibul bait.
Meski awalnya tidak cukup pede, tapi Nabi Musa ternyata cukup lihai berdebat melawan Raja Fir’aun. Senjata yang dibawanya juga sesuai dengan lawan yang akan dihadapinya, yakni tukang sihir. Dengan hujjah yang nyata, sebagian pengikut Raja Fir’aun (tukang sihir) berpindah ke kubunya Nabi Musa. Dengan superioritas mukjizat yang dibawanya (10 azab), Raja Fir’aun tidak kuasa untuk menghukum Nabi Musa sebagaimana yang terjadi pada kisah Nabi Ibrahim. Bahkan Nabi Musa dipersilahkan pergi dari Mesir dengan membawa kaumnya.
Ketiga, Kisah Ashabul Ukhdud
Seorang pemuda yang beriman dalam kisah ashabul ukhdud, memiliki keinginan untuk mengimankan kaumnya. Setelah dua kali percobaan pembunuhan terhadap dirinya gagal total (dilempar dari puncak gunung dan dilempar di tengah laut), maka pemuda ini menyusun sebuah rencana jitu. Sebuah rencana yang akan menjadikan dirinya sebagai syuhada, martir sekaligus bukti nyata dari dakwah yang selama ini diserukannya. Yap, rencana tentang bagaimana cara kaumnya agar bisa membunuh dirinya.
Dia minta agar seluruh kaumnya bisa melihat aksinya. Lalu, dia berikan petunjuk kepada pemanah yang menjadi eksekutor “Dengan nama tuhannya pemuda ini”. Pemuda itupun syahid, keimanan kaumnya yang menuhankan rajanya hancur total, berganti menjadi keimanan kepada tuhannya pemuda tersebut. Keimanannya sangat teguh, hingga mereka memilih masuk ke dalam parit berisi api ketimbang harus kembali kepada kepercayaannya terdahulu. Seteguh keimanan tukang sihir Fir’aun yang memilih untuk disiksa ketimbang harus kembali menyembah Fir’aun.
Khatimah
Kemampuan seorang pesilat akan sangat terlihat dalam pertarungan versi tangan kosong. Demikian pula kapasitas seseorang juga akan terpancar dalam kondisi yang sebenarnya dan tanpa manipulasi dalam perdebatan secara langsung versi tangan kosong. Tanpa syaikh google, tanpa kitab, tanpa laptop dan tablet. Hanya ada handycam atau camcorder yang akan terus menerus merekam segala ucapan dan gestur para pembicara. Tidak ada ruang untuk menulis “wkwkw, ha.ha.ha atau emoticon semu untuk menutupi rasa malu dan bingung.
Segala sesuatu memang butuh seni. Banyaknya dalil membuat kita memiliki pilihan-pilihan untuk meramu strategi menghadirkan kebenaran. Boleh kita menasehati secara diam-diam di ruang tertutup. Namun jika kondisinya memaksa, boleh juga kita menghadirkannya di ruang publik dan diekspos secara terbuka. Tinggal pintar-pintarnya kita menimbang situasi dan mengukur diri. Sebagaimana jargon klise “Negara tidak boleh kalah”, maka para pecinta kebenaran seharusnya juga harus punya prinsip teguh “Kebenaran tidak boleh kalah“. Wallahu a’lam.
Eko Jun