Oleh: Erwyn Kurniawan.
Andai Burung Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara kita hidup, bisa jadi air mata sedang menganak sungai di kedua kelopaknya. Sedih, menyaksikan pemandangan menyayat hati.
Ada lima sila dalam Pancasila. Kini, semuanya secara sempurna sudah tercabik-cabik. Hampir tiada yang tersisa.
Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Usaha sekularisasi dan liberalisasi begitu nyata. Agama dicampakkan. Hanya sebatas jargon. Produk Rancangan Undang-Undang menjauhkan nilai-nilai agama. Sebut saja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Belum lagi propaganda jahat yang menista agama.
Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hari ini harga nyawa rakyat Indonesia semakin murah. Bahkan tak ada harganya. Aksi kekerasan terjadi di mana-mana. Nyaris setiap hari. Pembantaian dan pembunuhan sadis tak lagi jadi barang langka. Korbannya orang-orang tak berdosa. Negeri ini jadi beringas. Tak lagi beradab.
Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Masih layakkah kita melantangkan ini? Di Wamena, orang masih bernyawa dibakar hidup-hidup. Arus pengungsian membesar. Sementara itu, opini-opini adu domba tersaji setiap saat. Memecah-belah antar suku, ras, golongan, bahkan agama.
Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Kian jarang persoalan-persoalan bangsa dan negara diselesaikan dengan hikmah kebijaksanaan.
Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Masih tersediakah keadilan? Hukum tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah.
Karena itu, saya tak begitu yakin hari ini Pancasila masih sakti. Bisa jadi Sang Burung Garuda Pancasila sedang menangis terisak, menahan derita atas kesakitan yang melandanya.
Meski demikian, kita tetap patut memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Agar para pemimpin menyadari kekeliruannya dan mengayomi rakyat. Sehingga kesakitan segera sirna. Agar air mata tak lagi menetes dari kelopak Sang Burung Garuda Pancasila.