Dilematis betul keseharian guru dalam melaksanakan tugasnya, terutama pada daerah dengan tingkat kedewasaan dan kematangan sosial masyarakat yang rendah. Baru-baru ini publik pendidikan Indonesia sering dikejutkan dengan kriminalisasi guru dalam menjalankan tugas pendidikannya. Entah karena orangtua yang sudah tak lagi percaya pada guru atau sekolah, atau karena memang orang tua yang terlalu buta dalam menyayangi anaknya.
Mari kita tengok dua kasus sebagai fenomena gunung es kriminalisasi guru. Pertama, kasus Samhudi, salah seorang guru di Sidoarjo yang harus merasakan ketok palu pengadilan yang memvonis pidana percobaan selama 6 bulan masa percobaan lantaran orang tua siswa tidak menerima tindakan yang menghukum anaknya. Kedua kasus Dahrul, seorang guru SMKN 2 Makassar dipukul oleh orang tua murid karena tidak terima anaknya “dianiaya” oleh Dahrul. Belum lagi kasus dipelosok-pelosok yang kadarnya bisa jadi lebih ekstrim diantara dua kasus diatas. Lantas pertanyaannya kenapa
Perubahan nilai dan cara pandang masyarakat terhadap anak dan sekolah ditengarai sebagai biang keladi kekisruhan hubungan orang tua dengan sekolah. Pergeseran nilai tersebut menyebabkan orang tua yang dahulu berdiri dibelakang guru dan sekolah, berubah menjadi berdiri berhadapan dengan guru dan sekolah. Mengambil posisi lawan dari pada kawan, dan memilih menyelesaikan persoalan dengan perseteruan dari pada permusyawaratan.
Persoalan kecil yang masih berhubungan dengan tugas pendidik seoarang guru, seperti memotong rambut siswa yang gondrong, menyobek pakaian siswa yang dianggap melanggar ketentuan, berlari-lari keliling lapangan bagi siswa terlambat, menjewer telinga siswa yang tidak menyimak pelajaran dan lainnya, saat ini oleh orangtua dianggap sebagai tindakan tercela. Anehnya orang tua lebih suka mengevaluasi gurunya dari pada mengevaluasi dirinya dan anaknya.
Guru dan Ilustrasi Kopi
Menarik membaca ilustrasi kopi, dari Akhmad Syaekhu (http://www.hukumpedia.com/). Secangkir kopi terdiri dari tiga hal. Kopi itu sendiri, gula dan rasa. Dalam cerita ini bayangkan demikian; Kopi adalah Orang tua/wali. Gula adalah Guru dan rasa adalah representasi siswa.
Jika kopi terlalu pahit, Siapa yang disalahkan? Gula lah yg di salahkan karena terlalu sedikit hingga “rasa” kopi pahit. Kurang nendang.
Jika kopi terlalu manis, Siapa pula yang di salahkan? Lagi-lagi gula karena terlalu banyak hingga “Rasa” kopi terlalu manis.
Terakhir, Jika takaran kopi & gula pas, sehingga menghasilkan rasa yang mantap. Siapa yg di puji? Semua sepakat berkata Kopinya jos.
Lalu Kemana gula yg mempunyai andil membuat “rasa” kopi menjadi mantap?
Itulah guru yg ketika, “rasa” (siswa) terlalu manis (menyebabkan diabet) atau terlalu pahit (bermasalah) akan dipersalahkan.
Tetapi ketika “rasa” mantap atau berprestasi maka orang tualah yang akan menepuk dadanya, “Anak siapa dulu.”
Ilustrasi di atas memberikan gambaran pada kita bahwa bangsa kita lebih banyak menempatkan guru sebagai biang persoalan di sekolah, daripada sebagai potensi yang perlu kita kelola dan apresiasi serta tidak melupakannya di tengah-tengah lautan prestasi yang dicapai oleh siswa dan sekolah.
Menyeimbangan tuntutan dengan kepercayaan orang tua
Membebankan persoalan hubungan orang tua dengan guru/sekolah pada lembaga pemerintah, hanya akan menguatkan sikap arogansi individu dan lebih menutup ruang kesadaran warga negaranya untuk aktif dalam memajukan serta merasa memiliki pendidikan. Kita tahu persoalan pendidikan selain anggaran, kurikulum, kompetensi guru, manajemen kepala sekolah juga karena persoalan keterlibatan masyarakat (Include orang tua) yang masih abu-abu.
Keberadaan komite sekolah yang awalnya dimaksudkan untuk menjadi mitra/jembatan keterlibatan masyarakat terhadap sekolah, kenyataannya hari ini masih sebatas nama yang terukir indah dalam struktur sekolah. Sedang peran utamanya masih belum terlaksana secara maksimal. Lebih miris lagi komite baru terlihat aktifnya saat ada pencairan dan penggunaan anggaran. Selain dari area tersebut, komite sekolah masih belum menunjukan perannya.
Untuk itu perlu ada formula tentang hubungan orangtua dengan guru dan sekolah melalui keberadaan komite sekolah. Formula tersebut harus mampu memperpendek jarak tentang aturan dan aktivitas yang berlaku di sekolah. Sebaliknya jika ada kekecewaan orang tua siswa terhadap sekolah dan guru, selayaknya dilakukan dengan jalan yang mendidik pula dengan alur proses yang jelas dan benar.
Orang tua juga harus memahami bahwa guru memiliki otoritas dalam mendidik siswa yang harus dihargai dan dihormati oleh semua pihak. Bahkan otoritas itu juga harus didukung oleh orangtua siswa sepanjang dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
Kita sepakat bahwa tindak kekerasan di ruang pendidikan tidak boleh kita toleransi dan individu yang melanggarnya harus diberikan tindakan yang dapat memberi efek jera termasuk pada guru yang mempraktikkan kekerasan. Akan tetapi tidak selayaknya persoalan di ruang pendidikan diselesaikan dengan cara-cara yang tidak mendidik. Ada ruang diskusi yang mendidik dan dapat dilakukan oleh sekolah bersama orangtua siswa, termasuk evaluasi guru terhadap siswa, dan siswa terhadap guru.
Kriminalisasi terhadap profesi guru, hanya akan melahirkan masalah-masalah baru dan merugikan masa depan siswa itu sendiri. Tidak menutup kemungkinan, siswa tersebut akan sulit untuk melanjutkan sekolah pada jenjang berikutnya. Hal ini dikarenakan sekolah menolak dan takut untuk menerima siswa yang mengkriminalisasikan gurunya.
Selanjutnya agar guru dan orangtua mampu memahami pentingnya sanksi atau tindakan yang mendidik untuk siswa yang melakukan pelanggaran, perlu kiranya kita melihat kembali nasihat tokoh dan guru pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, yakni untuk guru dalam mendisiplinkan murid yang melakukan kesalahan.
Pertama, hukuman harus selaras dengan kesalahan. Misalnya, kesalahannya memecah kaca hukumnya mengganti kaca yang pecah itu saja. Tidak perlu ada tambahan tempeleng atau hujatan yang menyakitkan hati. Jika datangnya terlambat 5 menit maka pulangnya ditambah 5 menit. Itu namanya selaras. Bukan datang terlambat 5 menit hukumannya mengintari lapangan sekolah 5 kali. Itu bukan hukuman, melainkan penyiksaan.
Kedua, hukuman harus adil. Adil harus berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan membuang perasaan subyektif. Misalnya siswa yang lain membersihkan ruangan kelas kok ada siswa yang hanya duduk–duduk sambil bernyanyi-nyanyi tak ikut bekerja. Maka hukumannya supaya ikut bekerja sesuai dengan teman-temannya dengan waktu ditambah sama dengan keterlambatannya tanpa memandang siswa mana yang melakukannya.
Ketiga, hukuman harus lekas dijatuhkan. Hal ini bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari kesalahannya. Pendidik pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang diperbuat siswa. Dengan harapan siswa segera tahu dan sadar mempersiapkan perbaikannya. Pendidik tidak diperkenankan asal memberi hukuman sehingga siswa bingung menanggapinya.
Akhirnya mari kita kembali pentingnya menyadari dan peduli terhadap pendidikan kita termasuk guru-guru yang menjadi tokoh penting dalam memajukan pendidikan. Persoalan siswa di sekolah tidak serta merta orang tua dengan seenaknya menyalahkan guru. Pun dengan guru tidak serta merta bertindak sekehendak hati dan menutup diri dari masukan orang tua.
Selamat Hari Guru
Hisyam Mansur