Disadari atau tidak, medsos turut andil dalam menyuburkan sikap – sikap fatalistis, fundamentalis dan sinis ditengah masyarakat. Hal ini terjadi baik di kalangan elit maupun awam. Di antara bentuknya adalah mudahnya kita memvonis orang – orang yang tidak sependapat dengan kita. Mulai dari vonis bodoh hingga munafik. Terlebih jika sudah berbicara seputar agama, akan selalu ada kutub ekstrim yakni orang yang cenderung berlebihan hingga cenderung menggampangkan.
Diantara perkara yang sulit untuk dirajut (kembali) adalah masalah ukhuwah, karena menyangkut hati. Karena itu, ada baiknya kita bersikap moderat dalam mensikapi suatu perkara dan tidak grusa – grusu dalam memvonis. Terkecuali untuk perkara yang memang sudah jelas dan terang urusannya, boleh kita bersuara lantang dan bersikap keras, agar bisa jadi panduan dan pegangan pihak lain. Beberapa perkara berikut, semoga bisa menjadi panduan kita bersama :
Pertama, Menahan Diri
Jika kita perhatikan, wahyu Al Qur’an itu rata – rata turun secara cepat, baik untuk menjawab pertanyaan maupun menerangkan suatu hukum. Setelah periode jeda waktu penurunan wahyu Al Qur’an diawal kenabian, kita hanya mendapati 2 kali wahyu Al Qur’an “terlambat turun”. Pertama, saat menjawab pertanyaan titipan dari kaum yahudi madinah tentang ashabul kahfi, dzulqarnain dan ruh. Disini pelajaran lebih bersifat personal pada diri Rasulullah SAW sendiri, yakni agar tidak lupa mengucapkan insya Allah. Kedua, saat menerangkan kejadian haditsul ifki. Disini, pelajarannya lebih luas kepada komunitas muslim secara keseluruhan, yakni menguji kadar keimanan kaum muslimin dan menyingkap tabir kaum munafik.
Orang bijak berkata “Sepandai – pandainya kita membungkus, yang busuk akan berbau juga”. Sehebat – hebatnya kita membuat kebohongan, suatu saat akan terbongkar juga. Berita hoax, pasti akan terdeteksi. Data palsu, pasti akan tercium. Cepat atau lambat, waktu akan memberitakan kondisi yang sebenarnya. Karena itu, jangan kita gegabah untuk men-share, berkomentar atau menghukumi sesuatu yang belum jelas urusannya. Belajarlah menahan diri sebagaimana Al Qur’an memberi jeda waktu kepada kaum muslimin sebelum menjelaskan hakikatnya. Jangan mudah terbawa arus, terbakar provokasi maupun terjerat jebakan. Dalam situasi yang penuh fitnah dan kebenaran tersamar, mereka yang duduk kondisinya lebih baik dari mereka yang berdiri.
Kedua, Berbesar Hati
Saat badai fitnah semakin pekat, kita harus jeli mendefinisikan siapa dan bagaimana peranannya. Jangan pukul rata, bahwa mereka semuanya sama saja. Berita fitnah di Madinah, disebarkan oleh dua golongan. Pertama, kaum munafik dibawah pimpinan Abdulah bin Ubay Salul. Track record-nya memang bermasalah terhadap Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Mereka memprovokasi, memecah belah, menimpakan fitnah, memancing permusuhan dari sejak awal rasulullah hijrah di Madinah hingga wafatnya. Kedua, kaum muslimin seperti halnya Misthah, Hasan bin Tsabit dll. Track recordnya baik, ikut berhijrah dan bahkan ikut berjihad (Badar). Mereka hanya terbawa arus, terpengaruh informasi yang salah dan hanya terlibat dalam satu atau dua isu saja. Kita harus jeli dan teliti mengidentifikasinya.
Sulit dipungkiri, bahwa disebagian kalangan kaum muslimin ada sentimen – sentimen negatif terhadap Islam. Mereka merespon pergerakan umat secara negatif dan memberi label minor kepara para aktivisnya. Sebagian kita biasanya akan mengidentifikasikan mereka sebagai pengikutnya Abdullah bin Ubay Salul. Proses labelling seperti itu cenderung menambah masalah baru, karena membuat mereka semakin jauh dan antipasi terhadap islam. Mungkin hal itu bisa diterima jika ditujukan kepada mereka yang nyata – nyata menunjukkan permusuhan kepada islam, dalam banyak isu dan dalam jangka panjang. Namun jika mereka terlihat masih hijau, kita harus berbesar hati untuk menggolongkan mereka dalam kelompoknya Misthah. Mereka sebenarnya orang shaleh, hanya salah asuhan & salah pergaulan.
Ketiga, Muamalah Positif
Meskipun ayat – ayat yang menyingkap tabir kemunafikan sangat banyak, namun Rasulullah SAW menjaga agar muamalah yang terjadi tetap dalam bingkai positif. Rasulullah SAW melarang Umar yang meminta ijin untuk membunuh Abdullah bin Ubay Salul. Rasulullah SAW hanya membuka list kaum munafik kepada satu orang saja (Hudzaifah) dan memintanya untuk tutup mulut. Rasulullah SAW juga tetap menshalatkan dan mendoakan jenazah Abdullah bin Ubay Salul untuk menghormati permintaan anaknya yang sangat shaleh. Meskipun beliau tahu bahwa permohonan ampunannya untuk gembong munafik itu tidak diterima Allah. Demikian juga dengan Abu Bakar ra, beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang turut menyebar fitnah kepada anaknya (Aisyah Ummul Mukminin).
Sebagian kita, ada senang meng-unfriend mereka yang tidak sepaham dalam isu – isu tertentu. Dalam titik tertentu, hal itu mungkin bisa dibenarkan karena takut terkena fitnah atau goyah keyakinannya. Situasinya sama seperti kemaslahatan yang ingin kita raih saat kita menjauhi teman yang jahat atau ahli bid’ah. Namun, kita jelas akan kehilangan kesempatan untuk memahami olah pikir mereka serta memandang sebuah peristiwa dari perspektif alternatif yang ada dikepala mereka. Justru disitulah kita akan banyak belajar tentang adu argumen hingga melatih kesabaran. Jikapun kita tetap tidak mampu, kita tetap bisa bermuamalah secara positif dengan mereka. Yakni mereka bisa tetap mengakses dan membaca beragam status nasehat dan kebajikan yang kita tulis. Itulah sedekah kita kepada mereka.
Hal jazaa-ul ihsaan, illal ihsaan
Semoga bermanfaat
Eko Jun