Brebes Berebes Mili, Brebes Beberes

Oleh: Purwo Udiutomo, GM Beastudi Indonesia

Lebaran kemarin mudik kah?”, tanya beberapa orang yang baru bertemu denganku paska libur hari raya Idul Fitri. “Yup, ke Brebes, kampung istri…”, jawabku. “Wah, Brebes? Kena macet ga?” Begitulah kira- kira komentar mereka ketika mendengar kata ‘Brebes’. Jika biasanya mudik ke Brebes identik dengan oleh-oleh telor asin atau bawang, sekarang pasti ditanya tentang macet. Kemacetan di ruas tol Brebes tahun ini memang fenomenal, bukan hanya karena panjangnya kemacetan dan lamanya waktu tempuh, kisah meninggalnya belasan pemudik juga kian mencoreng wajah Brebes. Daily Mail, sebuah media massa di Inggris bahkan mengulas peristiwa ini dengan judul yang sensasional: Is this the world’s worst traffic jam? Fifteen motorists die in three days after getting caught in gridlock at Indonesian junction… named BREXIT.

Tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar tentang Brebes, toh penulis juga bukan orang Brebes, apalagi menceritakan kembali pengalaman berebes milinya para pemudik yang tertahan hingga belasan jam. Tulisan ini juga tidak hendak memaparkan fakta bahwa macet di Brebes bukanlah yang terparah di dunia. Hanya saja sebagai orang yang pernah belajar tentang rekayasa sistem penulis agak geregetan aja karena seharusnya banyak hal yang bisa diantisipasi sehingga kemacetan parah yang bahkan menelan korban jiwa tidak perlu terjadi.

Sebenarnya ketika mudik kemarin, kami sekeluarga bisa dibilang tidak kena macet. Alih-alih tinggal lurus keluar tol Brebes, kami malah keluar tol Kanci untuk kemudian putar balik masuk tol dan keluar di gerbang tol Kuningan. Agak memutar memang, belum lagi lebih banyak tikungan dan jalan naik turun, namun lancar. Keputusan putar balik ke Kuningan dilakukan setelah melihat aplikasi GPS navigasi Waze yang menunjukkan bahwa baik ruas tol Brebes maupun jalur pantura macet parah. Memang tak semua pengguna jalan menggunakan aplikasi navigasi yang juga tidak pasti selalu benar. Hanya saja optimalisasi teknologi untuk dapat mengurai kemacetan yang mengiringi mudik perlu mendapat perhatian.

Penulis jadi teringat laporan kerja praktek semasa kuliah dulu yang berisi analisa kelayakan operasional penggunaan kartu layanan tol (yang mungkin sekarang mirip dengan E-Toll) menggunakan teori antrian (queueing theory). Ruas tol Cipali dan Brebes yang belum ada tentu tidak dianalisa saat itu. Analisanya terlalu panjang untuk dirangkum, lebih cepatnya layanan dengan kartu dibandingkan dengan manual juga tidak perlu dibahas disini. Yang jelas, dengan teori antrian, bisa dilakukan forecasting berapa banyak penumpukan kendaraan di gerbang tol dan panjang kemacetan yang terjadi untuk setiap jumlah kedatangan kendaraan tertentu. Tidak hanya itu, teori antrian juga mampu memperlhatkan kebutuhan penambahan gerbang untuk mengatasi kemacetan pada jumlah kedatangan kendaraan tertentu.

Jika laporan kerja praktek saja bisa memberikan simulasi mengenai penumpukan kendaraan yang akan terjadi dengan tingkat kedatangan kendaraan tertentu, bagaimana dengan berbagai kajian dan karya ilmiah dari banyak pakar multi disiplin ilmu yang ada di Indonesia? Bukankah Indonesia tidak kekurangan orang pandai, mengapa belum ada yang berhasil merekayasa sistem lalu lintas yang lebih nyaman bagi para pemudik? Suatu ilmu aplikatif yang tidak diaplikasikan sunguh sangat disayangkan. Lebih jauh lagi, jika dua belas tahun lalu penulis hanya bisa melakukan forecasting, dengan teknologi terkini data yang masuk bisa lebih real time. Tinggal bagaimana melakukan respon cepat dari data yang diterima. Merekayasa traffic, bukan malah terjebak traffic.

Konon, salah satu upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kemacetan mudik tahun ini adalah dengan menerapkan traffic engineering system di wilayah Brebes memanfaatkan teknologi Google. Namun permasalahan sistem bukan hanya bicara tentang perencanaan dan rancangan, implementasi dan optimalisasi sistem lebih kompleks termasuk kesiapan infrastruktur, ketersediaan sumber daya, hingga human error yang mengkin terjadi. Sosialisasi dan komunikasi berbagai tools, produk dan layanan yang penting bagi para pemudik juga tidak kalah penting, tetapi hal ini seolah malah terlupakan. Pengguna jalan seakan kebingungan tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan siapa yang harus dihubungi jika ada kondisi darurat yang tidak diinginkan. Kemandegan informasi akan berbanding lurus dengan kelambanan respon. Alhasil, rencana silaturahim berujung tragedi.

Tidak perlu saling menyalahkan dan tidak perlu juga malu untuk meminta maaf. Bagaimanapun, pembuat kebijakanlah yang punya andil besar untuk mengurai permasalahan ini. Kabarnya, untuk mencegah kemacetan serupa terulang di tahun depan, pemerintah tengah menyiapkan ruas tol Pemalang – Batang dan Batang – Semarang yang akan diselesaikan sebelum Ramadhan tahun depan. Solusi high cost yang tidak salah karena adanya jalan keluar lain tentu akan mengurangi penumpukan di gerbang tol Brebes. Namun jika solusinya hanyalah terus membangun jalan tol, bukan tidak mungkin yang terjadi cuma memindahkan titik kemacetan, seperti pindahnya kemacetan dari Cikampek ke Brebes. Solusi yang jatuhnya tidak efisien, baik secara waktu maupun anggaran. Tak jua efektif.

Beberes lalu lintas mudik perlu solusi yang lebih variatif namun terintegrasi. Desain utuh perencanaan hingga pengendalian sistem perlu dipahami dan melibatkan seluruh stakeholders, mulai dari Kementerian dan Dinas Perhubungan, Kepolisian dan Pemerintah Daerah terkait, Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT), operator jalan tol, operator semua moda transportasi, Pertamina dan pengelola SPBU, hingga operator telekomunikasi dan pengguna jalan. Dalam rancangan pengelolaan arus mudik, perlu dilakukan pemetaan jalur transportasi, traffic flow dan bottleneck analysis, termasuk prediksi volume kendaraan pada setiap jalur transportasi, baik pada jalur utama maupun jalur alternatif. Supply Chain Management (SCM) perlu diterapkan dengan baik sehingga arus keberangkatan dan kepulangan dapat lebih mudah dikelola, kebutuhan akan bahan bakar dan rest area juga dapat dipenuhi. Layak, bukan sekadar tersedia.

Kapasitas jalan perlu diperhatikan dan volume kendaraan sebisa mungkin dikendalikan. Jika ada kendala atau hambatan dalam perjalanan, misalnya kecelakaan atau kendaraan mogok yang menghalangi jalan, perlu disiapkan unit cepat tanggap untuk mengatasi hal tersebut. Dalam kasus ini juga dibutuhkan pengelolaan teknologi informasi yang baik sehingga hambatan sekecil apapun dapat diketahui sehingga bisa direspon cepat. Dalam kondisi lalu lintas padat, hambatan kecil bisa berdampak antrian panjang ke belakang. Rekayasa lalu lintas alternatif seperti one way atau contra flow juga perlu dipersiapkan dan diperhitungkan dengan baik sehingga tidak cuma memindahkan kemacetan. Mengatasi kemacetan dengan kemacetan lain yang lebih macet. Petugas lapangan juga perlu disiapkan dengan baik agar tahu benar apa yang seharusnya dilakukan, termasuk untuk menghadapi kondisi yang tak diinginkan.

Rangkaian upaya tersebut bahkan perlu dikombinasikan denganberbagai solusi lain misalnya dengan perbaikan pengelolaan gerbang tol dan rest area sebagai titik-titik kemacetan. Revitalisasi jalan utama dan jalur alternatif non-tol juga perlu dilakukan sehingga rekayasa lalu lintas dapat lebih optimal dilakukan. Revitalisasi ini juga perlu disertai rekayasa potensi kemacetan akibat persimpangan jalan, pasar, jalur perlintasan kereta api, dan sebagainya. Termasuk di antaranya kemacetan akibat perbaikan jalan yang seharusnya dapat diselesaikan sebelum rentang waktu mudik.

Selain itu, fly over juga bisa dibangun untuk mengatasi bottle neck dan hal yang tidak boleh dilupakan adalah membenahi transportasi umum dan mengembangkannya sehingga multimoda bisa terintegrasi. Misalnya dengan mengintegrasikan sistem transportasi kereta api dengan angkutan pedesaan tentu akan mendorong pemudik untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Sistem informasi mudik juga perlu dikembangkan sehingga pemudik dan petugas memahami benar apa yang harus dilakukan dan alternatif apa yang sebaiknya dipilih. Jadi rekayasa lalu lintas bukan cuma pengalihan dan kemudian pemudik malah bingung harus lewat mana, tetapi memang diberikan arahan alternative terbaik. Selanjutnya, setelah sistem selesai di-develop yang tidak boleh dilupakan adalah sosialisasi secara utuh dan menyeluruh kepada seluruh pihak terkait.

Pulang kampung memang tidak harus menunggu momen Idul Fitri, tradisi mudik lebaran mungkin hanya ada di beberapa Negara termasuk Indonesia. Namun pada hakikatnya upaya untuk menyambung tali silaturahim merupakan suatu kebaikan yang akan mendatangkan kebaikan yang lain. Alangkah indahnya jika momentum silaturahmi tidak dirusak dengan emosi karena macet atau bahkan berita duka akibat pengelolaan mudik yang masih semrawut. Beberes manajemen mudik berarti beberes kesakralan silaturahim di hari raya. Berebes mili karena kesedihan akan berganti berebes mili penuh keharuan dalam momen saling memaafkan bersama keluarga tercinta. Semoga.

Comments

comments