Oleh: Ari Tri Wahyuni.
Episode Kereta Ekonomi
Gelas plastik bekas minuman itu tergeletak setengah penyok. Baru saja dijatuhkan (dan bukan terjatuh) oleh sebuah tangan. Tepat disebelahnya, putung rokok sudah lebih dulu ada di sana. Di kanan kirinya kulit bersisik tampak tercecer, berserak bersama biji keras kecoklatan. “Salak pondoh ! Salak pondoh ! Ayo yang manis garing. Sarebuan…sarebuan…”.
Penjual salak pondok itu nampak sumringah melihat dagangannya laris. Biasanya kalau ada yang beli satu, maka orang-rang sekitarnya tergelitik untuk ikut beli. Jadi cukup merayu salah seorang saja untuk membeli, selanjutnya mekanisme pasar bekerja.
“Sreet..sreet…”. Dalam sekejab lantai itu tampak bersih. Seikat batang lidi menyapu habis barang-barang yang tergeletak sebelumnya. Pemilik tangan pemegang sapu itu menunjukkan tampang memelas sambil sesekali menjawil kaki-kaki penumpang. Ternyata hanya sebentar saja lantai itu tampak sedikit bersih. Beberapa menit kemudian, potongan kulit kuning kembali menghiasinya. SEPERTI TAK MAU MELIHAT LANTAI ITU KOSONG…
Episode Sekolahan
“Bang, es jeruk satu ya!”.
“Bang aku duluan, es batunya yang banyak ya..!”. Segerombolan anak SD berebutan membeli es di depan sekolahan. Siang yang terik mengundang tenggorokan untuk meneguk air. Sejak pagi abang penjual es itu sudah stand by di depan sekolahan. Saat terik seperti ini mengisyaratkan kabar baik untuknya. Karena dagangan esnya pasti laku keras.
“Prek!!”. Suara es batu yang masih tersisa di plastik bekas es dilempar begitu saja di pinggir jalan oleh anak-anak yang telah mengobati dahaganya.
Episode Angkot 1
“Mama…aku mau rotinya..”
“Nih..”, tangan seorang ibu tampak membuka bungkus roti lalu memberikannya pada sang anak. Pada saat yang sama, tangan kirinya merogoh bawah bangku. Menggeletakkan begitu saja bungkus plastik roti yang tadi dibukanya.
“Mama…minum…”.
Tangan ibu itu mengambil sebotol air mineral setengah terisi dari tasnya. Dalam sekejap air itu habis diminum sang anak.
“Mama, minumnya habis, botolnya dibuang dimana ?”
“Udah…lempar aja ke bawah bangku !”
“Klotak!”, sang anak menuruti perintah ibunya.
Episode Angkot 2
Adzan magrib baru saja berlalu. Tapi angkot yang kunaiki tak juga menandakan akan berangkat dari pangkalan ngetemnya. Baru setelah angkot hampir penuh, pak sopir mau menjalankan kendaraannya. Kulihat satu per satu penumpang angkot, ada rombongan keluarga besar rupanya. Bapak, ibu, anak, dan nenek serta kakeknya. Sang anak, laki-laki, yang kira-kira masih berumur tiga tahunan menjadi bahan gurauan keluarganya. Menyenangkan melihat mereka.
“Minum…”, rengek sang anak setelah lelah berguarau.
“Aduh, minumnya habis.”, kata ibunya. Sang anak makin merengek mendengar itu. Untunglah ada penjual minum keliling. Seperti biasa, jalanan Bubulak-Kampus macet saat magrib. Sang anak tersenyum dan mulai bergurau lagi dengan kakeknya.
“Bu, kebelet pipis…”, sang anak tiba-tiba merengek lagi.
Sang ibu tampak kebingungan sesaat. Angkot sedang berjalan, tidak mungkin meminta berhenti, mungkin begitu yang ada difikirannya. Sang anak makin merengek. Sang ibu makin kebingungan. Aku benar-benar tidak menyangka tindakan sang ibu setelah itu. Dia membuka celana panjang sang anak dan menyuruhnya pipis. Ya. IBU ITU MEMYURUH ANAKNYA PIPIS DI DALAM ANGKOT. Beberapa kaki berjingkat menghindari air pipis sang anak. Aku tak dapat berkomentar apa-apa. Begitupun penumpang yang lain. Rupanya angkot bisa jadi WC umum saat terdesak.
Episode Mobil Mewah
Ku berjalan sore itu menyusuri jalan menuju terminal. Angkot yang kutumpangi menurunkanku dan penumpang yang lain di pertigaan lampu merah. Alhasil aku harus berjalan untuk sampai ke terminal.
“Gedebug !!”, suara mengagetkan datang pas di sebelahku. Kutengok sekilas. Sebuah kardus bekas makanan jatuh. Kaca jendela belakang sebuah sedan mewah tampak baru saja tertutup. Menandakan sebelumnya terbuka sesaat sebelum berlalu mendahului langkahku.
Episode Perenungan
Semua tampak biasa saja. Tak satupun hati terbersit. Merasa jengah, tidak nyaman atau terganggu. Semua duduk tenang dengan segala barang yang terserak di sekitarnya. Sedikit orang tua yang melarang. Kebanyakan justru mencontohkan bahkan mengajarkan. Ajaran yang rasanya BELUM PERNAH KUDAPATKAN DI SEKOLAHAN. Generasi muda bercermin dari generasi sebelumnya. Bayangan yang terpantul pastilah sama.
Apa benar banyak hati telah mati ? Kehidupan berbuaikan sampah. Bukan hal yang janggal melihat botol bekas minuman tergeletak di pinggir jalan, apalagi hanya sekedar bungkus permen. Botol mineral kosong yang dilempar penumpang angkutan umum lewat jendela mobil, tidak menimbulkan protes orang-orang yang melihatnya. Kecuali botol itu kena kepala orang. Kalo boleh sedikit hiperbolis, sulit untuk membedakan mana yang TPA (Tempat pembuangan akhir), karena semua tampak sama saja seperti TPA. Tong sampah hanya pajangan belaka. Apa harus setiap sentimeter jalan di taruh tong sampah agar negeriku bersih ?
Negeriku…
Sampahmu…
Banggakah kau..?
Tak tergelitik hati orang-orang itu, walau sekedar tak membiarkan tangan berlalu melempar sampah ke tanahmu.
Negeriku…
Sungguh…
Aku malu…
Aku pilu…
Tak bisa menjagamu..
Image Courtesy: http://tentangguruku.blogspot.com