Suatu ketika sebuah mobil yang sedang melaju kencang berpapasan dengan mobil lain di sebuah tikungan yang sepi. Pengemudi mobil lain tersebut langsung berteriak, “Sapiii !!” kepada pengemudi yg mobilnya sedang melaju kencang. Langsung saja pengemudi yang diteriaki sapi tersebut marah karena merasa dicemooh dan balik berteriak tak kalah kencang, “Loe yang sapi!!!”. Tiba-tiba mobilnya benar-benar menabrak rombongan sapi yang sedang melintas di tengah jalan.
Pengemudi yang pertama berteriak sapi sebenarnya sedang mengingatkan pengemudi yang mobilnya melaju dengan kencang bahwa ada sapi yang sedang menyeberang, tapi pengemudi yang membalas dengan marah itu menduga bahwa ia sedang dicemooh, sehingga yang terjadi adalah tabrakan mobilnya dengan rombongan sapi. Inilah PERSEPSI (Zhon, dalam bahasa Arab).
Setiap orang hidup dengan persepsinya masing-masing. Dan al Qur’an menyuruh kita untuk memiliki persepsi (zhon) yang baik-baik saja agar tidak kena musibah seperti yang dialami pengemudi yang mobilnya melaju kencang dalam cerita di atas. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. 49 ayat 12).
Itulah sikap saya, selalu berpersepsi baik (husnuzhon) jika ada orang yg saya kenal atau tidak mengambil tulisan-tulisan saya di Facebook, Twitter, blog atau website. Atau mengutip tulisan saya tanpa izin di buku-buku saya (jumlahnya kalau tidak salah baru 17 buku). Atau mengutip tanpa izin dari makalah, hand out dan slide saya pada ratusan seminar dan pelatihan yang saya diminta mengisinya.
Saya husnuzhon bahwa tulisan saya yang diambil tanpa izin itu bukan bermaksud bahwa orang tersebut melakukan plagiat, tapi semata ingin menyebarkan kebaikan. Malah saya sangat berterima kasih jika tulisan saya tersebar walau tanpa ada nama saya. Sebab berarti pahala amal jariyah akan saya dapatkan dan nilai-nilai dakwah sampai kemana-mana. Bukankah hal itu merupakan salah satu dari sekian banyak kebahagiaan hakiki? Bukankah hal itu merupakan warisan bermakna yg diidamkan-idamkan banyak orang, seperti sabda Nabi saw : “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim).
Oleh sebab itu, saya kurang sependapat jika ada orang yg dengan mudahnya menuduh plagiat kepada orang lain yang mengambil tulisan orang lain. Apalagi di masa kini dimana begitu derasnya tulisan bersliweran di media sosial dan mesengger. Belum tentu mereka yang mengutip atau meng-copy paste tulisan orang lain tanpa mencantumkan nama penulisnya melakukan plagiat. Selama ia tidak mengklaim tulisan tersebut karyanya maka lebih baik kita bersangka baik bahwa mereka menyebarkan tulisan tersebut dengan maksud menebarkan nilai-nilai kebaikan.
Saya sependapat dengan Yusuf Qordhowi dan Sayyid Quthb rahimahullah yang pernah membahas tentang hukum copy right dalam Islam. Singkatnya beliau berdua tidak sependapat dengan pengertian copy right dalam pandangan Barat. Bagi seorang muslim (dalam batas tertentu) tdk mengapa tulisan atau karyanya diambil orang lain. Tidak perlu seketat etika copy right seperti pemahaman orang Barat yg materialistik.
Bagi seorang muslim, keuntungan pahala akibat karyanya disebar luas justru jauh lebih besar daripada keuntungan materinya. Itulah sebabnya kita melihat di jaman kejayaan Islam dengan ratusan ulamanya yang luar biasa (Imam Syafi’i, Ibnu Sina, dll) tidak ada yang namanya copy right (hak paten) seperti yang dipahami Barat. Hal itu karena mereka sudah cukup dengan pahala amal jariyah yang didapat dan tidak mempermasahkan keuntungan materi. Malu kita dengan para ulama yang karyanya jauh lebih banyak dan lebih bernilai daripada kita jika mempermasalahkan tulisan kita di media sosial atau ranah publik lainnya yang diambil orang lain.
Kecuali untuk tulisan ilmiah di ranah akademisi atau karya yg benar-benar baru (inovasi) yang memang perlu ketat memakai etika copy right, maka berbesar hatilah –wahai saudara-saudaraku– untuk tidak marah atau su’dzhon jika tulisan atau karya kita dipakai orang lain.
Biarlah Allah yang memberikan pahala atas kebaikan tersebarnya tulisan kita. Biarlah Allah yang memberikan pahala kepada setiap orang yang meng-copas tulisan orang lain tanpa izin. Biarlah dakwah berkembang dengan kontribusi masing-masing kita tanpa su’zhon dgn tuduhan plagiatisme.
Satria Hadi Lubis