Menimbang Diri
Oleh: Eko Jun.
Timbangan, berfungsi sebagai alat ukur. Timbangan badan untuk mengukur berat badan, timbangan barang untuk mengukur jumlah komoditas, timbangan intelijensia (test) untuk mengukur kecerdasan hingga pada akhirnya nanti ada hingga timbangan amal untuk mengukur pahala dan dosa. Semakin kita punya banyak timbangan, semakin lengkap kita menilai seseorang. Bisa jadi, bobotnya berat tapi ilmunya ringan. Bisa jadi bobotnya ringan tapi amalnya berat. Dll.
Kita mengenal Abdullah Ibnu Mas’ud ra. Beliau termasuk assabiqunal awwalun sekaligus ahli tafsir dari kalangan shahabat. Secara fisik, dia sangat kecil dan kerempeng tapi justru dialah yang membunuh Abu Jahal. Betisnya sangat kecil, tapi kata rasulullah betisnya ibnu mas’ud lebih berat disisi Allah ketimbang bukit uhud. Hm,.. Disini kita perlu belajar untuk memadukan antara timbangan fisik dengan timbangan hakiki.
Di sebuah taman di Jepang, kami pernah melihat sebuah foto unik. Ada orang besar dan gemuk dalam satu sisi timbangan, tapi berat tubuhnya kalah dibanding anak kecil ditambah beberapa buu disisinya. Pesan moralnya sangat kuat, berapa bobot anda ditentukan oleh berapa banyak buku yang sudah dibaca, pelajari dan kuasai. Hm,.. Lagi – lagi kita perlu belajar untuk memadukan timbangan fisik dengan timbangan hakiki.
Dalam konteks agama, kita tahu banyak ucapan dzikir yang timbangan pahalanya besar. Ringan dilidah, tapi berat ditimbangan. Adapula ucapan dziir ya.g saat dibaca, malaikat pencatat amal sampai tidak tahu bagaimana cara menulis pahalanya. Karena begitu besarnya pahala yang terkandung dari ucapan dzikir tersebut. Hingga Allah berkata “Tulis saja sebagaimana ucapan dzikir itu. Nanti biar Aku yang akan memberinya ganjaran”. Tertarik? Monggo dibuka Al Ma’tsuratnya.
Distorsi Timbangan
Timbangan, kadang juga bisa salah. Timbangan tidak selalu memperlihatkan hasil atau kondisi yang sebenarnya. Mungkin karena lama tidak dikalibrasi ulang, mungkin karena meletakkannya dilantai yang agak miring, mungkin karena terpengaruh medan magnet yang ada disekitarnya dll. Timbangan baru akan menunjukkan kondisi yang sebenarnya jika semua sarat dan rukunnya terpenuhi.
Karena itu, kita tidak usah heran dengan berbagai macam alat ukur yang modern tapi menghasilkan simpulan yang berbeda. Mungkin belum semua faktor yang relevan dimasukkan, mungkin ada distorsi pada elemen yang dimasukkan, mungkin sengaja diberi inputan data yang salah atau bahkan karena analisa tingkat akhir dibaca dengan cara yang berbeda. Ada hasil timbangan, ada interpretasi atau tafsir terhadap hasil. Salah membuat hubungan diantara keduanya, salah pula simpulan akhir yang dibuat.
Sama persis dengan berita. Meki sama – sama meliput langsung ditempat kejadian perkara, kadang sudut pemberitaan yang ditampilkan berbeda. Kadang bedah berita dan analisis indept story bisa bias, bergantung siapa nara sumber yang dihadirkan. Terkadang, ini bukan salahnya wartawan yang meliput, tapi ulahnya para editor dan dewan redaksi. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi dalam survei politik. Mungkin karena salah sampel, mungkin karena pertanyaannya bersifat “memihak dan mengarahkan” atau mungkin juga karena bias analisa. Akhirnya survei lapangan lebih diposisikan sebagai alat untuk membangun opini ketimbang untuk menghadirkan fakta.
Khatimah
Kita butuh timbangan, sebagaimana kita butuh pertimbangan. Dengan timbangan, kita bisa mengukur diri, dengan timbangan kita bisa berintrospeksi, dengan timbangan kita bisa membuat program dimasa depan. Mari kita perbaiki timbangan kita, mari kita perluas cakrawala timbangan kita, mari kita belajar kepada timbangan.