Jiwa Merdeka

Sebuah Esai Kemerdekaan

Hidup dalam penjajahan rasanya sungguh tidak nyaman. Bukan hanya tangan dan kaki yang terbelenggu, tapi juga jiwa dan mental yang terbelenggu. Di dalam Al Qur’an, ada kisah tentang penjajahan (atau lebih tepatnya, perbudakan) yakni Bani Israil di Mesir. Raja Fir‘aun berkuasa dan berbuat sewenang – wenang kepada Bani Israil, hingga puncaknya mengeluarkan sebuah perintah sangat dzalim yakni membunuh bayi laki – laki dan membiarkan hidup bayi perempuan.

Perintah seperti ini sekaligus cerminan ketakutan para diktator kepada siapa saja yang berpotensi merebut kekuasaan dan mengakiri dominasinya. Sehingga bayi yang tidak berdosa dan tidak berbahaya sekalipun menjadi objek kekejamannya. Konsepnya sangat mirip dengan doktrin pre-emtive strike yang dianut oleh Amerika Serikat pada kampanye perang melawan terorisme global. Zaman berganti, aktor berubah tapi karakter dan jalan ceritanya bisa jadi masih paralel.

Utusan Hebat

Allah ta’ala mengutus seorang nabi yang sangat spesial, yakni Musa. Jika Raja Fir’aun memerintahkan para prajuritnya mencari bayi – bayi laki – laki ke seluruh penjuru negeri untuk dibunuh, maka sebaliknya Allah membawa Musa yang masih bayi ke istananya Fir’aun. Seolah Allah ta’ala ingin mengejek Fir’aun “Hai Fir’aun, kamu mencari bayi ke seluruh pelosok negeri yang akan menghancurkanmu? Ini bayinya Ku kirim ke istanamu. Bisakah engkau membunuhnya?”. Demikianlah, Musa diasuh dan dibesarkan oleh calon musuh besarnya. Atau dengan logika yang dibalik, Raja Fir‘aun tengah membesarkan “seekor anak macan” yang kelak akan menerkamnya.

Kita mengenal nabi Musa sebagai sosok yang sangat kuat. Sekali memukul, seorang prajurit Qibthy mati. Dia sendiri tidak berniat membunuhnya dan seorang prajurit pasti juga punya kekuatan fisik diatas rata – rata manusia pada umumnya. Namun karena Musa memang sangat kuat, maka pukulan yang biasa pun berubah menjadi pukulan yang mematikan. Dalam bahasa kita “Tangan kanan kuburan, tangan kiri rumah sakit”.

Didalam hadits Qudsi, malah ada riwayat yang lebih dahsyat. Nabi Musa mendapati ada seseorang berada dalam rumahnya, sedang pintu dalam kondisi terkunci. Karena mengiranya sebagai orang jahat, maka tanpa banyak bicara Nabi Musa memukul orang tersebut hingga bola matanya terlepas. Ternyata, orang tersebut adalah malaikat maut yang tengah berkunjung. Kita sudah bisa membayangkan, sekuat apa pukulan seorang Musa. Apa jadinya jika seseorang seperti Musa ikut bertanding sebagai atlet profesional dalam tinju kelas berat?

Nabi Musa juga sosok yang sangat temperamental. Banyak episode yang menunjukkan hal itu. Misalnya, saat dia mendapati kaumnya menyembah patung anak sapi yang dibuat oleh Samiri, maka dia segera melempar Lu’luah yang ada ditangannya. Dia juga segera memegang jenggot dari saudaranya, yakni Nabi Harun. Betul, nabi itu sifatnya lain – lain. Ada yang halus lembut seperti Nabi ‘Isa, ada juga yang kasar dan keras seperti Nabi Musa. Kami bukan sedang membeda – bedakan utusan Allah karena Al Qur’an menyebutkan “La nufarriqu baina ahadim min rusulih”. Kami hanya sedang menjelaskan siapa mereka, berdasarkan dalil yang sampai kepada kita.

Jika melihat tokoh dengan karakter kuat dan kekuatan dahsyat sebagaimana Nabi Musa yang dikirim kepada Raja Fir’aun, semua pasti mengharapkan endingnya bakal terjadi “Perang Baratayudha” antara kubu Bani Israil dengan kubu Mesir. Tapi anda salah, penonton pun kecewa. Perang itu hanya milik orang – orang yang pemberani dan berjiwa merdeka. Bani Israil sekian lama dijajah oleh Mesir dan mental sebagai budak benar – benar telah merasuk ke relung jiwanya. Akhirnya, mereka memilih pergi dari tanah Mesir ke tanah yang dijanjikan.

Mengubah Karakter

Sehebat apapun pemimpinnya, dia tidak akan berhasil tanpa dukungan dari kaumnya. Bani Israil yang berjiwa terjajah tidak bisa diharapkan untuk berjuang. Mereka takut memasuki negeri yang dijanjikan, takut berjuang bersama Nabi Musa dan lebih memilih untuk duduk menunggu. Mereka terkenang dengan makanan – makanan yang biasa dimakan saat masih menjadi budak dan mereka juga mudah terpengaruh dengan ajakan sesat Samiri. Akhirnya, Allah menghukum mereka dengan peristiwa di padang Tih. Yakni Bani Israil tersesat, berputar – putar dan tidak menemukan jalan keluar dari dipadang tih selama 40 tahun.

Peristiwa dipadang tih, selain sebagai hukuman atas pembangkangan terhadap perintah Nabi Musa, seringkali juga dipandang sebagai cara Allah mengganti generasi Bani Israil. Generasi budak bermental pecundang diganti dengan generasi pejuang bermental pemenang. Dimana – mana, generasi hebat dan tangguh memang ditempa dalam kondisi serba kekurangan, kesulitan dan kesederhanaan. Hingga akhirnya, mereka siap mengangkat senjata dibawah kepemimpinan Thalut. Barulah dimulai era kejayaan Bani Israil, dimana Thalut menjadi raja, dilanjutkan dengan Raja (Nabi) Daud dan akhirnya mengalami puncaknya pada kepemimpinan Raja (Nabi) Sulaiman.

Untuk merubah kondisi secara agregat, kita bukan hanya butuh satu atau dua orang hebat. Kita butuh sebuah generasi yang hebat, agar perubahan yang dibawa bisa bertahan lama. Tidak langsung mati seiring dengan matinya orang hebat itu. Bahkan seorang Musa dengan segala kehebatannya tidak bisa berbuat banyak jika rakyatnya memang tidak siap untuk mendukungnya. Mengubah karakter secara komunal sebagai lahan untuk tumbuhnya pemimpin besar bisa menjadi alternatif ketimbang sekedar mengharapkan datangnya “Ratu Adil” untuk membereskan semua masalah. Percayalah, sehebat apapun sang ratu adil, dia pasti kalah hebat dari Musa. Musa saja gagal, apalagi ratu adil.

Khatimah

Indonesia sudah lama berkubang dalam krisis. Dulu, kita berharap krisisnya seumuran dengan krisis yang dialami oleh Nabi Yusuf, yakni 7 tahun. Sekarang, kita hanya berharap bahwa krisis di Indonesia tidak sampai melebihi krisis yang menimpa Bani Israil di padang tih, yakni selama 40 tahun. Krisis demi krisis, konflik demi konflik, bahkan kontroversi demi kontroversi sangat mungkin menjadi bagian dari instrumen yang mengubah masyarakat Indonesia.

Secepat mungkin kita juga harus melakukan rekayasa sosial, agar dinegeri ini bisa segera lahir generasi yang bermental pejuang yang berjiwa pemenang. Agar kelak darinya, lahir anak – anak muda yang siap membawa Bangsa Indonesia ke puncak kejayaannya. Bukankah banyak putra – putri Indonesia yang mampu berkiprah dan berprestasi dikancah Internasional? Kita tidak pernah kekurangan individu hebat, kita cuma kehilangan generasi hebat untuk mendukung dan menopang perjuangan individu hebat tersebut. Wallahu a’lam.

Eko Jun

Comments

comments