Islam: Di Antara Jebakan Istilah

Sebuah reportase pemikiran Prof Mark R Woodward.

Oleh : Anang Prasetyo. 

Bertempat di aula IAIN Tulungagung, Jumat, 26 Agustus 2016 dari pukul 13.00-16.00 berlangsung seminar yang bertajuk “Islam Jawa sebagai Representasi Islam Nusantara, Menguji Tesis Aksioma Kultural dan Perkembangannya dalam Sejarah Islam Nusantara”.

Acara dimulai dengan salam pembuka oleh Abad Badruzaman yang mengetengahkan gagasan Islam dengan teori kulit dan isi. Islam menurutnya adalah isi. Substansi Islam ada pada isi nya, bukan kulitnya. Sehingga ketika ada gagasan yang mengetengahkan Islam Transnasional (khilafah) baginya, ini adalah hal yang perlu menjadi perhatian penting. Karena ada kecenderungan segala sesuatu akan selesai dengan khilafah. Yang terjadi selanjutnya adalah simplikistik. Ini yang dikritisi Abad.

Selanjutnya, sebagai pemateri utama Prof Mark R Woodward, guru besar Arizona University Amerika, mengawali paparannya dengan mengintroduksi penelitiannya di Jogyakarta tahun 1978.
Sebuah kampung di dalam benteng keraton. Dimana kebanyakan mereka orang miskin, banyak yang tidak sholat dan puasa. Mereka tidak suka disebut kejawen. Suka menyimpan jimat, biasa membersihkan senjata tombak dan keris, akik.

Mereka hidup rukun. Nyaris tidak ada konflik. Terdapat satu masjid yang dikelola oleh orang Muhammadiyah. Dimana kajiannya adalah purifikasi Islam. Bidah, syirik dan khurofat. Yang mana anak anak mereka mengaji di masjid itu.

Substansi pesan yang ingin disampaikan prof Mark, adalah ada kedamaian dan kenyamanan dalam berislam masing2 entitas tersebut. Pun demikian dengan Islam NU Islam Muhammadiyah adalah representasi Islam itu sendiri. Sementara kaum abangan memiliki tafsir sendiri yang berbeda dengan NU dan Muhammadiyah dengan batasan yang kurang jelas.

Secara obyektif Mark mengetengahkan bahwa Islam Jawa , lebih khusus Jawa Tengah,  khususnya lagi Islam Yogyakarta memiliki cara pandang yang berbeda dengan islam di Jawa Timur misalnya.

Disisi yang lain ia menyoroti Wahabisme Arab Saudi  yang memiliki pemahaman bahwa Islam adalah wahaby itu sendiri, tidak ada tafsiran lain. Hal ini cenderung eksklusif. Menurut mereka, Wahaby pasti Islam. Hal ini mirip dengan orang Madura, Islam bagi orang Madura adalah NU.
Gerakan ini menjadi ancaman bagi kebudayaan lokal. Terbukti mereka menghancurkan makam sahabat nabi, situs2 bersejarah. Intinya adalah mereka tidak menyukai lokal tradisional. Mark mengakui bahwa Wahaby ada yang keras/radikal, lunak dan liar, bahkan ada yang disusupi agen asing.

Ketika salah seorang peserta mengkonfirmasi apakah Prof Mark pernah menyampaikan bahwa Wahaby bisa dipakai untuk mencipta tafsir agama dan tata sosial yang ketat sebagaimana di Arab, dia terlihat menampik dengan ucapan bahwa Wahaby sendiri banyak versinya. Yang lunak, keras dan liar.

Bagi Mark gerakan Islam Transnasional  bisa menjadi sebuah gerakan yang menginpirasi munculnya gerakan sebagaimana Haji Rosul di Sumatra, ataupun gerakan Ba’alawi di Yaman.

Pernah muncul pula gerakan Indonesia Raya (meliputi Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Indonesia).

Disisi lain ada tren penguatan Islam Trans nasionalisme yang diusung HT. Mark menyampaikan berdasar kajiannya di website milik HT. Antara HTI dengan HT Yordania dan seluruh dunia ada kesamaan dan cenderung homogen. Meskipun ada perbedaan yang signifikan bahwa HTI lebih soft dibanding HT British ataupun Jordan.

Disaat moderator menanyakan tentang ancaman islam transnasional terhadap Islam lokal tradisional, Mark menampik gagasan ini. Karena ketika di Jawa, paham trans nasional yang semula kenceng menjadi kendur. Secara berseloroh ia mencontohkan PKS menyelenggarakan pentas wayang kulit. Mungkin akan disusul ludruk PKS dan seterusnya. Sehingga tidak ada ancaman tersebut. Yang ada adalah justru terjadi akulturasi dan  inspirasi gerakan yang bersifat saling mengisi dan melengkapi.

Hal ini disaat sesi tanya jawab, penulis mengungkap temuan Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo, bahwa justru Walisongo itu organisasi resmi serta mendapat amanah dengan surat resmi kekhilafahan (trans nasional) Turki Utsmani. Sehingga sungguh aneh dan tentu saja tidak beradab jika NU,  sebagai organisasi yang secara ‘genetika’ mewarisi Walisongo, hari ini dibenturkan dengan issu trans nasional. Jelas hal ini adalah ahistoris dan penyimpangan secara sistematis dengan desain issu Islam Nusantara itu sendiri.

Prof Mark sendiri mengemukakan bahwa perlu ada klarifikasi mengenai label Islam Jawa sebagai representasi Islam Nusantara. Sebab Islam yang ada di Sumatra tidak mau jika Islam Jawa sebagai representasi Islam nusantara. Baginya, Islam adalah islam yang sebagaimana hidup dan berkembang ala Sumatra.

Diakhir sesi, ada hal yang cukup menarik. Bahwa adanya istilah sinkretisme dalam Islam Jawa, pemikiran tersebut lebih merupakan siasat politik kolonial Belanda, khususnya Gubernur Jendral Raffles yang menginginkan kekuasaan di tanah Jawa. Hal ini adalah bersifat  untuk memudahkan laporan kepada pemerintah Belanda semata.

Walhasil, demikianlah seminar tersebut yang berjalan dengan kredo “Islam Jawa sebagai representasi Islam Nusantara” justru sebenarnya , menurut penulis, mengalami antitesisnya.
Karena gagasan tersebut bisa menjadi blunder dan diakui salah satu pemateri lain mbak Nurish , cenderung rasial ketika diungkapkan.

Bagi pribadi penulis,Islam yang diberi label demikian secara istilah, dapat menjadi perangkap.
Islam Jawa ataupun Islam Nusantara sendiri merupakan istilah yang secara akademik problematis. Sehingga istilah Islam Jawa atau Jawa Islam perlu definisi yang jelas. Sehingga tidak ada reduksi  pengaburan makna dan arti keduanya.
Sekali lagi, Islam akhirnya terkungkung dan terjebak oleh labelisasi yang cenderung tidak berguna / tidak berfaedah terhadap makna dan arti Islam itu sendiri.

Namun apapun, kajian yang diselenggarakan Institut Transvaluasi IAIN Tulungagung ini layak diapresiasi, ditengah pencarian jati diri dan identitas Islam di Nusantara ini.

Meskipun, secara sederhana, sebenarnya  Islam itu sendiri sudah sangat sangat jelas. Baik kata, makna dan artinya. Sejelas matahari yang terang benderang, nan padang njingglang. Yang mana terangnya matahari tidak perlu didefinisikan ulang. Mengapa tidak menjadikan terang nya matahari itu sebagai penuntun jalan, penerang kehidupan dalam mengungkap makna dan rahasia setiap benda, makhluq atau apapun jua yang terkena cahaya matahari itu.

Demikian reportase singkat ini dibuat dengan segala keterbatasan penulis. Semoga manfaat.

Comments

comments