Pagi itu, lebih dari 30 ribu kaki di atas permukaan laut, awan putih di langit Aceh bergulung-gulung seperti permadani. Cahaya kuning matahari yang baru saja terbit menghiasinya. Memesona saya yang berada di balik jendela Boeing 737-900ER yang menuju Jakarta ini. Ini perjalanan biasa, sekali dalam sebulan dari Tanah Rencong.
Selagi menikmati pemandangan luar biasa itu, saya teringat sesuatu. Sebuah amanah yang harus saya tunaikan segera. Membaca 20 artikel dan menilainya. Sebenarnya, membaca adalah sebuah kebiasaan yang tak bisa saya tampik saat terbang. Dan ketika lelahnya mendera, maka tidur menjadi obat setelahnya.
Saat ini adalah saat yang tepat untuk melakukannya ketika jiwa telah dipenuhi dengan rasa puas terhadap keindahan, akal jernih di pagi hari yang belum tercemari polusi masalah kehidupan, dan badan yang insya Allah senantiasa diberi kesehatan.
Saya membuka tablet Samsung saya. Dan mulai membaca. Membaca sebuah pengalaman hidup yang diceritakan oleh para perempuan. Mereka adalah para istri pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Institusi terbesar dalam mengumpulkan uang untuk membiayai berjalannya Republik ini. Mereka mengadakan sayembara menulis tentang suka duka menjadi istri pegawai DJP.
Saya beruntung diminta menjadi juri dalam sayembara itu. Ini berarti anugerah. Sebuah kesempatan langka untuk menyelami hati terdalam para perempuan. Maka membaca tulisan itu adalah membaca hati mereka sembari menghitung tetesan air mata mereka yang jatuh berderai karena hidup yang harus berpisah dengan para terkasih.
Membaca karya mereka adalah membaca kerja nyata tak kenal menyerah dalam memelihara asa, menernak rasa syukur, menumbuhkan empati yang teramat dalam. Dan kebetulan, saya adalah laki-laki yang saat ini sedang ditakdirkan untuk jauh dari keluarga, maka insya Allah saya tahu betul psikologis orang yang sedang berjauhan.
Di sana ada rindu yang menyelinap diam-diam dalam relung-relung kalbu. Ada kerja dakwah yang terwujud untuk memberi kemanfaatan sebanyak-banyaknya kepada orang lain. Ada harapan yang tak kunjung padam di setiap harinya. Mungkin kabar menggembirakan dalam bentuk sebuah surat panggilan diklat, surat keputusan mutasi, atau pengumuman kelulusan tugas belajar dalam kedinasan. Karena itu cara terindah yang Allah berikan untuk bisa berkumpul dan bersatu dengan kekasih tercinta.
Maka izinkan saya untuk tersenyum simpul saat membaca tulisan mereka. Sesekali cerita mereka ada yang berkembaran dengan perjalanan hidup saya, dulu, saat masih muda dan seusia mereka. Ada beberapa yang menghentak hati, bahkan membuat mata saya menjadi telaga. Swear…
Buat saya, apa yang mereka tulis tentang perjalanan mereka dari Aceh hingga Papua adalah sebuah langkah kecil untuk menjadi penulis hebat. Semuanya. Tak terkecuali. Tak masalah pada akhirnya saya harus memilih lima yang terbaik.
Dan langkah-langkah kecil itu akan menjadi langkah tegap, bertenaga, dan bernas ketika dihinggapi sebuah kesadaran: “Saya harus belajar lagi. Saya harus tetap menulis. Kapanpun.”
Izinkan pula saya untuk memberi sedikit racikan buat menambah kelezatan tulisan mereka. Penulis sejati tak pernah melewatkan usaha menyunting. Ya menyunting. Jangan pernah tak melakukan upaya ini saat mengirimkan tulisan untuk lomba.
Menyunting berarti memperbaiki kesalahan-kesalahan kecil yang tak perlu. Bacalah berulang kali sebelum “sent”. Saya membiasakan 10 kali membaca ulang. Membacanya pun tidak sekaligus di waktu yang sama. Karena bisa jadi sebuah kesalahan akan ditemukan pada saat membaca untuk yang kelima kalinya.
Dengan cara itu, setidaknya membawa kontribusi besar dalam penilaian juri dan editor terhadap tulisan-tulisan saya yang saya ikutkan lomba dan saya masukkan ke koran. Terakhir resensi saya di koran Republika tidak ada satu huruf pun yang diedit oleh editor. Jika saya saja bisa, apatah lagi mereka. Ah, seiring dengan berjalannya waktu, saya yakin mereka bisa.
Di bawah ini ada 5 prinsip untuk menjadi juara lomba menulis. Sudah pernah saya tulis di blog saya di sini. Barangkali bisa menjadi bekal buat mereka, para perempuan penulis.
Pertama, saya meyakini betul bahwa konsistensi dalam menulis itu penting. Entah mau menulis apa yang penting punya target dalam waktu tertentu untuk menghasilkan karya tulisan. Sekarang sudah tersedia banyak media untuk menyalurkan hasrat menulis. Terkecuali Anda hanya menyukai buku diari maka blog tentu bisa menjadi pilihan lainnya.
Kedua, banyak belajar, terus menerus belajar dengan membaca tulisan, artikel, atau karya orang hebat lainnya. Lagi-lagi hal ini terkait dengan banyak baca. Anda banyak baca, Anda akan punya banyak referensi, dan Anda akan mendapatkan banyak ide.
Ketiga, ikuti banyak lomba menulis agar semangat berkompetisi terjaga. Jangan pernah takut kalah. Jangan pernah merasa Anda tidak layak ikut karena kemampuan Anda belumlah seberapa. Suatu saat saya mengumumkan suatu lomba menulis di sebuah grup. Seorang teman menyeletuk bahwa dirinya tidak akan pernah menang selama saya juga ikut menjadi peserta lomba. Ini terlalu berlebihan. Saya belum seberapa hebatnya. Kalaupun saya ikut, belum tentu saya juga bisa menang. Kebetulan saya tidak boleh ikut dalam lomba menulis itu karena saya adalah juri lomba.
Keempat, setelah dalam tempo tertentu mengikuti banyak lomba maka ada saat untuk pilih-pilih lomba. Tidak semua lomba harus diikuti. Ingatlah kepada petenis kawakan dunia, para pemenang grand slam, mereka hanya mengikuti lomba yang sesuai level mereka. Anda sesungguhnya ingin menjadi katak kecil dalam kolam besar atau menjadi katak besar dalam kolam kecil?
Kelima, jangan pernah menyerah. Ini sebuah karakter yang mesti dimiliki oleh siapa pun dan dalam bidang apa pun. Jadikan ketidakberhasilan, ketidakberdayaan, ke-iri-an Anda menjadi pemicu Anda menuju keberhasilan.
*
Sekarang tulisan mereka sedang digodok oleh dua juri yang lain. Buat pemenang saya ucapkan selamat. Barakallah.
Sudah berpanjang kalam, semoga tak membosankan. Ah kiranya cukup bekal buat mereka. Saya berharap, mereka tetaplah memelihara harapan. Dan menyandarkan harapan itu kepada Sang Maha Pemberi Harapan. Ialah tempat melabuhkan sejuta asa kita.
Dari mereka, saya belajar lagi, tertatih-tatih, tentang memelihara harapan.
Sejuta jura. Tabik.
***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Tapaktuan, 30 Desember 2015