Mengembalikan Peran Guru sebagai Figur yang Digugu dan Ditiru

1030

Jika ditanya siapa guru yang paling berpengaruh terhadap kehidupan saya saat ini, maka ia adalah Bu Titah Nurjannah, guru saya sewaktu SD dulu. Sosoknya begitu membekas di hati, bukan hanya karena kecerdasannya, melainkan juga karena kewibawaan dan keteladanannya.

***

Pada masa awal kemerdekaan hingga awal tahun 2000-an, guru adalah sosok yang begitu mulia dan diagungkan, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Di sekolah, guru begitu dihormati dan menjadi teladan bagi murid-muridnya, sedangkan di lingkungan masyarakat guru menjadi rujukan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun pemikiran.

Posisi guru yang begitu agung tersebut bukanlah tanpa sebab. Pasalnya, guru pada saat itu sangatlah menjadi panutan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Slogan “Guru; digugu dan ditiru” benar-benar melekat pada dirinya, bukan sekadar ungkapan tanpa makna. Bahkan masyarakat tidak akan melihat mata pelajaran apa yang diampu oleh guru tersebut, asalkan dia adalah seorang guru maka masyarakat akan sepakat bahwa ia bisa diandalkan.

Namun, dewasa ini slogan digugu dan ditiru perlahan mulai luntur dari diri sebagian besar guru di negeri ini.  Tidak sedikit dari mereka yang dalam menjalankan profesinya hanya sebatas untuk menggugurkan tugas, dan terjebak pada rutinitas mengajar yang kadang minim akan pemaknaan.

Ungkapan guru sebagai orang yang bisa digugu dan ditiru maknanya amatlah dalam. Digugu memiliki arti dipercaya atau dipatuhi, sedangkan ditiru berarti diikuti atau diteladani. Sudah sepatutnya seorang guru memiliki dua hal tersebut. Segala penyampaian dari guru haruslah sebuah kebenaran yang menumbuhkan keyakinan kepada setiap yang mendengarnya, dan segala tingkah lakunya haruslah menjadi contoh bagi setiap yang melihatnya.

Kemampuan guru untuk bisa digugu dan ditiru erat kaitannya dengan empat kompetensi yang harus dimiliki seorang guru, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Pada hakikatnya, jika empat kompetensi tersebut dimiliki oleh guru, maka predikat digugu dan ditiru dengan sendirinya akan mengikut pada diri guru tersebut.

Agar bisa dipercaya dan dipatuhi, seorang guru haruslah memiliki pemahaman yang luas dan mendalam terhadap ilmu pengetahuan yang hendak ia sampaikan. Tidak cukup dengan itu, seorang guru juga harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai metode dalam menyampaikannya. Bagaimana mungkin seorang guru bisa meyakinkan muridnya kalau ia lemah dalam pemahaman dan penyampaian. Maka seorang guru harus senantiasa memperbaharui kompetensinya, baik dalam hal keilmuan maupun metode pembelajarannya. Itulah kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional.

Selain bisa dipercaya dan dipatuhi, seorang guru haruslah bisa menjadi teladan atau panutan. Dan inilah yang sebenarnya jauh lebih penting dari peran seorang guru dalam pendidikan. Banyak guru yang berhasil mengajar muridnya hingga menjadi orang pintar, namun hanya sedikit di antara mereka yang bisa mencetak  generasi yang berakhlak mulia. Ironisnya lagi, sebagian dari guru di republik ini malah mempertontonkan sikap yang tak seharusnya dilakukan oleh seorang guru.  Tengok saja data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), seperti dilansir keterangan tertulis Kemdikbud, Selasa (14/6), di mana sepanjang Januari 2011 sampai Juli 2015 terdapat 1.880 kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Hal ini menunjukkan betapa guru sudah sangat jauh dari keteladanan.

Bagaimana mungkin pendidikan kita akan melahirkan generasi yang unggul jika gurunya tidak mampu memberikan keteladanan, baik dalam ucapan, pemikiran, maupun perbuatannya. Bangsa ini tengah dilanda krisis keteladanan, maka guru harus mampu berdiri paling depan untuk memberi keteladanan.

Siapapun dia, jika telah memilih profesi guru sebagai jalan hidupnya, maka ia harus siap mengembalikan profesi mulia tersebut pada khittahnya. Seorang guru haruslah memiliki kepribadian yang dewasa, luhur, berwibawa, dan mulia akhlaknya. Selain itu, melalui kemampuan komunikasinya, guru juga harus mampu menciptakan hubungan yang baik dalam setiap interaksinya, baik interaksi dengan warga sekolah maupun warga masyarakat secara umum. Itulah kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.

Melalui peringatan Hari Guru Nasional, sebagai guru mari kita mengintrospeksi diri, sejauh mana kita bisa menjadi figur yang mampu menginspirasi. Di tangan gurulah masa depan generasi bangsa ini dititipkan, maka hadirnya guru sudah selayaknya memberi kehangatan, perkataannya memberi pencerahan, dan sikapnya penuh keteladanan. Itulah hakikatnya seorang pahlawan.

Oleh: Andi Ahmadi, Koordinator Sekolah Literasi Indonesia, Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa

Comments

comments